°KTB ~ 10°

1.6K 256 4
                                    

Sederhana tapi manis




'''^'''


Terhitung hanya tersisa sepuluh hari untuk sampai di hari ulang tahun SMA Dwisena, dimana hari penting yang paling di tunggu banyak pihak terutama para siswa. Entah hanya untuk bersenang-senang di setiap acara yang di adakan, atau untuk pembuktian setiap persiapan yang sudah mereka lakukan.

Dikoridor sekolah yang terlihat sepi, Rendika berjalan cepat dengan sesekali menatap lurus jam tangan di pergelangan kanannya. Berusaha secepat mungkin untuk bisa sampai di ruang bimbingan setelah hampir setengah jam mangkir karena harus mengurus Jendra di UKS.

Di depan sana, Rendika melihat Damar yang berjalan berlawanan arah dengannya. Membuat langkah Rendika sempat melambat meski akhirnya kembali ke tempo sebelumnya.

"Nggak heran sih orang ambis kaya Lo banyak yang suka, karena emang semua yang Lo lakuin bakal keliatan sempurna hasilnya. Padahal kalo mereka semua tau, Lo ngelakuin ini semua tuh karena terpaksa. Bukan karena kehendak diri Lo sendiri. Sama aja munafik kan ya namanya?"

Rendika menghentikan langkahnya, tepat ketika posisi keduanya yang saling bersebelahan dengan arah yang berlawanan.

"Belum lagi ketiga saudara kembar Lo itu, kelihatan banget gimana ambisnya. Ah, apalagi Adek Lo yang paling kecil tuh, kelihatan banget ambisnya buat kelihatan baik-baik aja di kondisinya yang sakit-sakitan. Miris tau nggak ngeliatnya."

Rendika langsung mengubah posisinya, menghadap Damar yang ternyata juga melakukan hal yang sama. "Nggak usah bawa-bawa Adek gue ke dalam masalah pribadi kita, karena mereka nggak tau apa-apa soal itu."

"Trus kenapa Lo nggak bilang aja kalo sebenernya Lo itu....."

"Tutup mulut Lo." Rendika memotong cepat, tak ingin Damar mengatakan fakta yang sudah mati-matian ia sembunyikan.

Tindakan dari seseorang yang sudah ia anggap musuh itu langsung membuat Damar terkekeh, merasa berhasil membangkitkan sedikit emosi dari sosok di depannya. "Kenapa? Lo takut mereka semua tahu?"

Tak mendapati respon apapun selain tatapan tajam, Damar kembali melanjutkan ucapannya.

"Lagian gue cuma khawatir aja sama Narendra, takut penyakitnya tiba-tiba kambuh dan boom. Lo tau kan apa yang gue maksud?" Damar berceloteh dengan tangan yang memperagakan sesuatu yang meledak, juga ekspresi kaget yang di buat-buat.

"Terserah Lo mau ngomong apa. Tapi yang jelas, urusan adik gue Lo nggak perlu ikut campur. Karena yang gue tau hidup Lo juga belum tentu bener. Jadi jangan sekali-kali Lo gangguin mereka kalo Lo nggak mau berurusan sama gue lebih jauh dari ini, ngerti?"

Fakta bahwa keduanya pernah bersahabat dan berbagi cerita bersama membuat mereka sedikit banyak tau cerita hidup masing-masing. Bagaimana hidup Rendika yang tak pernah lepas dari kekangan sang ayah, atau tentang hidup Damar yang hanya memiliki seorang tante sebagai satu-satunya keluarga yang ia punya.

Tapi entah dengan alasan apa, tali persahabatan keduanya harus sirna. Tergantikan api permusuhan yang seoalah terus menyala. Membakar semuanya tanpa sisa.



°°°°°




Malam ini Jendra benar-benar jatuh sakit, mungkin karena keputusannya yang tetap mengikuti latihan setelah perdebatan kecil yang terjadi di UKS siang tadi.

Chandra yang notabene paling cerewet dari ketiga saudaranya yang lain tak henti-hentinya menggerutu sejak sore, menyalahkan keputusan Jendra yang tetap ngeyel meski tau keadaannya tak memungkinkan.

"Udah tuh, udah paling bener emang jatuh sakit kaya gitu. Mentang-mentang nggak bisa ngerasain sakitnya aja, jadi seenaknya kaya gini."

Si bungsu hanya bisa menghela nafas untuk kesekian kalinya. Posisinya yang memang tengah berada di antara keduanya semakin membuatnya serba salah.

Berkali-kali dirinya juga mencoba menghentikan celotehan Chandra. Tapi seolah tak mendengar, kakak ketiganya itu akan kembali berceloteh dengan fokus yang tertuju pada game di handphonenya.

Sedangkan Jendra sendiri memilih diam, merasa ucapan Chandra tak ada salahnya. Meski dia sendiri tak menyesali keputusan yang telah ia ambil.

Tak lama Rendika masuk, membawa semangkuk bubur yang baru saja ia buat lalu meletakkannya di atas nakas. "Ribut banget perasaan, dari bawah sampe kedengaran loh."

Narendra bangkit, memberikan tempatnya kepada si sulung yang ingin menyuapi Jendra makan. Karena jika tidak benar-benar dirawat, Jendra akan bertingkah seperti orang sehat. Bersikeras bahwa dia tak merasakan sakit dan berakhir tumbang.

"Mas Chandra tuh kak, dari tadi nyalahin Bang Jendra terus. Padahal kan Bang Jendra nya biar istirahat."

Chandra langsung menghentikan gamenya, meletakkan handphone di atas meja belajar lalu mengubah posisi menghadap kearah Narendra. "Kok aku yang jadi di salahin?"

"Udah-udah, ini kenapa malah tambah ribut sih?" Pandangan si sulung menatap bergantian Chandra dan Narendra. "Mending sekarang mas Chandra turun, trus tolong ambilin kotak P3K di dapur. Nanti kalo kakak udah selesai nyuapin Abang, gantian Adek yang bantuin kakak buat gantiin perbannya Abang. Ngerti?"

"Udah kak, udah di gantiin tadi sama Narendra." Suara Jendra terdengar serak, dengan kedua mata sayunya. Padahal sedari tadi dia sendiri yang bersikeras bahwa ia tak merasakan apa-apa.

"Beneran?" Dan ketiganya mengangguk.

Rendika manggut-manggut. "Yaudah, kalo gitu kalian berdua cepetan turun, trus makan. Udah kakak siapin di meja makan."

Bukannya beranjak, si bungsu malah kembali memposisikan diri duduk di dekat kaki Jendra. Tak jauh beda dengan Chandra yang kembali meraih handphonenya. "Nanti aja, sekalian nungguin kakak."

"Aku juga." Sahut Narendra dan Chandra bergantian. Yang tanpa sadar mengembangkan senyum simpul di sudut bibir sulung Bagaska.

Tanpa sadar, hal-hal kecil dan sederhana seperti itulah yang mampu menghangatkan hati yang terluka. Yang akan mereka kenang selamanya, dan mampu menerbitkan senyum saat tak sengaja mengingatnya.


'''^'''

Tbc.

Maaf ya, tiba-tiba kehilangan mood buat update. Dan malah ngerasa pengen unpub karena kayaknya banyak yang nggak minat:(


Rev.250422
hd_

Kisah Tak Berkesah { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang