One Day

332 49 14
                                    

"Praha terlalu indah untuk diabaikan, sama sepertimu. Kau terlalu berarti hingga aku tak mampu membenci."
___________




Ketika malam sudah menjemput, Xiao Zhan terbangun. Ia baru menyadari jika ia tertidur di ruang rawat Arthur. Pemuda manis itu terbeliak, ia bangkit dari posisinya yang semula berbaring di atas tempat tidur pasien. Matanya menatap ke sofa yang berada di sudut ruangan, Arthur duduk bersandar di sana.

“Kenapa kau duduk di sana? Kenapa justru aku yang tidur di sini?” Xiao Zhan turun dari atas tempat tidur, berjalan tertatih menghampiri, dan duduk di sisi Arthur yang menatapnya penuh selidik.

“Kau tertidur sambil duduk, kau juga kelihatan lelah. Aku tidak tega melihatnya, jadi aku memindahkanmu,” jawab Arthur.

“Maafkan aku, harusnya aku menjagamu.”

Arthur menggelengkan kepala. “Ge, kau lucu sekali. Bagaimanapun, kau adalah tanggung jawabku, jangan sungkan.”

Arthur menatap Xiao Zhan dengan lekat, ia kemudian melirik kaki kanan pemuda itu. “Kau berlari ke sini? Dari mana kau berlari hingga kakimu sakit lagi?”

Xiao Zhan mendadak tegang. “Apa yang sedang kau bicarakan? Kakiku baik-baik saja.”

Arthur mendengkus. “Ge, kau pintar dalam berakting, tapi tidak pintar membodohiku atau mungkin aku yang terlalu pintar sampai tidak bisa kau bodohi. Mana yang benar?”

Xiao Zhan cemberut, ia memukul lengan pemuda di sisinya. “Bodoh!”

Arthur tertawa, rona di wajahnya yang semula pucat kini sudah kembali. Ia menatap Xiao Zhan, mengusap puncak kepala sang guru dan berkata, “Jangan lagi gegabah. Aku tidak ingin melihatmu terluka. Kau rela berlari demi melihatku?”

Xiao Zhan cemberut. “Kau tidak menghubungiku, saat kelas dimulai hingga berakhir kau tidak datang. Bagaimana aku tidak cemas? Saat aku menghubungimu, aku terkejut mengetahui jika kau masuk rumah sakit. Aku tidak berpikir jernih, lagi pula aku hanya bisa mengandalkan kedua kakiku untuk datang ke sini.”

Arthur terdiam sejenak, senyuman samar terpatri di wajahnya. “Ge, aku ingin ini terakhir kalinya kau bertindak ceroboh. Aku tidak ingin kau membahayakan dirimu sendiri demi aku.”

“Aku pernah melakukan hal yang sama,” ujar Xiao Zhan. “Kau mempertaruhkan hidupmu demi aku.”

Arthur tertawa ringan, merangkul Xiao Zhan, dan berucap, “Itu bukan masalah besar. Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Ge, kau ini guruku, kakakku, dan orang yang berarti untukku. Aku akan melakukan yang terbaik untukmu, menjagamu, dan mencintai---“

“Omong kosong!” sergah Xiao Zhan. Ia tahu apa yang selanjutnya akan Arthur katakan.

Arthur mendengkus. “Kau sangat munafik.”

Xiao Zhan terbeliak. “Munafik? Arthur, apa maksudmu, huh?”

Arthur mengangkat bahu. “Kau pasti tahu apa yang akan kukatakan, setelah mendengarnya kau akan senang dan tersipu. Kau tidak ingin aku mengatakannya karena kau takut jika aku melihat ekspresimu, ‘kan?”

Pipi Xiao Zhan terasa panas. Pemuda itu menatap Arthur dengan napas tercekat. “Anak Nakal, kau sudah bisa bermain-main denganku?”

Arthur tertawa, mengusap bahu sang guru dan berkata, “Tidak berani. Tenanglah, aku tidak akan menggodamu lagi.”

Xiao Zhan membuang pandang ke arah lain, bisa-bisanya Arthur menggodanya saat ini. Pemuda manis merasakan bagaimana sang murid yang kembali mengembuskan napas panjang dan berat.

Desperated SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang