30. Our First Meet

334 81 42
                                    

"Sudah beberapa minggu ini, kalau check up sendirian aja ya Bunda, kalau boleh tahu, Ayahnya kemana?"

Wanda terdiam mendegar pertanyaan itu. Lalu tidak lama dia tersenyum, di mainkannya jemari di atas perutnya, "Lagi nyari uang Bu Dokter, jadi Baby sama Bunda dulu sementara ini."

Sang dokter mengulum senyum, sambil memperlihatkan foto sebuah bintik kecil berwarna hitam putih. Hasil usg yang dia cetak. Yang akan dia kumpulkan, dan mungkin akan dia perlihatkan suatu hari kepada Charis. Meskipun mungkin tidak sekarang.

Wanda tersneyum, ketidaknyamanan yang disebabkan oleh pertanyaan dokter berubah sumringah. Karena apa yang dia lihat saat ini adalah seseorang yang mungkin akan menemaninya. Jika semua orang meninggalkannya, maka bayi ini yang akan menemaninya. Bukan begitu?

Wanda sudah biasa melakukannya sendirian. Salah satunya pergi melakukan check kehamilan di salah satu rumah sakit perbatasan antara Bogor dan Jakarta. Dokter kandungan di sini katanya bagus. Dan Wanda ingin melakukan dan memberikan yang terbaik untuk anaknya.

Terhitung sudah satu bulan saat terakhir Wanda berhenti untuk mencari tahu soal Charis. Malam itu, saat dia menyadari bahwa bukan hanya dirinya yang menunggu moment bertemu. Tapi Charis juga. Jadi, mereka bukan berpisah. Mereka hanya sedang ada di dalam moment untuk menyembuhkan.

Wanda tahu tidak mudah bagi Charis menerima kenyataan ini. Tapi, dia memang harus mengalahkan egonya dalam bentuk Dika. Wanda memahami hal tersebut. Jadi, meskipun Charis tidak memintanya, Wanda akan tetap menunggunya. Karena dengan hal itu saja, Wanda bisa mengobati traumanya juga.

Wanda menghabiskan waktu sekitar dua jam di dalam rumah sakit itu. Sehabis ini dia punya janji bertemu dengan Gita, yang rencananya temannya itu akan menemuinya di rumah sakit ini. Jadi, sambil menunggu berkas administrasi, Wanda menunggu di ruang tunggu.

Sebenarnya dia tidak suka berdiam diri di sana. Karena ada banyak hal yang bisa dia lihat. Salah satunya adalah pasangan suami istri yang mungkin sedang tidak sabar menunggu buah hati mereka. Sama sepertinya. Tapi juga berbeda. Karena saat itudia seorang diri.

Sibuk melamun, tiba-tiba saja di sampingnya duduk seorang perempuan yang juga tengah hamil. Dia memberikan senyuman kepada Wanda. Lalu mengatakan, "Sendiri bunda?" katanya.

Wanda mengangguk dengan cepat, lalu matanya mengarah kepada perut yang malu-malu memperlihatkan diri dari balik blouse hijau. "Mbak juga sendiri?"

Perempuan itu mengangguk, lalu mengusap perutnya. "Iya nih, Bunda. Cuma saya sama utun aja."

Wanda menautkan alis, "Utun?" katanya heran.

Tidak lama perempuan itu tertawa kecil, "Iya, bayik yang di perut ini Bunda, Utun."

Wanda tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia menutup mulutnya yang membulat. "Maaf saya nggak tahu," katanya merasa bersalah.

Tangan perempuan itu melambai, "Nggak apa-apa, biasa saja Bunda."

Wanda mengangguk, sambil terus tersenyum canggung. Kemudian, dia menoleh lagi ke arah perempuan itu. Ada keringat sebesar jagung keluar dari pelipisnya. "Mbak capek yah? Ini saya ada tisu," katanya lalu mengeluarkan tisu yang ada di dalam tas.

Usai menyambut uluran tangan, perempuan itu leks menyeka keringat di pelipis. "Susah ya Bunda, jadi singel parents lagi hamil gini. Kemana-mana sendiri. Barang-barang banyak yang ketinggalan. Terus pasti khawatir kalau nanti lahiran karena nggak ada yang bantu."

Wanda jadi ikut sedih. Ternyata yang merasakan nasib hamil sendirian bukan hanya dirinya. Masih ada orang lain. Salah satunya perempuan yang terlihat tegar ini. "Mbak pasti bisa, ini sudah bulan ke berapa Mbak?" megalihkan pembicaraan Wanda menanyakan topik lain.

Trauma (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang