°KTB ~ 29°

1.8K 256 33
                                    

Maaf



'''^'''




Suara kicauan burung yang saling bersahutan, juga hamparan taman bunga yang kali ini Jendra lihat membuat remaja itu bertanya-tanya, dimana ia berada sekarang?

Tak lama, seekor kupu-kupu beterbangan menarik perhatiannya. Membuat kaki jenjang itu tanpa sadar berjalan mengikuti kemana arah kupu-kupu indah itu pergi.

Langkahnya terhenti tepat ketika hewan bersayap kuning itu hinggap di setangkai mawar merah. Tangannya lalu terulur, ingin menyentuh sayap rapuh itu menggunakan telunjuknya.

"Abang suka kupu-kupu itu?"

Pergerakan Jendra langsung terhenti. Menengok kearah Rendika yang juga tengah menatapnya, terduduk di sebuah kursi tepat di tepian danau tak jauh dari posisinya. Sedangkan kupu-kupu itu langsung terbang tinggi, meninggalkan dua bersaudara itu entah kemana.

"Kak Ren....." Jendra tak lagi mampu melanjutkan kata-katanya, matanya langsung berkaca-kaca sebab dadanya yang terasa sesak melihat senyum simpul Rendika kepadanya.

"Kenapa? Ada yang mau kamu omongin sama kakak?"

Jendra tak langsung menjawab, tapi kakinya melangkah perlahan menghampiri sang kakak. Lalu duduk di samping Rendika dengan tatapan lekat kearah si sulung. "Ini nyata kan? Aku nggak lagi mimpi kan kak? Kakak, kakak emang lagi duduk di depan aku kan sekarang. Iya kan?"

"Kenapa kamu nanya kayak gitu? Kamu kangen sama kakak?"

Jendra mengangguk berkali-kali, air matanya meluruh dari kedua sudut mata indah itu. "Iya, dan aku mohon kakak jangan ninggalin aku lagi. Aku, Chandra sama Narendra masih butuh kakak di sini."

Rendika tersenyum, kali ini terlihat manis sekali.

"Tapi kakak emang nggak akan pergi kemana-mana. Karena kakak akan selalu ada di sini, di hati kalian semua." Rendika mengatakan itu dengan tangan bergerak menyentuh dada sang adik, seolah menegaskan bahwa keberadaannya akan selalu abadi di hati adik-adiknya.

"Tapi aku mau kehadiran kakak yang nyata di sini, bukan cuma sekedar abadi di dalam hati."

Lagi-lagi Rendika tersenyum simpul mendengarnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah danau di depan sana.

"Kamu tau kenapa kakak nemuin kamu di sini?"

Jendra hanya diam tak menjawab, tapi kerutan samar di dahinya seolah mengatakan bahwa remaja itu juga penasaran dengan alasan Rendika menemuinya di tempat asing ini.

"Karena kakak mau kamu percaya sama diri kamu sendiri, mulai dari saat ini. Jangan takut dan jangan terlalu banyak berfikir bang, ambil keputusan yang memang di butuhkan saat itu. Karena dengan begitu, kamu nggak akan merasakan banyak penyesalan karena kehilangan lebih banyak lagi."

Pandangan keduanya bertemu.

"Dan untuk saat ini, kakak mohon bantu Narendra buat sembuh bang. Ambil keputusan itu, karena hanya kamu yang bisa melakukannya."

Jendra menggeleng lemah. "Tapi aku nggak mau kehilangan kakak."

Senyum simpul kembali terpatri di wajah Rendika yang terlihat lebih bersinar, tangannya bergerak menggenggam kedua tangan milik Jendra. "Kakak nggak akan pergi kemana-mana. Kakak hanya akan menemui bunda lebih dulu, itu aja. Karena bunda saat ini lebih butuh kakak. Dan sama seperti itu, kamu juga harus segera kembali. Karena Chandra dan Narendra juga butuh kamu untuk jadi abang yang hebat buat mereka."

"Tapi aku nggak mungkin bisa jadi abang yang hebat tanpa kakak." Jendra masih keukeuh, menggenggam semakin erat tangan Rendika saat kakaknya itu berusaha melepaskannya.

Si sulung menggeleng. "Enggak, kamu bisa jadi abang yang hebat dengan versi kamu sendiri. Dengan, atau tanpa kakak di sisi kamu."

Lalu dengan cepat Rendika langsung mendorong tubuh Jendra kearah danau. Membuat remaja itu langsung terbangun dari tidurnya dengan nafas tersengal, sudut matanya bahkan basah karena air mata. Ya, Jendra baru saja bermimpi bertemu Rendika. Kakaknya itu bahkan menyampaikan beberapa pesan lewat mimpinya.

Lalu tak berselang lama, Jendra yang memang tertidur di kursi samping brangkar langsung dibuat panik saat tubuh Rendika mengalami kejang-kejang hebat. Yang dengan cepat membuatnya berlari keluar untuk memanggil para dokter.

Dikursi tunggu pun Jendra langsung termenung dengan hati tak tenang, pikirannya melayang memikirkan pesan apa yang di sampaikan Rendika padanya. Lalu menghubungkannya dengan diagnosa dokter yang sudah memvonis kakaknya itu dengan keadaan mati otak.

Keadaan dimana sang kakak sudah di prediksi tidak akan bisa bangun dan pulih kembali, sama seperti kasus-kasus lain tentang pasien yang mengalami hal yang sama. Yang bahkan hidupnya hanya bisa bertahan sebab bantuan dari alat-alat medis.

Tentu saja Jendra bimbang, dia merasa tak sanggup untuk mengambil keputusan itu. Dia bahkan langsung memutuskan untuk tetap mempertahankan kakaknya itu saat pertama kali mendengar kabar ini, setidaknya Rendika bisa tetap ada bersama dengan mereka apapun yang terjadi. Meskipun kehadirannya tak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya.

Tapi jika Rendika sendiri sudah meminta seperti ini, lalu apa yang bisa ia lakukan?

"Ada apa bang? Kenapa abang ada di luar?"

Jendra tersentak saat suara Chandra tiba-tiba menginterupsinya, membuat adiknya itu kini menatap khawatir kearah dirinya. "Kenapa bang?" Lanjutnya lagi.

Keduanya memang sepakat untuk saling bergantian menunggu Rendika juga Narendra, menolak bantuan Sarah dan sang ayah yang berkali-kali datang ingin menjenguk keadaan kedua bersaudara itu.

"Kakak tadi nemuin abang lewat mimpi, dia bilang abang harus mengambil keputusan itu mas. Demi Narendra. Tapi kamu tau sendiri kalo abang nggak mungkin bisa ngelakuin semua itu." Jendra menjelaskan dengan suara bergetar, mati-matian menahan air mata yang bahkan bekasnya belum sempat mengering tadi.

Sedangkan Chandra langsung paham dengan keputusan apa yang sedang di bicarakan Jendra saat ini. Sebuah keputusan yang bahkan tak akan sanggup di ambil saudara kembar manapun di dunia ini.

Ya. Menyelamatkan satu nyawa, dan membebaskan raga lain dari rasa sakitnya.

Tapi bahkan melakukannya jauh lebih sulit daripada mengucapkan kalimat itu sendiri.

Mengakhiri hidup Rendika, dan mendonorkan jantungnya untuk menyelamatkan si bungsu Narendra? Persetan dengan itu, mereka memang menginginkan kesembuhan Narendra. Tapi tidak dengan mengakhiri hidup Rendika juga.

"Kalo gitu lakukan bang." Lirihnya dengan suara menyakitkan.

Jendra yang tengah mengusak rambutnya kasar langsung menatap Chandra, tak percaya dengan kalimat apa yang baru saja ia dengar. Sedangkan yang lebih muda hanya mampu menatap kosong kearah pintu ruangan Rendika yang tertutup. "Kamu...."

"Kak Ren sendiri yang mau ini bang, bukan kita." Chandra berseru cepat, mengalihkan pandangannya ke netra indah Jendra dengan berkaca-kaca. "Setidaknya kita udah ngelakuin hal yang dia mau di detik-detik terakhir dia hidup. Walaupun itu begitu menyakitkan buat kita."

"Lalu Narendra?"

"Kita bisa jelasin semuanya nanti saat dia udah pulih. Aku yakin dia bakal ngerti.










Walaupun sulit."






'''^'''
Tbc.

Waktu ngetiknya aku nangis, huhuuu
Tapi waktu aku baca ulang kok aneh:(
Maafkan cerita ini yang nggak sesuai ekspektasiiii😭

Tapi gapapa,
Aku mood banget waktu bacain komen-komen dari kalian kemaren.
Dan makasih udah mau mampir baca cerita abal-abal ini
Semoga kelanjutan ceritanya nggak ngecewain kalian yaa

Btw....
Mungkin tinggal sepuluh chapter-an lagi

Jadi....
Semangat buat kalian yang nungguin cerita aku sampai ending (kelihatan maksa banget😬)


Rev.250422
hd_

Kisah Tak Berkesah { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang