( Part 40 )

8.5K 464 8
                                    

Part sebelumnya.

"Kenapa pasien bisa seperti ini? Apa yang terjadi?" Pak dokter menatap serius pada keluarga pasiennya yang berderai air mata.

Pandangan otomatis tertuju pada Mellody yang menjaga Febby di ruangan ini sendiri.

"Saya tidak bisa menjelaskannya, TOLONG TANGANI FEBBY DULU!" bentaknya dengan isak tangis yang semakin menjadi.

********************

"Lo apain adek gue, Mel?" jerit Adit tepat di depan wajah Mellody. Ia ikut bersimpuh dengan tatapan bertanya yang amat menusuk.

Mellody tak dapat menjawab pertanyaan Adit, bibirnya seakan kelu bahkan untuk berbicara saja ia tak bisa. Semua ini salahnya, salahnya yang meninggalkan Febby sendirian dalam kondisi seperti ini. Mellody merutuk dirinya dengan rasa sesal yang tak bisa ia kendalikan.

"Maaf, gue salah," ucapnya dengan tatapan yang tertuju pada lantai.

Hening.

Tiba-tiba suara dari alat yang terpasang pada tubuh Febby, menginterupsi mereka semua. Mata mereka langsung tertuju pada benda itu, benda yang menunjukkan garis hijau yang datar.

Mereka tercekat.

"Bu Febby, meninggal tepat pada jam satu lewat tiga menit," suara Pak Dokter menggema pada telinga mereka, Pak Dokter tak bisa melakukan apapun selain menunduk. Merasa tak enak akan kematian yang ia umumkan saat ini.

"Feb, Febby ...." Adit merangkak ke arah bangkar, tubuhnya gemetar hebat dengan air yang mengalir tanpa jeda.

"FEBBY!" kali ini Mellody yang bersuara, ia menjerit dengan tatapan tertuju pada tubuh Febby.

Kara dan teman yang lain masih sulit menerima kenyataan. Mereka merasa ada batu janggal yang terselip di hati, membuat mereka hanya bisa diam dengan perasaan kacau yang menyelimuti.

"Maksud Dokter apa? Kenapa Febby harus pergi?" Kara berjalan ke arah dokter yang berdiri. Ia berusaha menyangkal kenyataan yang ada di hadapan matanya.

Pak Dokter menggeleng putus asa. "Kami sudah berusaha," ucapnya.

Tangis semakin menjadi, Mellody yang mendominasi. Beberapa pasien yang ada di kamar sebelah hanya bisa menyimak dengan diam, mereka tahu bahwa kematian adalah hal menyakitkan.

"Febby, bangun dek. Anak lo nunggu." Adit mengambil tangan Febby, tangan Febby yang bahkan masih hangat. Dilihatnya wajah adiknya yang sangat pucat. Kenapa merelakan Febby begitu sulit? Dirinya tak percaya bahwa adiknya telah pergi untuk selamanya.

Adit menelan saliva, ia tersenyum getir. Kali ini ia memegang rambut Febby, ia mengusapnya perlahan membuat dadanya semakin sesak.

"Siapa hah? Siapa yang bikin adek cantik gue pergi ... Siapa Feb, Siapa?" Tangannya gemetar masih ada di sana, tangan itu turun ke daerah wajah Febby. Wajah yang kini sudah tak aka ia lihat lagi.

Tangis semakin menjadi, Mellody yang mendominasi. Beberapa pasien yang ada di kamar sebelah hanya bisa menyimak dengan diam, mereka tahu bahwa kematian adalah hal menyakitkan.

Mellody memegang dadanya kala melihat suster yang mulai berjalan, mereka menghampiri tubuh Febby untuk membuka seluruh alat yang terpasang di wajah maupun tubuh Febby yang sekarang sudah tak bernyawa.

Adit limbung, ia tak ingin melepas genggaman tangannya. Namun, melihat suster itu membuatnya menggeleng kasar. "Gak! Kalian mau apain alat adek gue! Dia masih bisa hidup. Lakuin apapun, gue mohon ...." Adit menghapus air matanya kasar.

Kara yang melihat itu. Ikut berlari dan memegang bahu Adit. Ia menarik bahu itu hingga tatapan mereka bertemu. "Sadar Dit, Febby dah enggak ada!" sembur Kara dengan tangan yang mencengkram bahu Adit.

TRANSMIGRASI ✓ [ Open Pre Order  ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang