°KTB ~ 19°

1.3K 220 4
                                    

Tak Ada Jeda



'''^'''




Malam ini adalah makan malam pertama sejak kepulangan Narendra dari rumah sakit. Beberapa masakan sudah tersaji diatas meja, membuat Chandra yang sudah duduk di kursinya mengelus perut sebab rasa lapar.

Disisi lain Rendika datang dengan semangkuk bubur buatannya, meletakkannya tepat dihadapan Narendra. "Kamu makan ini aja, belum boleh makan yang kasar-kasar."

Si bungsu langsung memberengut tak setuju. "Aku udah seminggu loh kak makan bubur terus, bosen."

"Percuma pasang muka sedih, kak Ren nggak mungkin goyah cuma gara-gara itu. Lagian siapa suruh telat minum obat, udah tau akibatnya fatal." Chandra sibuk mengompori, lengkap dengan ekspresi yang ia buat-buat setiap menyuap makanan di piringnya. Menggoda sang adik.

Jendra hanya tersenyum, geleng-geleng kepala melihat kelakuan random adiknya, Chandra. Rendika sendiri tak banyak merespon, tapi tatapannya memandang bergiliran ketiga adiknya. Seolah memastikan bahwa mereka semua baik-baik saja.

Hingga kedatangan sang ayah membuat suasana hangat yang sempat tercipta menghilang begitu saja. Ekspresi milik Chandra lah yang paling kentara, ia bahkan langsung membuang muka saat tak sengaja bertemu tatap dengan laki-laki paruh baya yang berstatus sebagai ayahnya itu.

"Duduk dulu yah, biar aku buatin kopi dulu."

Rendika sudah akan beranjak jika suara bariton Bagaskara tak segera menginterupsinya. "Nggak perlu, kamu lanjutin aja makannya. Setelah itu, ayah tunggu di ruang kerja ayah."

Suasana masih hening bahkan setelah ayah mereka pergi. Rendika sendiri mencoba tak ambil pusing, berbeda dengan ketiga adiknya yang kini malah menatap lurus kearahnya.

"Kenapa malah pada ngeliatin kakak? Udah lanjutin makannya. Kakak mau nemuin ayah dulu."

Rendika langsung beranjak setelah mengatakan itu, dalam hati mencoba menerka hal apa yang akan menjadi topik pembahasan mereka kali ini.

Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk sang ayah, hal pertama yang bisa Rendika lihat adalah bingkai foto besar yang terpasang tepat di sisi kanan ruangan. Satu-satunya foto keluarga yang pernah mereka ambil sebelum bunda tiada.

"Gimana keadaan adikmu?" Suara bariton sang ayah memecah keheningan di ruangan yang didominasi warna putih itu, tangan kokohnya juga tengah sibuk melepas kacamata yang ia gunakan.

"Kalo ayah benar-benar peduli, kenapa kemaren ayah nggak datang ke rumah sakit? Atau kalau emang ayah sesibuk itu, ayah tadi bisa tanya langsung ke Narendra. Seenggaknya itu bisa buat dia sedikit lebih baik."

Sang ayah bangkit dari kursi kerjanya, lalu berjalan mendekat kearah sofa yang tersedia di sana. Tak ada niatan sama sekali membalas pertanyaan Rendika. "Duduk."

Rendika tak menjawab, tapi tetap bergerak mengikuti ucapan Bagaskara.

"Ayah yakin kamu sudah mengenal ayah dengan baik."

Rendika mengernyit samar, dalam hati tak suka jika sang ayah sudah mengatakan hal itu. "Kali ini apa yang ayah mau?"

Rendika tak langsung mendapat jawaban, Bagaskara malah menarik sebuah kertas dari dalam map di atas meja lalu mengulurkan kertas itu padanya.

"Formulir Pendaftaran Calon Ketua OSIS SMA Dwisena?"

Bagaskara mengangguk. "Iya, ayah mau kamu ikut organisasi. Nggak cuma itu, ayah juga mau kamu mencalonkan diri sebagai ketua untuk periode selanjutnya."

Kisah Tak Berkesah { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang