°KTB ~ 07°

1.7K 275 14
                                    

Hukuman




'''^'''




Setelah kepergian Dokter Juna dari hadapan mereka, ketiga bersaudara itu langsung menghampiri Narendra di salah satu bilik ruang UGD.

Rendika yang melihat sebuah kursi disamping brangkar langsung meminta Chandra untuk duduk diatasnya, kemudian mereka larut dalam sepi menemani si bungsu yang masih terlelap dalam tidurnya.

Tangan Jendra lalu bergerak mengusap lembut puncak kepala Narendra, begitupun Chandra yang memperlihatkan kekhawatirannya dengan menggenggam tangan si bungsu yang terbebas dari jarum infus.

Semua itu tak luput dari pandangan Rendika, membuat hatinya terbagi merasakan dua hal yang saling bertolakbelakang di saat bersamaan.

Sebagian hatinya menghangat sebab melihat kasih sayang diantara mereka, seolah menegaskan bahwa didikan yang selama ini coba ia terapkan pada mereka tak terbuang sia-sia.

Tapi sebagian hatinya yang lain justru merasakan nyeri yang luar biasa, merasa tak setuju bahwa dirinya telah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Sebaliknya, ia malah merasa gagal menjalankan tugasnya sebagai seorang kakak tertua. Entah itu gagal melindungi, atau gagal menjadi kuat untuk semua adik-adiknya.

Lalu saat merasakan tak lagi bisa menahan air matanya, Rendika memilih keluar dari sana. Mengatakan bahwa ia akan ke kamar mandi dan meminta mereka menjaga Narendra selama ia pergi.

Dan benar saja, sesaat setelah pintu bilik kamar mandi tertutup, Rendika tak lagi mampu menahan air matanya. Semuanya tumpah ruah seolah menggambarkan seberapa besar rasa sakit yang selama ini ia tahan. Beban pikirannya seolah tak mampu lagi ia tampung. Ia butuh seseorang sebagai teman, ia butuh sesuatu sebagai pelampiasan.

Tapi siapa yang bisa ia harapkan, berbagi rasa sakit dengan ketiga adiknya bukanlah hal yang bisa ia lakukan. Bahkan sampai kapanpun itu. Apalagi sang ayah, sosok orang tua satu-satunya yang ia miliki itu sama sekali tak bisa dia harapkan.

Jangankan berbagi luka, bahkan sosoknyalah yang paling banyak berkontribusi memberi derita.

Jadi yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menangis dengan menggigit lengan seragamnya, meredam isakan dibantu suara air kran yang ia biarkan menyala.

Butuh waktu setidaknya lima belas menit untuk Rendika menuntaskan semuanya. Dan setelah dirasa cukup, remaja itu lalu keluar dari bilik kamar mandi dan membasuh wajahnya di wastafel yang tersedia di sana. Memastikan bahwa wajahnya tak lagi terlihat sembab pada kaca besar di hadapannya.

Rendika lalu kembali ke ruang UGD, dan mendapati si bungsu telah duduk bersandar di tempatnya berbaring.

"Kak Ren dari mana?"

Yang ditanya menyempatkan diri menatap satu persatu dari mereka, lalu tersenyum simpul menyamarkan perasaannya. "Dari kamar mandi."

"Kok lama banget?" Chandra menatap curiga kearahnya.

"Tadi sakit perut, mungkin karena kemaren kebanyakan makan pedes."

Karena jawaban yang ia berikan, Jendra dan Narendra kini ikut menatap curiga kearahnya. Bukan tanpa alasan mereka melakukan hal itu, karena Rendika adalah sosok yang paling tahan dengan rasa pedas dari ketiga saudaranya yang lain. Jadi sangat tak masuk akal jika hal itu memang benar-benar terjadi pada kakak tertuanya.

"Udah ah, kakak mau ke resepsionis dulu. Mau urusin administrasi rumah sakit, biar kita bisa cepet pulang." Alibinya cepat, berusaha mengalihkan topik pembicaraan yang sedang adik-adiknya bangun.


Kisah Tak Berkesah { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang