Fact (III)

214 28 22
                                    

"Kenangan memang tertinggal di belakang, tetapi aku berusaha merebutnya kembali, mendekapnya, dan membawanya ke masa depan. Tetap bersamamu, menjagamu, dan ... mencintaimu---seandainya aku memiliki kesempatan."
____________________




Praha terlihat mendung seperti biasa. Di bawah naungan langitnya, Wang Yibo berjalan gontai setelah meninggalkan kediamannya sambil memegang ponsel yang menyimpan rekaman percakapan orang tuanya, yang mana mengungkap semua pertanyaannya selama ini.

Pemuda tampan itu berhenti di area Praha Old 1, tempat di mana ia dan Haoxuan sering berkunjung, juga tempat di mana ia dipertemukan dengan Xiao Zhan lagi di salah satu restoran di area itu.

Sejenak, Yibo tersenyum samar, mengingat bahwa tak ada satu pun dari mereka yang berdiri di sisinya saat ini. Ia bahkan tidak tahu di mana adiknya berada. Kini, ia tahu bahwa ia sangat membutuhkan Haoxuan di hidupnya, sosok yang selalu memberinya ide, kesabaran, dan semangat.

Yibo pikir saat Haoxuan mengatakan keduanya tidak akan lagi menjadi kakak beradik, itu hanya candaan, hanya angin lalu yang akan segera berakhir, dan menganggap bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tepat seperti orang bilang, terkadang amarah memang harus dikuasai dan ucapan harus bisa dijaga jika tidak ingin penyesalan datang.

Itulah yang Yibo rasakan, amarah menguasainya, ucapan kasar penuh tantangan ia lontarkan, lupa jika semuanya ia yang mengakhirinya, ia yang melepaskan Haoxuan tanpa sadar, melukai adiknya, dan membuatnya terpuruk sendirian.

Yibo tersenyum miris, dulu ia menganggap bahwa ucapan Haoxuan sangat tidak logis karena membela Arthur dan menuduh orang tuanya, tetapi ia lupa Haoxuan memang lebih cerdas darinya, yang mana tidak akan mengungkapkan pendapat tanpa bukti yang jelas. Yibo tahu bahwa kini, di sini, ia memang satu-satunya yang paling bodoh, seperti apa yang Taiyu selalu katakan.

Menyesal? Tentu saja. Yibo bahkan ingin sekali memukul dirinya sendiri tanpa ampun, tetapi ia sadar itu tak akan berguna. Apa pun yang ia lakukan terhadap tubuhnya sendiri tak akan membuat Xiao Zhan mengingat masa lalunya dengan cepat, tak akan membuat orang tuanya berhenti, tak akan membuat Haoxuan kembali, juga tak akan membuat Arthur keluar dari penjara dengan mudahnya.

Yibo mengembuskan napas berat, ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya, kemudian kepalanya menengadah ke langit, memandang mendung cakrawala yang menjadi atapnya. Daun-daun di sisi jalan mulai berguguran, tertiup angin, dan melayang-layang di udara.

Di bawah derai daun itu, Yibo bergumam, "Praha tiga tahun lalu, aku berdiri di bawah guguran daun, tepat saat kau tinggalkan aku di hari pernikahan kita. Xiao Zhan, kau tahu? Aku juga berada di bawah guguran daun saat ini, bedanya ... akulah yang kini membuatmu menjauh, yang melepaskanmu secara tidak langsung, yang akan membuatmu menyimpan benci padaku."

Yibo menundukkan kepalanya, dadanya sesak. "Xiao Zhan, kau bilang kau tak akan membenciku, tapi kali ini aku yakin kau akan membenciku seumur hidupmu. Ketika kau mengetahui semuanya, apa kau ... akan memandangku lagi? Apa kau akan benar-benar pergi?"

Ketakutan itu mendekap Yibo begitu kuat. Jauh dalam hatinya, ia hanya ingin mempertahankan apa yang ia miliki. Yibo bersikap egois hanya karena ia tidak ingin apa yang dimiliki harus lepas dari genggamannya, terutama cintanya. Ia hanya terlalu takut tidak bisa memiliki Xiao Zhan dan hidup sendirian. Namun, ia sadar caranya salah, salah hingga orang lain menilainya salah, menyudutkannya, dan mencemoohnya.

Desperated SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang