( Part 37 )

7.8K 474 8
                                    

Waktu terus berputar hingga jam dinding sudah menunjukkan pukul 04.00, di ruang putih yang dipenuhi aroma obat-obatan.  Seorang wanita terlihat damai berada di atas bangkar rumah sakit, matanya masih terpejam, dengan alat-alat medis yang  melekat di sekujur tubuhnya. Semua orang menunggu ia siuman, hanya saja mimpinya mungkin terlalu indah sehingga ia tak ingin bangun dari sana.

Di sana ia tidak sendirian, ada banyak lelaki sedang tertidur maupun sedang menatap wanita itu. Ia yang setia menatapnya tersenyum tipis, di dalam benaknya ada pertanyaan aneh yang terlintas.

Bagaimana bisa seorang wanita bisa secantik ini bahkan jika sedang terlelap. Tak terasa kini azan subuh sudah berkumandang bagi umat muslim, satu per satu dari mereka pun terbangun. Mereka sama-sama ingin menunaikan ibadah subuh, memanjatkan doa bagi wanita yang mereka jaga di sini.

"Ayo bangun, kita salat subuh,” ajak Adit sembari membangun kan putra, keano, adit, Adam, dan Andi.
Melihat sudah mereka terbangun, Adit pun menghampiri kara yang masih saja menatap Febby, Adit begitu yakin bahwa kara menyukai Febby. Ia sedikit merasa prihatin dengan keadaan kara saat ini
Tatapan Kara mengatakan bahwa ia sangat menunggu Febby siuman. Tangan Adit menepuk bahu Kara.

"Kar, gue mau nitip febby dulu yah, gue dan yang lain mau salat dulu, kabari dokter kalau ada apa-apa,” ucap Adit pada Kara yang sebelumnya sudah salat lebih dulu.
Kara yang mendengar itu hanya mengangguk sebagai jawaban, entah beberapa hari ini ia begitu tidak punya semangat hidup.

Terlebih lagi saat mendengar Adit yang mengatakan bahwa keadaan Febby semakin memburuk dan kemungkinan untuk sembuh itu begitu sangat kecil.

Setelah mendengar dan melihat sekilas kepergian para sahabatnya, kara pun mendudukkan tubuhnya ke salah satu kursi yang terletak di samping bangkar Febby.
Setelah itu kara pun secara perlahan-lahan mengambil tangan Febby yang masih setia memegang bekas tembakan dari sang pelaku. Hatinya berdenyut sakit lagi, amarah juga menyiksa di sana. Kara sangat ingin menangkap pelaku itu, namun ia lebih ingin melihat Febby sembuh.

Kara terus menerus menatap Febby yang sedang tertidur pulas. Kulit Febby pucat dan tubuhnya kaku. Air mata Kara jatuh namun segera ia tepis, sebelumnya Kara tidak secengeng ini. Hanya saja hal yang menyangkut Febby membuatnya lemah. Mencintai Febby adalah kelemahan juga kekuatan untuknya.

"Febby, lo cepat sadar yah, gue ngerasa kehidupan gue nggak berarti saat gue ngeliat lo terbaring lemah kayak sekarang, gue benci itu," ucapnya mengelus tangan Febby dengan pipinya. Senyuman ia terbitkan seolah Febby benar-benar melihatnya sekarang.

Di sela-sela pembicaraan kara, tiba-tiba tangan Febby bergerak menandakan bahwa ia mungkin akan segera sadar

"Febby, lo denger gue?" tanya Kara ia begitu sangat bersemangat hingga membuat tangannya untuk pertama kali bergetar. Perlahan ia merasa dan melihat sebuah harapan, baru saja ingin memanggil dokter Febby menahannya.

Tangan Febby terus bergerak dan di ikuti dengan terbukanya kedua mata Febby secara perlahan-lahan, hingga membuat kara begitu sangat bahagia.
Di saat pandangan Febby perlahan-lahan menjadi jelas hal yang pertama kali Febby lihat adalah senyum yang terukir di wajah seorang lelaki yang tidak lain dan tidak bukan adalah kara.

Demi apa pun rasanya Kara bisa memberi seluruh miliknya hanya untuk melihat Febby sembuh, ia bisa melakukan apa pun saking bahagianya melihat mata itu terbuka. Pedih yang menyelimuti hati Kara sirna melihat Febby nya siuman.
Febby tampak tersenyum tipis, mereka saling menatap dengan perasaan rindu masing-masing. Hanya saja air mata Febby jatuh, membuat Kara perlahan mengubah rautnya. Air mata Febby menyakitinya.

"A-Adit di mana?" tanya Febby lirih,

"O.. Ooh.. Bang Adit dan yang lain lagi salat subuh," jawab Kara dengan gugup. Ia mendekat lagi pada Febby, mengelus rambut Febby dengan tangan gemetar.

“Aku rindu sama kamu, gimana? Pasti sakit banget, kan? Maaf karena udah gagal lindungi kamu sayang ....”

Kara tersenyum namun ia juga menangis. Saat ini ia akan menunjukkan semua perasaannya, hampir kehilangan Febby membuat Kara sangat ketakutan. Febby diam tak menjawab. Saat ini kedua orang itu sama-sama menanggung luka yang berat.

"Aku panggil dokter dulu ya Feb, kamu tunggu disini aja," ucap Kara untuk menyadarkan dirinya. Saat ini Febby membutuhkan dokter dan Kara tidak boleh membuang waktu.
Belum sempat Kara beringsut dari tempatnya, Febby dengan lemah menahan tangan Kara agar tidak pergi.

"K-kara, udah nggak perlu lagi." Febby tersenyum sendu menatap mata Kara, 

"Gue udah gak bisa bertahan lagi, begitu banyak rasa sakit udah gue tanggung. Izinkan gue pergi," lanjut Febby lirih, matanya berkaca-kaca.
Sementara itu Kara menggeleng keras, ia tidak suka dengan ucapan Febby baru saja. Sungguh Kara tidak ingin hal buruk terjadi pada Febby yang sangat ia sayangi.

“Jangan bilang gitu ....”
Akan tetapi Febby tidak mendengar. Sekarang mereka berdua menatap sendu dengan gumpalan air mata. Febby masih melanjutkan ucapannya meski Kara terus menggeleng.

"Kara..  Terima kasih udah selalu ada buat gue, gue juga minta maaf kalau gue ada banyak salah sama lo ataupun yang lainnya," tetes air mata jatuh di wajah Febby

"G- Gue.. Gue titip anak-anak gue ya, tolong sampaikan maaf dan terima kasih gue ke semua orang ... oke?" Febby tersenyum tipis pada Kara, cengkeramannya mulai mengendur.

“Febby, enggak. Lo enggak boleh pergi, ya? Gimana sama gue?”
Febby tersenyum. Bibirnya kembali mengucapkan kalimat yang sangat menyakitkan.

"Gue.. Gue pulang dulu ke sisi tuhan.. Lain waktu kita semua pasti ketemu kok, tapi gue duluan.. Selamat tinggal.” Febby tersenyum untuk yang terakhir kalinya, menutup matanya dengan damai.

"DOKTER!! TOLONG" teriakan kara membuat beberapa perawat yang tidak sengaja melewati kamar rawat Febby Tidak sengaja mendengar teriakan kara dan dengan cepat berlari memanggil dokter.

Beberapa detik menunggu akhirnya dokter pun telah tiba di kamar rawat febby yang sudah tampak kacau dikarenakan kara yang begitu histeris

"Dek kami mohon keluar dulu yah, percayakan sama dokter tetap berdoa kepada tuhan supaya pasien bisa selamat ok," desak suster sembari mendorong tubuh kara untuk keluar
Sedangkan kara? Ia hanya memilih untuk menerima perlakuan itu, ia lebih mementingkan kondisi Febby saat ini apa lagi saat Febby berbicara kepadanya.

Seakan-akan sebuah firasat bahwa itu adalah kata-kata terakhir yang Keluar dari mulut Febby.

Semoga saja ia salah, karena jika memang momen itu adalah perpisahan maka Kara akan menjadi orang dengan luka yang sangat dalam.

Lanjut atau nggak?
(☞゚∀゚)☞









HALLO SEMUA AKHIRNYA
PART 37 SELESAI JUGA GIMANA UNTUK PART INI?

JANGAN LUPA DI VOTE ⭐
DAN
SPAM KOMEN SUPAYA AUTHOR MAKIN SEMANGAT UP NEXT PART NYA

MAAFKAN BILA BANYAK KATA YG
KURANG TEPAT ( TYPO )

OKY SEE YOU 😘😘










TRANSMIGRASI ✓ [ Open Pre Order  ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang