06. His

443 81 36
                                    

"Jadi semalam cewek mana yang lo bawa tidur?"

Bekti melipat tangan saat dia berhadapan dengan Charis. Sudah lelah dia berikan nasihat soal kebiasaan teman kerjanya sekaligus atasannya ini yang sulit sekali diubah.

Sudah berapa banyak perempuan yang akhirnya menelan kekecewaan hanya karena Charis tidak pernah serius dengan mereka. Bahkan seluruh jari yang dia miliki pun sepertinya sudah tidak mampu menghitungnya.

"Lo nggak usah mulai Bek. Lo tahu sendiri yang kaya gitu nggak bakal mempan di gue."

Bekti berdecak, di letakkannya schedule yang harus Charis penuhi sampai sore nanti. Pekerjaannya. Dan beberapa hal yang mungkin butuh dipertimbangkan.

"Kalau lo emang niat mainin perempuan, ya cari di tempatnya gitu Ris. Perempuan yang lo tidurin kan nggak semuanya perempuan nakal. Lebih dari setengahnya adalah perempuan baik-baik."

"Perempuan baik-baik nggak akan pernah dengan rela membuka celana atau roknya buat gue Bekti. Lo tahu gue nggak maksa."

Susah memang bicara dengan orang yang otaknya ada di selangkangan. Tidak akan ada garis merah di antaranya. Bekti hanya buang-buang tenaga untuk bicara dengan Charis dan kebiasaan malamnya.

"Bek, lo nggak usah khawatirin gue. Udah ya, mending lo bantuin gue buat selesaikan dokumen ini. Terus kita bisa pulang cepat."

Bagaimana bisa Bekti tidak khawatir. Kalau selama ini dia harus berhadapan dengan perempuan yang ditiduri Charis. Memastikan bahwa mereka tutup mulut. Hanya untuk hidup dengan baik? Dia akan pusing, mengurus itu semua. Agar perusahaan mereka bisa tetap memberikan gaji yang cukup bagi karyawannya.

"Oke gue bakal nggak peduli. Tapi silakan lo urusin itu cewek-cewek yang dateng ke sini minta tanggung jawab."

"Apa yang harus gue pertanggung jawabnya. Mereka nggak hamil," Charis menaikkan alis kanannya, menyahuti kalimat Bekti.

"Lo pikir, mereka nggak punya mulut? Reputasi lo sebagai pimpinan di perusahaan ini bakal hancur kalau sekali aja mereka buka mulut."

Ini yang membuat Charis kesal. Dia tidak akan bisa membalas kalimat yang Bekti sampaikan. Alasannya sederhana. Karena selama ini hanya Bekti yang mau dan akan menyelesaikan semua masalahnya. Tanpa Bekti mungkin karirnya sudah hancur saat ini.

"Mau sampai kapan sih Ris? Lo nggak bosen apa, ngelakuin hal ini? Ris lo harus inget, suatu hari lo akan menikah dan mungkin akan punya anak. Perempuan. Bayangin kalau tiba-tiba ada laki-laki sejenis lo mempermainkan anak lo nanti."

Tentu saja Charis tidak punya bayangan. Karena dia tidak percaya dengan pernikahan. Baginya tidak ada satupun orang yang bisa dia percaya kecuali dirinya sendiri.

Perempuan. Salah satu makhluk yang Tuhan ciptakan itu hanya akan merusak segalanya. Charis sebagai ciptaan Tuhan juga, merasa punya hak untuk menghancurkan sesuatu yang tidak dia sukai. Perempuan misalnya.

Di tengah percakapan itu, suara ketukkan pintu terdengar. Charis mendelik menghindari tatapan Bekti. Sosok perempuan dengan kemeja putih dibalut dengan blazer berwarna biru masuk. Kaki jenjangnya dibalut dengan rok ketat sehingga lekuk tubuhnya terlihat dengan sempurna.

Bekti menghela napas. "Please don't again," Katanya pelan dan putus asa.

Sayangnya tidak. Charis menyambut kedatangan perempuan tersebut dengan penuh cinta. Direntangkan tangannya, siap memeluk tubuh yang kenyal itu. Tidak sabar sehingga dia memilih untuk berjalan menghampiri perempuan itu.

"Diana. Aku kangen kamu. Period-nya udahan kan?"

Perempuan bernama Diana itu mengangguk. Kemudian dengan mudahnya dia mencium bibir Charis. Lalu tidak lama kemudian dibukanya dua kancing teratas kemejanya. Memperlihatkan belahan dada yang kenyal.

Trauma (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang