°KTB ~ 25°

1.3K 231 3
                                    

Harus Beradaptasi



'''^'''


Suara keributan dari arah dapur akhirnya memancing Rendika untuk beranjak dari tidurnya pagi ini, sedikit mencuci muka sebelum memutuskan turun menuju sumber suara.

Dari arah belakang Rendika bahkan sudah bisa melihat siapa wanita berambut hitam sebahu yang tengah sibuk dengan kegiatannya di depan kompor. Lalu refleks menghela nafas untuk hal-hal yang akan ia temui setiap harinya mulai dari hari ini.

Yap, melihat Sarah yang sibuk berkutat di dapur akan menjadi makanan sehari-hari untuk kedepannya bagi Rendika. Jadi mau tak mau dirinya harus segera beradaptasi, begitu juga dengan ketiga adiknya.

Sulung itu kemudian berjalan mendekat, membuat pergerakan Sarah yang tengah memasak menu sarapan terhenti. Wanita itu langsung menatap Rendika dengan senyuman tipis nan manis miliknya.

"Kamu sudah bangun? Ah, atau kamu kebangun gara-gara suara keributan dari dapur?" Sarah memasang wajah bersalah, kentara sekali jika dirinya menyesali perbuatannya.

"Enggak, saya memang udah biasa bangun pagi-pagi sekali."

Sarah manggut-manggut, tapi hatinya menghangat sebab Rendika yang ternyata mau menimpali ucapannya. Meski si sulung masih berusaha menjaga jarak, juga enggan memanggilnya dengan sebutan bunda atau semacamnya.

"Oh iya, Tante cuma masak sesuai bahan yang ada di kulkas. Soalnya Tante juga belum tau makanan apa yang kalian suka atau yang nggak kalian suka."

Rendika yang masih berdiri di tempatnya terdiam, tapi tatapannya memperhatikan bagaimana Sarah yang terlihat begitu lihai dengan peralatan masaknya. "Tante nggak perlu mikirin kita. Biar masalah makanan dan yang lainnya kita yang urus sendiri, karena kita juga sudah terbiasa dengan itu. Jadi Tante hanya perlu masak untuk ayah juga buat diri Tante sendiri. Karena kalaupun Tante maksa, mereka akan tetap menolak masakan Tante. Jadi percuma."

Raut muka Sarah sedikit berubah, menunjukkan sedikit kekecewaannya. Tapi sebisa mungkin langsung ia tutupi dengan senyuman yang selalu ia tampilkan di depan anak-anak sambungnya. "Yaudah, tapi biarin Tante bantuin kamu kalo gitu."

"Nggak perlu, karena ada aku yang akan selalu bantuin kakak." Narendra berseru dari ambang pintu dapur, entah sejak kapan dia ada di sana.

Lagi-lagi Sarah hanya bisa manggut-manggut, lalu sedikit melangkah kebelakang saat semua peralatan masak di ambil alih dua bersaudara itu. Sedangkan dirinya sendiri memang sudah selesai dengan acara memasaknya, tepat setelah kedatangan Narendra di area dapur tadi.

Selain itu, Sarah memang sudah langsung di ajak pulang ke kediaman Bagaskara sejak dari restoran semalam. Kepala keluarga itu seolah menghiraukan keputusan putra-putranya yang menolak mentah-mentah kehadiran figur baru di tengah-tengah mereka.

Sedangkan keempat bersaudara itu sepakat untuk membiarkan semua itu dalam artian yang sebenarnya. Menghiraukan keberadaan Sarah, atau Damar saat remaja itu datang berkunjung. Karena remaja itu ternyata memutuskan untuk tetap tinggal di rumah lamanya, alih-alih ikut pindah bersama Tante Sarah ke kediaman Bagaskara.

Lalu semuanya berlanjut dengan kegiatan masing-masing.

Di minggu pagi menjelang siang itu, Rendika berjalan keluar kamar untuk selanjutnya pergi ke arah dapur. Sulung itu lalu mengambil dua botol minuman dingin dan membawanya kearah lapangan basket di samping rumah.

Sejenak mengamati bagaimana permainan Jendra yang terlihat kacau dengan tak ada satu poin pun yang berhasil ia cetak, dengan kata lain tak ada bola yang berhasil masuk ke dalam ring selama dirinya memperhatikan dari tempatnya.

"Kalo ada masalah itu cerita bang, bukan malah cari pelampiasan kaya gini. Yang ada kamu malah kecapekan, bukannya sehat." Rendika berseru dengan langkah mendekat, duduk di kursi yang di sediakan di pinggir lapangan. Tangannya terangkat untuk memberi isyarat bahwa ia membawa minuman untuk adiknya itu.

Jendra yang mengerti akhirnya berjalan mendekat, memposisikan diri di samping kanan Rendika. "Emang keliatan banget ya kak?"

Rendika bergumam, lalu mengulurkan sebotol minuman kearah Jendra setelah ia menyeruput minumannya sendiri. "Kamu pikir hidup bersama sejak dari kandungan masih kurang buat kakak bisa memahami gimana kebiasaan masing-masing dari kalian?"

Jendra hanya terkekeh, tangannya meletakkan botol minuman yang isinya tinggal setengah tepat di samping tempatnya duduk.

Lalu hening, keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Bahkan yang lebih muda sudah mengubah posisi duduknya, kedua tangannya kini menumpu pada kursi kayu yang ia duduki. Tak lupa pandangannya menerawang jauh ke depan.

"Aku nggak tau mau cerita dari mana. Bahkan mungkin aku juga masih bingung mau cerita soal apa ke kakak. Tapi yang jelas, aku bingung kak. Aku bingung sama diri aku sendiri."

"Bahkan kalo aku boleh jujur, aku nggak pernah setuju sama apapun keputusan yang ayah kasih ke kita. Tapi kenapa aku nggak bisa kaya Narendra yang meskipun diam, tapi dia tau bagaimana caranya memahami orang lain dalam diamnya."

"Juga sebaliknya, kenapa aku nggak bisa kaya Chandra yang dengan lantang bisa menyuarakan apa yang memang nggak sesuai sama keinginannya. Kenapa?" Jendra terkekeh miris.

"Bahkan aku juga ngerasa gagal menjadi seorang abang yang baik seperti kakak. Yang setiap saat selalu bisa menjadi tempat yang selalu di tuju disaat-saat seperti ini. Aku nggak bisa kak, aku bahkan udah gagal sejak awal, sejak bunda nggak ada."

Entah kenapa pertahanan yang selama ini berusaha ia bangun runtuh, bersamaan dengan air mata yang terjun meleburkan sakit di dadanya.

Si sulung yang sedari tadi hanya diam, kini mengulurkan tangannya di atas bahu lebar sang adik. Menepuk beberapa kali untuk menunjukan dukungannya sebagai seorang kakak.

"Kenapa kamu bisa mikir kayak gitu? Padahal bagi kakak, kamu adalah sosok abang yang hebat buat kita bertiga."

Perlahan tapi pasti Jendra mengalihkan pandangannya ke arah sang kakak, mengerutkan keningnya seolah bertanya maksud dari ucapan Rendika barusan.

"Kamu tau? kenapa kakak masih bisa bertahan menjadi seorang kakak untuk kalian bertiga setelah bunda nggak ada padahal tuntutan ayah nggak ada habis-habisnya? Itu karena kamu bang, terlepas dari kehadiran Chandra juga Narendra yang memang menjadi kewajiban kakak. Tapi kamu adalah sosok yang diam-diam selalu menjadi alasan kakak buat bertahan."

"Kakak selalu belajar dari kamu gimana caranya bersabar dengan tetap diam, menerima semua yang sebenarnya menyakitkan dengan sebuah senyuman menenangkan. Kakak belajar semua itu dari kamu. Jadi nggak akan masuk akal kalo kamu bilang nggak bisa jadi abang yang baik seperti kakak. Karena kenyataannya, kamu jauh lebih baik dari kakak." Ucapnya berkaca-kaca.

"Jadi jangan pernah berkecil hati lagi, jangan pernah menyalahkan diri sendiri atas apa yang sebenarnya bukan kesalahan kamu. Hidup memang keras, tapi kakak yakin kamu nggak serapuh itu untuk bisa di hancurkan keadaan."

Lalu senyuman tipis menghiasi sudut bibir keduanya. Bahkan sebuah pelukan hangat tak lupa Rendika berikan, lengkap dengan usapan menenangkan di punggung sang adik.

Setidaknya Rendika tau, mungkin semalam Chandralah yang paling keras dalam menentang keputusan sang ayah. Tapi siapapun pasti mengerti, bahwa Jendra akan selalu menjadi pihak yeng paling terluka jika semua itu berkaitan dengan bunda. Karena sejak kecil, adiknya itu adalah sosok yang paling dekat dengan sang bunda, alih-alih Narendra yang menjadi anak termuda diantara mereka.



'''^'''
Tbc.

Gimana-gimana, feel-nya dapet nggak?
Soalnya aku nangis waktu nulisnya:(



Rev.250422
hd_

Kisah Tak Berkesah { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang