°KTB ~ 26°

1.4K 249 5
                                    

Awal Dari Segalanya



'''^'''




Pagi itu Bagaskara sudah berangkat saat Chandra baru saja turun dari lantai dua, remaja itu berjalan cepat kearah depan rumah untuk memanaskan mesin mobil yang akan mereka gunakan ke sekolah pagi ini.

Tak berselang lama, Rendika juga terlihat menuruni tangga dengan cepat. Kali ini tujuan si sulung adalah area dapur. Karena ia harus menyiapkan menu sarapan berupa roti dengan olesan selai untuk ketiga adiknya juga untuk dirinya sendiri.

Karena pagi ini keempatnya memang kompak bangun kesiangan. Alasannya tak lain karena semalam mereka harus menyelesaikan tugas kelompok hingga larut malam, bahkan mereka sampai harus ketiduran di atas karpet tebal kamar Rendika. Juga karena tak ada yang sempat memasang alarm, jadi mereka berempat baru terbangun saat jam sudah menunjuk pukul enam lebih dua puluh menit. Itu juga karena Rendika yang terbangun karena posisi tidurnya yang tak nyaman.

"Pagi ini kamu ajak adik-adik mu sarapan masakan Tante aja ya Ren. Karena hari ini kebetulan Tante masak sedikit lebih banyak, belum lagi ayah kamu yang nggak sempet sarapan karena harus buru-buru pergi ke kantor." Sarah berseru pelan saat melihat Rendika tergesa-gesa mengambil persediaan selai di lemari penyimpanan dapur. Ia tahu jika anak-anak sambungnya pagi ini terlambat bangun.

"Nggak perlu, kita bisa sarapan di sekolah." Jendra menyahuti dari anak tangga, menyita atensi dua orang berbeda generasi di area dapur pagi itu. Juga mengurungkan niat si sulung untuk membalas ucapan Sarah.

"Ayo kak, kita berangkat. Nanti keburu telat." Si bungsu menambahi, lalu berjalan mendahului Jendra yang masih terdiam di tempatnya.

Dalam diam Rendika langsung mengurungkan niatnya untuk menyiapkan sarapan, kemudian berjalan mengikuti Narendra dengan Jendra yang berjalan di sampingnya.

Tapi usaha Sarah tak berhenti sampai di situ. Wanita itu bahkan langsung berlari keluar rumah setelah mengambil empat kotak bekal yang sedari tadi ia siapkan. Menghampiri keempat bersaudara itu yang sudah hampir masuk kedalam mobil.

"Tunggu." Pergerakan keempat bersaudara itu terhenti, menatap tanpa minat wanita dengan status ibu sambung mereka itu. "Tante tau mungkin kalian nggak suka sama masakan Tante, jadi Tante fikir kalian bakal suka kalo Tante buatin sandwich untuk menu sarapan pagi ini. Jadi tolong di makan ya, seenggaknya kalian nggak harus nahan laper waktu pelajaran nanti."

Ketiga remaja di sana mendengus, kecuali Rendika yang lebih memilih diam di tempatnya.

"Apa Tante fikir kita akan menerima kehadiran Tante hanya dengan sepotong sandwich itu?" Chandra berseru setelah menutup kembali pintu mobil yang sempat ia buka, netranya menatap lurus kotak bekal di tangan Sarah. "Bahkan apapun yang nantinya Tante lakuin, kita nggak akan semudah itu menerima orang asing untuk jadi bagian dari kita. Jadi jangan coba-coba mengusik kehidupan kami selama Tante masih mau tinggal di rumah ini."

Lalu Chandra masuk kedalam mobil, diikuti ketiga saudaranya yang lain. Sebelum mobil yang mereka tumpangi melesat meninggalkan area rumah.


°°°°°°


Setelah berkutat dengan rumus dan soal matematika selama dua jam pelajaran, Chandra memutuskan pergi ke kantin seorang diri setelah bel istirahat berbunyi. Meninggalkan ketiga saudaranya yang ternyata masih harus mengurus urusannya masing-masing.

Seperti Rendika yang masih memiliki sedikit urusan di organisasinya, atau Jendra yang memutuskan untuk mengantarkan Narendra mengumpulkan buku tugas anak-anak kelas di ruang guru.

Remaja yang hari ini lebih banyak diam itu akhirnya memilih kursi kantin paling pojok, dengan segelas minuman dingin yang baru saja di pesannya.

Tak lama Damar datang, menggebrak meja kantin yang di huni Chandra dengan begitu kerasnya. Mengakibatkan atensi semua penghuni kantin siang itu langsung teralihkan ke arah keduanya.

"Nggak usah cari gara-gara, gue lagi males berurusan sama orang kayak Lo." Chandra berucap malas, moodnya sudah terlampau hancur sebab keributan kecil yang terjadi tadi pagi di kediamannya.

Memilih menghiraukan. Damar malah semakin berjalan mendekat, meraih kerah baju Chandra kuat-kuat. "Gue nggak bakal cari gara-gara kalo Lo sama saudara-saudara Lo itu nggak kurang ajar sama Tante Sarah."

Chandra sontak menepis tangan Damar kasar, membuat pegangan tangan Damar di kerah seragamnya langsung terlepas begitu saja. "Kurang ajar dari mananya? Gue bahkan udah bilang dari awal kalo gue nggak akan pernah bisa nerima kehadiran dia di tengah-tengah gue sama saudara-saudara gue. Dan Lo juga ada di sana waktu gue ngomong gitu. Jadi gue rasa bukan salah gue kalau sampe kelepasan gara-gara tente Lo yang sibuk cari perhatian."

Damar murka mendengar perkataan Chandra, lalu sebuah pukulan berhasil membuat Chandra terduduk kembali di tempatnya. Membuat sudut bibir itu langsung berhias warna ungu kebiruan."Gue nggak peduli Lo mau ngomong apa. Yang jelas, siapapun yang udah buat Tante gue sedih. Dia harus berhadapan sama gue."

Bersamaan dengan itu, Jendra juga Narendra tengah berjalan di sepanjang koridor dekat kantin. Atensi yang lebih tua masih tertuju pada ponselnya saat si bungsu berlari meninggalkannya sendirian.

Jendra yang merasa aneh langsung membelalak saat melihat bahwa Narendra berlari untuk menghampiri Chandra yang tengah berkelahi dengan Damar.

Sedangkan Narendra yang melihat Damar akan kembali memukul Chandra langsung menariknya kuat-kuat. Mengakibatkan dirinya harus terdorong menabrak meja-meja kantin sebab dorongan keras dari Damar.

Tak lama Jendra datang. Ia langsung memasang badannya untuk menghalau Damar yang akan melemparkan sebuah kursi ke arah Chandra. Darah segar langsung merembes dari balik seragam putih yang ia pakai saat kursi itu menghantam keras punggung lebarnya.

Bukannya mengeluh sakit, Jendra malah membelalak sebab teriakan Rendika yang menyerukan nama si bungsu. Kakak tertuanya itu langsung berlari dan memeluk tubuh kesakitan milik Narendra yang tergeletak di lantai. "Kak Ren, sakit...."

Damar dan seluruh penghuni kantin tertegun, berbeda dengan Chandra juga Jendra yang langsung bergerak mendekat.

"Iya, kamu tahan dulu ya. Kita ke rumah sakit sekarang." Tapi bersamaan dengan kepalanya yang mendongak, Rendika justru harus tertegun sebab melihat sekilas punggung Jendra yang mengeluarkan banyak darah.

Pikirannya langsung blank dengan kedua telinga berdengung. Bahkan badannya langsung bergetar hebat dengan tangan yang mengepal kuat. Tubuhnya tak siap dengan keadaan yang tiba-tiba rancu seperti saat ini.

Jendra yang mengerti arah tatapan sang kakak langsung bangkit dan berjalan mundur, sedikit menjauh dengan Chandra yang langsung mengambil alih tubuh si bungsu.

"Biar abang yang bawa Narendra ke rumah sakit, kamu tenangin kakak dulu."

Lalu detik selanjutnya Jendra langsung meraih tubuh Narendra dalam gendongannya, meninggalkan Chandra yang masih berusaha meredakan trauma sang kakak.

Dari arah kerumunan, Gema dan Bara akhirnya datang. Menghampiri Rendika yang masih saja terdiam dengan badan bergetar hebat. "Gue minta tolong banget ke kalian. Tolong jagain kakak gue dulu. Gue harus ke rumah sakit buat ngurusin Narendra."

"Dia kenapa?" Bara bertanya bingung, bahkan dirinya jadi ikutan gugup karena melihat Chandra yang benar-benar kelihatan kacau.

"Kakak gue trauma sama darah, dan tadi dia ngeliat punggung bang Jendra yang terluka cukup parah. Jadi tolong kasih dia minum, sama obatnya ada di kantong paling depan di tasnya." Setelahnya Chandra berlari menjauh, bersamaan dengan Damar yang mengetahui satu fakta besar tentang mantan sahabatnya, Rendika dan traumanya.





'''^'''
Tbc.


Cuma mau bilang kalo chapter ini jadi chapter awal buat kejutan-kejutan di chapter selanjutnya.....


Rev.250422
hd_

Kisah Tak Berkesah { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang