Drama Keluarga
'''^'''
Jika di film-film ada adegan seorang ayah yang menunggu putranya pulang dengan duduk di kursi ruang tamu dalam keadaan gelap, maka hal yang sama kini tengah terjadi di kediaman Bagaskara. Bedanya, yang menunggu saat ini adalah putra sulung keluarga itu dan yang sedang di tunggu adalah kepala keluarganya.
"Ayah."
Bagaskara sempat terhenyak sebab panggilan putra sulungnya, lalu segera mengondisikan ekspresi wajahnya sebelum berbalik dan menatap kearah Rendika. Sejujurnya ia tak tahu jika ada yang menantinya sampai selarut ini. "Ada apa?"
"Ada yang mau aku tanyain ke ayah."
Sang ayah menghela nafas lelah, kali ini Rendika bahkan bisa melihat bahwa sang ayah memang benar-benar lelah setelah menghidupkan lampu. Tapi tekadnya sudah bulat, ia harus segera meluruskan semua permasalahan yang terjadi.
"Kamu nggak lihat ayah baru aja pulang? Jadi simpan dulu pertanyaan kamu itu, kita bahas besok pagi. Ayah mau istirahat."
"Apa bener ayah nyuruh Jendra buat ikutan lomba karya ilmiah buat gantiin aku?" Bagaskara yang sudah akan berlalu menghentikan langkahnya, tetap bergeming beberapa saat sebelum kembali berbalik badan.
"Apa adikmu itu sudah mengadu?"
"Jadi benar?" Sebuah pertanyaan yang dibalas pertanyaan, hal yang Rendika tau paling di benci ayahnya.
"Iya."
Iya? Bagaimana ayahnya bisa mengatakan satu kata itu dengan mudahnya, disaat Rendika sudah mati-matian melakukan segalanya demi semua adik-adiknya?
"Tapi ayah udah janji sama aku kalo ayah nggak akan ngelibatin mereka dalam hal ini. Ayah bahkan bilang nggak akan ganggu mereka kalo aku ikut organisasi dan nyalonin diri buat jadi ketuanya. Tapi apa? Belum genap seminggu yah, bahkan mungkin cuma tiga hari. Tiga hari ayah sudah memaksakan kehendak ayah buat Jendra ikutan lomba karya ilmiah gantiin aku."
"Kalau ayah bisa memanfaatkan kepintaran adikmu itu, kenapa enggak? Lagian Jendra juga nggak kalah pintar dari kamu, jadi buat ngisi waktu luang selama nggak ada lomba di Club basketnya, dia bisa sekalian gantiin kamu di lomba karya ilmiah kali ini."
Tatapan Rendika berubah nanar, dirinya merasa sudah tak mengenal laki-laki paruh baya di depannya ini. Ayahnya benar-benar sudah berubah sejak terakhir kali ia mengenalnya.
"Jadi dengan kata lain ayah tega memanfaatkan kita demi ambisi ayah yang nggak masuk akal itu?" Nada bicara yang sedari tadi Rendika jaga pecah, teriakannya keluar sebab perkataan Bagaskara yang benar-benar melukainya.
Tak disangka, Bagaskara mengambil sebuah vas bunga yang berada di atas meja, lantas melemparkannya kearah sang putra sulung. Beruntungnya vas bunga itu hanya melewati sisi kiri wajah Rendika, sebelum pecah sebab terbetur dinding dibelakangnya.
"Ambisi yang nggak masuk akal katamu? Ambisi yang kamu anggap nggak masuk akal itu bahkan mampu menghasilkan banyak uang yang setiap hari bisa kamu gunakan untuk bertahan hidup. Jangan lupa kalau karena itu juga kamu bisa bersekolah dan merasakan hidup mewah."
"Apa menurut ayah hidup mewah saja sudah cukup bagi kami?" Kali ini Chandra menyahut dari arah tangga, putra ketiga Bagaskara itu lalu terlihat menuruni tangga. Meninggalkan dua saudaranya yang lain yang ternyata juga memperhatikan keributan kecil yang terjadi malam itu.
"Chandra, masuk ke kamar mu sekarang!" Rendika berseru kalang kabut, sebab ia tahu jika saat ini sang ayah tengah benar-benar berada di puncak emosinya. Ia hanya tak mau adik-adiknya terluka hanya karena hal semacam itu.
Tapi seolah tuli, Chandra tetap nekat menuruni setiap anakan tangga. Mengabaikan semua perintah sang kakak.
"Jendra bawa adik-adik mu ke kamar, sekarang!"
"Enggak kak." Rendika menghela nafas frustasi, bahkan kedua adiknya yang lain kini juga ikut menuruni tangga.
"Apa dengan melempar vas bunga itu ayah juga ingin membunuh kakak? Apa belum cukup selama ini ayah merampas semua kebebasan dan kebahagiaan kita semua?" Chandra berteriak lantang, berdiri tegap tepat didepan sang ayah.
"Jaga bicaramu itu Chandra!" Telunjuknya bahkan sudah mengarah tepat di depan wajah sang anak.
"Kalau begitu ajari kami dulu ayah. Ajari kami bagaimana caranya menjaga ucapan agar tak melukai perasaan orang lain. Jangan hanya bisa menuntut kami, sedangkan ayah sendiri gagal dalam hal ini."
Bagaskara terlihat sangat murka saat ini, lalu sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kiri milik Chandra.
"Ayah!" Ketiganya sontak berteriak melihat hal itu, lalu Jendra yang baru sampai di lantai bawah langsung menarik Chandra ke belakang tubuhnya. Melindungi adiknya dari pukulan sang ayah yang bisa saja kembali terjadi, hal yang hampir tak pernah terjadi sebab sifat Jendra yang memang tak suka membantah.
Bagaskara tersenyum, lantas mengangguk-anggukkan kepalanya sarkas. Tatapannya kini beralih kembali kearah si sulung. "Puas kamu sudah berhasil mendidik adik-adik mu menjadi seperti ini? Menjadi anak-anak yang berani melawan orang tuanya sendiri?"
"Apa ayah masih menganggap diri ayah sebagai orang tua kami setelah semua yang terjadi?" Si bungsu tiba-tiba bersuara, tatapannya terluka melihat kearah sang ayah. "Bahkan aku kira, kita cuma punya kakak setelah bunda tiada." Lanjutnya menyakitkan.
"Narendra!"
"Jangan berteriak ke arah Narendra ayah. Karena dia nggak sepenuhnya salah. Sikap dari ayah sendirilah yang membuat kita beranggapan seperti itu. Jadi, setidaknya jangan pernah menjadi penyebab air matanya kalo ayah bahkan nggak pernah bisa menciptakan senyuman di wajahnya."
Bagaskara terdiam, ia tak menyangka jika anak keduanya juga akan berteriak lantang seperti itu di depannya.
Tak lama Chandra tertawa menyakitkan, tatapannya mengarah tajam kepada satu-satunya pria berbeda generasi disana. Tapi siapapun tau, bahwa tatapan tajam dan tawa menyakitkan itu mampu menyembunyikan luka yang begitu besarnya.
"Sekarang ayah puas dengan hasil yang selama ini ayah tanam? Bagaimana? Apa begitu jauh dari ekspektasi sampai mampu membuat ayah terdiam?" Lalu senyum menyakitkan itu kembali muncul, menjeda ucapannya yang menjadi satu-satunya suara yang terdengar saat itu.
"Bahkan seekor anjing yang begitu penurut saja bisa kembali menyerang tuannya jika terus-menerus di sakiti. Lalu apa yang ayah harapkan dari kami yang cuma manusia biasa ini? Apa ayah berharap kami akan tetap menjadi anjing yang menuruti majikannya meski harus mati suatu hari nanti?"
Mendengar itu Bagaskara langsung berjalan mendekat, lalu berhasil menampar kembali putra ketiganya setelah berhasil menyingkirkan ketiga putranya yang lain saat berusaha menghalanginya. Bahkan saking kerasnya tamparan yang ia berikan, Chandra sampai harus jatuh terduduk.
"Jangan berfikir ayah mau memiliki anak seperti kalian. Bahkan jika bukan karena bundamu itu, ayah sudah pastikan kalian nggak akan pernah ada di dunia ini!!"
Setelah mengatakan hal itu, Bagaskara sempat terdiam. Menyadari ucapan yang tak seharusnya ia lontarkan di depan anak-anaknya.
Lalu semua berjalan dengan cepat setelahnya. Chandra berlari menuju lantai dua, diikuti ketiga saudaranya dengan ekspresi sarat akan kekhawatiran. Meninggalkan Bagaskara seorang diri di ruang tamu yang terlihat kacau.
Empat bersaudara itu memang sempat terdiam saat mendengar ucapan sang ayah tadi. Tapi siapapun pasti tau, dari reaksi yang Chandra tunjukkan, dialah pihak yang paling terluka disini.
'''^'''
Tbc.Rev.250422
hd_
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Tak Berkesah { END }
FanficTerkadang manusia hanya harus hidup seperti air. Yang walaupun harus terjun bebas dari atas tebing dan terbagi menjadi butiran-butiran yang lebih kecil, tapi tak sekalipun ada yang pernah menilai seberapa kuat atau rapuhnya ia. +×+×+× Start : 29 Agu...