Setiap pagi kembali menjadi sejarah untuk Alisa. Ibu hamil yang usia kandungannya kini beranjak tiga bulan itu semakin rajin bangun pagi dan memainkan perannya sebagai seorang istri yang baik.
Tidak terhalang dengan kondisi tengah hamil, Alisa tidak sekalipun mengambil kesempatan untuk bermalas-malasan dan menjadi istri bak putri ratu yang tidak akan melakukan apapun. Tidak, Alisa bukan seperti itu.
Sama seperti saat ini, pagi-pagi sekali pukul lima subuh Alisa sudah bangun. Dia berjalan dengan kaki telanjang di halaman depan rumah menginjakkan kakinya ke atas rerumputan. Kata para orang tua jaman dahulu, ketika sedang hamil, seorang ibu harus rajin bergerak dan berjalan di setiap pagi. Mereka meyakini kalau begitu ibu hamil akan di permudahkan kelak persalinannya.
Dan lihatlah, bagaimana sang suami tersenyum di setiap paginya melihat istri tercinta bertelanjang kaki mengenakan daster pendek sepanjang lutut sedang kaki putih mulus itu di pamerkannya begitu saja.
"Oppa!" Alisa baru saja menoleh ke arah pintu utama. Dia melihat Jimin dengan wajah khas orang bangun tidur, rambut masih berantakan, matanya kian sipit sedang tersenyum memperhatikan.
"Kemarilah!" panggil Alisa menggunakan tangannya. Patuh akan permintaan sang istri, Jimin pun melangkah mendekat.
"Sendalnya di buka."
Lagi--Jimin menuruti permintaan sang istri. Sendal bermerk Fil∆ berwarna hitam itu ia buka tepat di tembok pembatas taman. Jimin ikut bertelanjang kaki memijak rerumputan mendekati Alisa.
"Sudah berapa lama?" tanya Jimin lembut dengan suara parau nya. Ia kecup kening sang istri sambil memeluk Alisa tidak terlalu erat.
"Sejak tadi sih, mungkin sudah satu jam." jawab Alisa mengira-ngira. "Mau aku siapkan semuanya sekarang?" tentu saja, yang Alisa maksud adalah pakaian Jimin ke kantor dan segala sesuatu yang Jimin butuhkan.
Tersenyum manis lalu sedikit mangangkat dagu Alisa untuk mendongak, Jimin mendekatkan bibir mereka sambil menekan. "Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri."
"NO NO NO NO!" Alisa mengangkat jari telunjuknya bergerak ke kiri dan kanan menolak. "Kalau sudah beristri, maka itu adalah tugas istri. Ayo, aku akan menyiapkan semua yang Oppa butuhkan."
Alisa menarik tangan Jimin jalan mengikutinya. Dibelakang sana Jimin hanya pasrah ketika sang istri menariknya kembali masuk ke dalam kamar. Kedua orang tua mereka yang tengah sarapan di meja makan hanya menggeleng-geleng pelan sambil tersenyum melihat Alisa menyeret Jimin layaknya anak kecil yang malas mandi.
"Duduk!" titah Alisa sambil menekan kedua bahu Jimin untuk duduk di ujung ranjang.
"Ini handuknya dan celana dalam. Oppa mandi dulu, aku akan menyiapkan pakaiannya. Cepat!" usir Alisa setelah menjelaskan. Hal yang malah membuat Jimin tidak berkedip sedang bibir tebalnya melengkung sempurna.
"Oppa!"
"Iya sayang," jawab Jimin lambat.
"Cepatlah! sudah jam delapan. Kau harus segera berangkat."
"Tidak bisakah aku bekerja dirumah saja?"
"Oppa, ayolah!" Alisa menarik-narik lengan Jimin agar bangkit. Tapi Jimin sengaja memberatkan tubuhnya supaya Alisa tidak kuat menyingkirkan Jimin dari sana.
Menghela napas ringan, menatap Jimin yang masih tersenyum dan nampak malas, Alisa memutar otaknya merayu sang suami.
Dia melepaskan tangan yang memegangi lengan Jimin tadi, lalu beralih duduk di atas pangkuan pria itu sambil kedua tangannya melingkar di leher Jimin dengan sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY IN MY LIFE || [PJM]✓
Fanfiction"Anak kecil harus pulang." Jimin menggenggam tangannya. Berharap yang ia cari sedari tadi bisa ia bawa kembali. Namun Alisa tidak berharap demikian. "Tidak, aku tidak ingin pulang." "Alisa," "Aku mau kita bercerai." Start : 21maret