°KTB ~ 01°

6.2K 457 7
                                    

Meet Ayah, Bunda dan Jagoan-jagoannya

'''^'''

Terkadang perspektif seseorang tentang hidup bahagia adalah selalu tentang harta dan kedudukan. Padahal jika mau memandang lagi kebelakang, tak sedikit orang yang hanya ingin hidup sederhana setelah tau asam pahitnya hidup menjadi orang terpandang.

Terpandang di sini juga masih memiliki banyak artian, tapi yang paling umum dibicarakan adalah orang-orang yang bahkan setiap gerak-geriknya pasti di perhatikan, dijadikan panutan atau bahkan bahan perbandingan.

Mungkin semua itu akan terlihat baik-baik saja untuk sebagian orang, apalagi jika hal itulah yang sudah menjadi pilihan hidupnya. Tapi bagaimana jika semua itu terjadi pada orang-orang yang sebenarnya tak benar-benar menginginkannya, yang bahkan harus menerima hanya karena takdir menggariskannya lahir di keluarga yang memang menjunjung tinggi itu semua.

Memuakkan? Tentu saja, apalagi?

Bahkan jika ada kata yang lebih bisa menggambarkan hal itu sudah pasti akan langsung di gunakan.

Hidup di tengah keluarga besar yang dari awal sudah menjunjung reputasi dan harga diri bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika masih harus di bumbui drama beralaskan ambisi yang di tetapkan terlalu tinggi. Seakan-akan tujuan hidup mereka hanyalah untuk memenuhi itu semua, lalu mati tanpa arti.

Itulah kenapa jika ada yang bertanya apa yang paling di benci Bagaska bersaudara, maka reputasi, harga diri dan ambisi keluarga adalah jawabannya.

Jika dulu saat bunda masih ada, semua tuntutan akan selalu di barengi penjelasan sebagai kata pengantar yang sedikit menenangkan. Tapi semenjak bunda tiada, semua terlihat seperti selayaknya. Tanpa polesan, tanpa rekayasa.

Bagaimana sang ayah yang dengan gamblangnya mengatakan bahwa tak ada yang lebih penting dari reputasi keluarga, bahkan apapun akan di lakukan jika itu diperlukan. Mengorbankan kebahagiaan anak-anaknya misalnya?

Karena itulah kenapa hubungan Rendika dan ketiga adiknya tak pernah sedekat itu dengan sosok sang ayah. Bahkan hanya dengan melihatnya saja, semua orang pasti akan tahu sejauh apa bentang jarak yang memisahkan hubungan mereka.

Dan tak selayaknya sebuah rumah besar yang pasti terdapat banyak penjaga ataupun pelayan, maka pengecualian berlaku di kediaman keluarga itu. Terutama Rendika, si sulung satu itu sudah meminta secara pribadi kepada sang ayah untuk tak memperkerjakan seorang pelayan pun. Dalam hal ini beberapa pelayan hanya akan datang di akhir pekan hanya untuk membersihkan area rumah. Sedangkan di hari-hari biasa, empat bersaudara itu akan lebih nyaman dengan keadaan rumah yang hanya di huni keempatnya saja.

Lalu mengenai bunda, bisa di bilang beliau adalah cinta pertama bagi keempat jagoannya. Iya, bahkan Rendika akan mulai mentertawakan dirinya sendiri saat mengingat julukan apa yang di berikan wanita cantik berambut sebahu kala itu. 'Jagoan-jagoan bunda' terdengar kekanakan, tapi sweet di waktu yang bersamaan.

Rendika bahkan masih mengingat bagaimana senyum manis milik sang bunda, senyuman tulus yang entah kenapa mampu membuat setiap beban di pikirannya seolah hilang entah kemana hanya dengan melihatnya. Selain itu bunda memiliki hati selembut sutra, juga tutur kata yang mampu menyejukkan hati para pendengarnya. Itulah kenapa sampai saat ini Rendika masih tak habis fikir, kenapa wanita sebaik bunda bisa menikah dengan ayahnya yang terkenal tempramental dan sangat otoriter. Ya, mungkin itulah kenapa banyak yang bilang bahwa cinta itu buta. Seolah-olah memang menutupi segala keburukan pasangannya.

Tapi sayang, tuhan seakan tak mengizinkan keempat remaja itu untuk menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan sang bunda. Terbukti dengan diambilnya bunda dari sisi mereka beberapa tahun silam.

Kisah Tak Berkesah { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang