Pengganti yang tak terganti
'''^'''
Jika Chandra di tanya apa arti Rendika dalam hidupnya, maka dengan lantang ia akan langsung menjawab bahwa kakak tertuanya adalah pengganti sang bunda.
Sedangkan untuk sosok ayahnya, Chandra tak terlalu berfikir banyak tentang pria paruh baya itu. Karena sejak kecil pun Chandra tak pernah menganggap figurnya ada, bahkan ia pernah mengatakan bahwa ia tak memiliki seorang ayah kepada teman-temannya saat masih duduk di taman kanak-kanak dulu. Dan tentu saja, Rendika yang saat itu mengetahuinya langsung mengatakan hal itu tidaklah benar. Rendika selalu menekankan untuk menyayangi ayah mereka tak peduli bagaimana sikap buruknya memperlakukan keempatnya.
Dan satu alasan lagi kenapa ia sangat menyayangi sosok kakaknya itu adalah, bagaimana sosok Rendika yang akan lebih mengkhawatirkan keadaan orang lain daripada dirinya sendiri.
Dan hal itulah yang saat ini sedang Chandra saksikan.
Bagaimana sang kakak yang langsung berlari menghampiri Jendra yang baru selesai latihan, tak peduli dengan tetesan air hujan yang juga akan membuatnya basah kuyup.
Sebuah handuk bersih juga sudah tersampir di bahu Jendra saat kedua bersaudara itu sampai di teras depan, bersamaan dengan Narendra yang keluar dengan segelas susu hangat. Buatan si bungsu, tapi lagi-lagi atas pemikiran si sulung.
"Minum susunya dulu, mumpung masih anget." Rendika mengambil segelas susu itu dari tangan Narendra, lalu mengulurkannya pada Jendra.
"Makasih kak." Keduanya saling melempar senyum, sebelum yang lebih tua beranjak ke kebelakang tubuh Jendra yang terduduk di kursi. Meraih handuk baru di atas meja teras, lalu mengeringkan rambut adiknya yang terlihat lepek akibat air hujan.
"Langsung abisin, habis itu mandi trus langsung istirahat. Kakak tau kamu capek." Jendra manggut-manggut. Masih dengan kegiatannya menyeruput segelas susu di tangannya.
Keadaan hening beberapa saat, hingga suara Chandra memecah keheningan itu.
"Aku juga capek kak." Atensi ketiga orang lainnya langsung tertuju pada Chandra, tatapan Chandra yang semula menyorot lantai marmer kini perlahan menatap Rendika yang terdiam. "Aku capek harus terus-terusan ngeliat kakak bersikap seolah semuanya baik-baik aja."
"Mas....."
"Aku pengen kakak sekali-kali ngeluh ke Kita, bukan cuma kita yang bisa bergantung ke kakak." Potongnya cepat, sebelum bergegas masuk ke dalam meninggalkan ketiga saudaranya yang lain.
Rendika yang sudah akan menyusul Chandra terpaksa berhenti karena Narendra yang menahan tangannya. "Biar aku aja kak."
Rendika mengangguk, bersamaan dengan Jendra yang melangkah mendekati sang kakak yang tengah berdiri membelakanginya. "Kakak nggak papa?"
Rendika tersenyum, lalu menggeleng. "Nggak papa, udah kamu masuk aja. Mandi trus istirahat ya? Jangan sampai sakit."
Jendra terdiam, bahkan saat Rendika sudah kembali sibuk dengan urusannya.
"Kakak sendiri gimana? Masih kerasa sakitnya?"
Pergerakan Rendika yang tengah membereskan handuk juga gelas bekas susu tadi kembali terhenti.
"Bekas pukulan dari ayah." Perjelas Jendra karena tak mendapati jawaban apa-apa.
Lagi-lagi Rendika hanya bisa tersenyum menenangkan setelah berbalik badan, yang membedakan hanyalah air mata yang tiba-tiba menggenangi pelupuk matanya. "Iya, habis ini kakak kompres biar nggak bengkak."
Suaranya bergetar, tapi riuh hujan berhasil meredam semuanya. Membuat Jendra lagi-lagi tak menyadari perubahan suara Rendika, tapi jelas tau tatapan si sulung yang menatapnya berkaca-kaca.
°°°°°
Luka bekas tamparan sang ayah semalam semakin terasa kebas tatkala sebuah pukulan mendarat mulus di pipi Rendika, mengejutkan hampir semua anggota RedHause yang saat itu tengah duduk-duduk di kursi depan wasam.
"Lo apa-apaan sih Mar?" Bara yang memang baru datang bertiga dengan Rendika dan Gema langsung maju kedepan, memasang badan menyembunyikan tubuh Rendika yang lebih kecil dari tubuhnya.
Gema tak tinggal diam, remaja itu langsung mendorong tubuh Damar saat melihatnya ingin menyerang Rendika lagi.
"Lo berdua nggak salah belain orang nggak tau diri kaya dia?" Ucapnya penuh emosi, dengan jari telunjuk yang bergerak menujuk-nunjuk kearah Rendika.
Rendika yang mendengar langsung bergerak mendekat, berdiri menatap lurus Damar di depannya setelah membenarkan letak topi yang ia gunakan. "Maksud Lo nggak tau diri tuh gimana?"
"Kemana Lo waktu markas di serang tadi malem?"
Rendika mengernyit dibalik maskernya, merasa tak paham dengan apa yang baru saja di katakan Damar kepadanya.
"Sorry Ren, kita berdua belum sempet ngabarin Lo, ya karena kondisinya yang emang belum memungkinkan." Gema dengan cepat menjelaskan, mimik mukanya benar-benar menjelaskan rasa bersalahnya.
"Iya Ren. Rencananya sih pagi ini kita mau ngasih tau semuanya. Tapi udah keburu runyam kaya gini." Bara ikut menyahuti.
Di depan ketiganya, Damar terkekeh kecil. "Bahkan ternyata Lo belum tau?"
"Mangkanya Lo jangan asal nonjok!!" Bara berseru geram, kentara sekali jika pemilik nama lengkap Barataka Dewangga itu benar-benar emosi.
"Terus gue harus gimana? Berterima kasih karena dia nggak tau apa-apa disaat kita semua hampir sekarat? Iya?" Kedua tangan Damar mengepal kuat, bahkan nada suaranya kembali meninggi.
"Bahkan sekarang gue mulai bertanya-tanya, Lo sebenarnya masih bagian dari kita bukan sih? Atau kalo Lo udah nggak niat, kenapa nggak keluar aja?"
Tatapan Rendika yang sempat melihat kearah lain langsung kembali terangkat, menatap tajam kedua manik hitam milik Damar.
"Dari awal kita ketemu, Lo bahkan tau alasan gue gabung sama kalian tuh karena permintaan dari Bang Cakra, bukan atas kehendak diri gue sendiri." Nada bicara Rendika memang tak terlalu tinggi, tapi terdengar tegas dengan penekanan di setiap kata-katanya.
"Dan dari awal Lo kenal gue, Lo juga udah tau kalo keanggotaan gue emang nggak terlalu mengikat seperti keanggotaan kalian semua. Jadi jangan pernah nuntut gue buat ngelakuin semua hal yang udah Lo lakuin buat RedHause. Bukan karena gue ngerasa di istimewakan Bang Cakra sebagai anggota, bukan. Dan gue sekali pun nggak pernah mikir kaya gitu. Tapi karena dari awal gue udah punya perjanjian sendiri sama bang Cakra."
"Perjanjian?"
"Iya." Rendika menjawab cepat, merasa sudah tak sanggup untuk tetap diam setelah semua yang ia alami.
"Dan di perjanjian itu berisi dua hal. Pertama, gue akan gabung kalo semisal kerahasiaan identitas gue sebagai anggota RedHause terjamin. Itu alasannya kenapa semua warga sekolah nggak ada yang tau kalo gue bagian dari kalian, bahkan adik-adik gue sendiri. Dan yang kedua, gue nggak bisa selalu memprioritaskan RedHause seperti apa yang kalian semua lakuin. Apalagi kalo hal itu menyangkut kepentingan pribadi gue, udah pasti gue akan menomorsekiankan RedHause. Bukan karena gue egois, tapi memang itu isi perjanjiannya. Dan kalian tau? Bang Cakra menyetujui semuanya. Jadi jangan pernah menyalahkan gue atas semua yang Lo anggap salah, karena sifat keanggotaan kita emang beda. Bahkan sejak awal gue gabung sama kalian."
"Dan kalo Lo emang nggak setuju, Lo tenang aja, gue bakal keluar dari RedHause detik ini juga."
Setelah menyelesaikan ucapannya, Remaja dengan topi dan masker hitam itu berlalu pergi. Meninggalkan seruan-seruan dari anggota RedHause lainnya. Termasuk Bara juga Gema.
'''^'''
Tbc.Rev.250422
hd_
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Tak Berkesah { END }
FanficTerkadang manusia hanya harus hidup seperti air. Yang walaupun harus terjun bebas dari atas tebing dan terbagi menjadi butiran-butiran yang lebih kecil, tapi tak sekalipun ada yang pernah menilai seberapa kuat atau rapuhnya ia. +×+×+× Start : 29 Agu...