07. Another Him

440 79 39
                                    

Charis tumbuh dan besar di salah satu kampung kecil di Jawa Barat. Menjadi anak seorang perempuan tanpa suami. Perempuan yang sering jadi buah bibir dari kalangan warga.

Charis kecil mungkin tidak sadar bahwa ayahnya bukan pergi merantau. Tapi memang jelas tidak ada yang tahu siapa ayahnya. Bahkan ibunya sendiri. Karena terlalu banyak malam yang dihabiskan perempuan itu bersama dengan laki-laki hidung belang.

Pelacur. Begitu dia dengar pekerjaan ibunya dari salah satu bibir guru yang memang kebetulan tinggal di dekat rumah.

"Wajar kalau kamu tidak punya teman. Ibumu pelacur!"

Memangnya kenapa? Seandainya waktu bisa diputar. Dia akan membalas kalimat itu. Karena bukan keinginannya lahir dari rahim pelacur. Bukan keinginannya juga menjadi anak yang tidak jelas siapa bapaknya.

Namanya juga di kampung. Sudah jelas siapa pelanggan setiap ibunya. Kalau tidak mandor bangunan. Ya sopir angkutan. Paling bagus, biasanya Kepala Desa yang mabok. Nggak sadar kalau yang dipakai tidur pelacur kelas bawah.

Charis sempat percaya bahwa mungkin ayahnya adalah salah satu dari orang-orang murahan itu. Tapi suatu pagi, pagi yang paling hangat. Ibunya mengatakan, "Bukan mereka. Jelas Ibu tidak akan mengandung anak dari benih mereka. Kamu tidak sebejat itu. Ingat kata Ibu."

Charis tidak peduli. Usianya 13 tahun. Karena satu dan lain hal, dia baru masuk SMP setahun kemudian. Dan di sanalah dia memahami bahwa hidupnya menjijikkan bagi sebagian besar orang.

"Lo mau apa sih sekolah? Ibu lo tuh udah rebut bapak gue! Nggak tahu malu lo!" Di hari pertamanya, Charis menerima serapah dan tinjuan dari teman sebayanya. Alasannya satu. Karena Ibu dan Bapaknya bertengkar gara-gara ibunya.

Tidak sekali dua kali. Charis sering kali mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari sekolahnya. Berhari, berbulan dan akhirnya genap setahun. Charis melewati hari yang sulit. Hingga kesalnya menumpuk di dalam hati.

Kebencian yang diberikan banyak orang kepada Ibunya membuat Charis ikut membenci orang yang melahirkannya itu. Semakin dewasa dia berhenti berkomunikasi dengan Ibunya. Dia berusaha untuk tidak bertemu meskipun satu rumah.

Itu lebih baik. Karena Charis bisa menahan kebenciannya. Tapi sayangnya, bagi sang Ibu ini adalah sebuah keanehan. Tidak sepantasnya hubungan Ibu dan Anak sedingin ini. Sehingga suatu malam dia mengetuk pintu kamar Charis.

"Kita perlu bicara Charis," Suara Ibu di balik pintu masuk.

Charis sedang membaca buku. Mendengus kesal dan memilih untuk berbaring di atas kasur dan menutup tubuhnya dengan selimut. Enggan menanggapi ajakan Ibunya.

Tapi, Ibu tidak menyerah. Dia masuk dengan paksa. Merusak kunci kait yang menahan pintu agar tidak terbuka. Memperlihatkan Charis remaja yang menatap kesal ke arah Ibunya.

"Ibu kenapa sih? Aku mau tidur!"

"Kamu menghindari Ibu, Charis. Kenapa?"

Charis berdecak. Tubuhnya diangkat agar bisa duduk. "Ibu ngapain pikirin aku? Pikirin itu laki-laki yang kasih Ibu uang! Bukannya Ibu lebih senang dengan mereka?!"

"Charis Ibu udah jelaskan sebelum ini. Kenapa kamu jadi tidak terima?"

"Karena ibu nggak ngerasain jadi aku kan? Jadi mending Ibu keluar!"

Charis bangkit kemudian berjalan menarik Ibu agar bisa keluar kamarnya. Saat sampai pintu dia berdiri sambil melipat tangannya. "Ini semua bakal lebih mudah kalau Ibu mati saja!"

.

"Kita semua tahu, itu cuma ekspresi kemarahan lo. Udah yah, bertahun-tahun lo cerita hal yang sama. Gue yakin diri lo juga merasa bosan."

Trauma (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang