31. A Competition

321 83 26
                                    

Bukankah harusnya Wanda tidak berharap? Dia seharusnya tidak berharap pada sesuatu yang sudah meninggalkannya begitu saja. Karena sekarang di hadapannya, ada Charis. Tentu saja itu Charis. Karena tatapan mata itu tidak bisa menipu atau membohonginya.

Belum lagi, sosok yang begitu dia kenal. Memanggil nama itu. Seolah tidak pernah ada masalah di antara mereka. Seolah semenjak menjauh darinya, Charis tidak pernah menyesal. Dia juga bisa memastikan bahwa tertangkapnya bayangan Charis beberapa waktu lalu itu hanya sebuah kesalahan. Entah Charis atau Dika, dia tidak tahu.

Sambil meremas tali tasnya, Wanda menarik napas. Dia melangkah, melewati Charis dan Viona yang sudah menyadari bahwa perempuan yang melintas itu adalah Wanda. Salah satu orang yang menjadi alasan Charis ada di sini.

Langkah-langkah yang dibuat oleh Wanda merupakan upayanya melepaskan bayangan Charis yang melekat di punggungnya. Apa yang dia lihat haru ini harusnya sudah sangat tepat menjadi alasan untuknya berhenti berharap.

Semetara Charis, yang tidak melakukan bahkan setelah pintu lift terutup di hadapannya itu hanya berusaha menghirup udara yang seakan-akan berhenti mengitarinya. Rasanya sesak, ketika dia melihat alasannya sembuh berpaling darinya.

Selama ini, Charis punya alasan jika mungkin Wanda akan menerimanya jika suatu hari dia memintanya kembali. Saat dia sembuh. Tapi, teryata lihat apa yang terjadi, karena ulahnya sendiri Wanda melupakannya. Wanda berpaling darinya. Bahkan tidak ada senyuman yang begitu dia rindukan pada saat mereka bertemu barusan.

Sementara Viona, yang serba bingung lekas hendak mengejar Wanda. Sebelum perempuan itu menghilang. Sayanganya, tiba-tiba, jemari Charis melingkar di pergelangan tangannya. "Nggak perlu," katanya pelan.

Viona menautkan kedua alisnya, "Gimana nggak usah sih? Kalau Wanda salah paham gimana? Kayaknya dia denger tadi gue manggil lo dengan Charis deh, duh."

Sejujurnya, Charis juga ingin sekali melangkahkan kakinya. Tapi hati kecilnya berteriak, seperti mneghancurkan perasaannya untuk Wanda. Jika langkah yang dia ambil adalah langkah yang memperlihatkan keegoisan yang dia miliki.

Charis tidak boleh menyakiti Wanda lagi. Dika masih bersarang di dalam tubuhnya. Selama sisi lainnya masih eksis di dalam tubuh yang sama, mak Charis yakin bahwa dia hanya akan melukai Wanda. Memberikan kesulitan pada gadis itu.

Dan sekarang, saat Wanda sudah memilih jalan terbaiknya, Charis tidak boleh egois. Dia harus membebaskan Wanda memilih apa yang dia inginkan. Apa yang menurut Wanda baik untuk hidupnya sendiri. Karena dengan begitu Charis juga bisa hidup dengan tenang. Selama Wanda bahagia.

Viona menatap Charis dari samping, dia tahu bahwa mungkin Charis berusaha mencegah dirinya sendiri untuk tidak berlari mengejar Wanda. "Apa gue aja yang kejar? Gue yang jelasin ke dia, kalau lo lagi berusaha buat sembuh?"

Charis menolehkan wajahnya kea rah Viona, "Nggak perlu, lo udah bukan bagian dari masalah gue dan dia. Gue merasa juga mungkin dia yang memang nggak mau kenal lagi sama gue, dia bahkan nggak berusaha buat senyum ke gue. Udahlah, biarin aja."

Viona hendak menyanggah kalimat yang diberikan oleh Charis. Namun sayangnya pintu lift kembali terbuka. Charis masuk lebih dulu, sementara Viona akhirnya memutuskan mengikuti di belakangnya, setelah dia melihat ke arah Wanda yang sudah hilang dibalik pintu keluar.

Wanda tahu segalanya berakhir. Seharusnya dia bisa mengatur hatinya. Toh sudah berbulan-bulan mereka tidak bertemu. Tapi rasanya aneh, udara yang mengitarinya seperti berhenti. Dia tidak bisa memilah mana oksigen yang dia butuhkan. Jadi, harapannya sudah pupus begitu saja.

Saat memasuki mobilnya, Wanda tahu sudah tidak ada lagi dinding yang membatasi di pelupuk matanya. Air matanya jatuh begitu saja bersama dengan isakkan yang menyusul belakangan. Sungguh, Wanda ingin sekali mendapatkan kesempatan kedua. Untuk memperbaiki hubungan mereka. Tapi sepertinya tidak bisa.

Trauma (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang