°KTB ~ 33°

1.4K 231 23
                                    

Lelah




'''^'''




Suara pintu yang dibuka dari arah luar langsung mengalihkan atensi tiga orang yang saat itu tengah berbicara serius di ruang tamu. Membuat ketiga remaja yang baru memasuki rumah besar itu mematung di tempatnya masing-masing. Menatap tak bersahabat pada satu-satunya remaja sebayanya diujung sana.

"Mau apa lo kesini?" Tak seperti biasanya, Jendra yang terkenal paling tenang diantara saudara-saudaranya malah langsung tersulut emosi. Apalagi saat netranya menghunus tajam manik mata Damar, seolah membangkitkan memorinya tentang bagaimana tubuh Rendika yang terpental jauh akibat tertabrak mobil malam itu.

"Jendra, ayah minta kamu tenang dulu."

Mendengar bagaimana suara sang ayah yang tak sekasar biasanya, membuat Narendra langsung memandang Bagaskara dengan perasaan bertanya. Mencoba memahami setiap situasi baru yang selalu membuatnya merasa asing. Padahal setiap hal yang ia lewatkan selama ia tak sadar telah di ceritakan kedua kakaknya, tak terkecuali malam dimana Rendika yang tak sengaja tertabrak mobil sebab dorongan dari Damar.

Tapi mendapati sang ayah yang biasanya selalu berseru lantang penuh otoritas, kemudian berbicara dengan nada sedikit lembut dengan tatapan hangat. Membuatnya sedikit merasa aneh. Yang tak disangka malah berlanjut dengan setiap spekulasi yang muncul di dalam kepalanya, 'mungkin sang ayah berubah karena rasa penyesalannya terhadap kepergian sang putra sulung? Jika iya, kenapa harus seterlambat ini?

"Tenang kata ayah?" Jendra tersenyum remeh di sudut bibirnya. "Bahkan aku nggak habis pikir, kenapa ayah bisa menerima seorang pembunuh seperti dia." Lanjutnya tajam dengan telunjuk mengarah tepat kepada Damar yang masih terdiam di tempatnya.

"Enggak nak. Jangan mengatakan itu hanya karena kamu benci sama tante. Mungkin Damar memang salah, tapi tolong maafkan dia. Tante yakin dia nggak bermaksud melakukan itu." Sarah memohon dari tempatnya berdiri, memeluk dari samping Damar yang belum mengeluarkan sepatah kata apapun.

Lalu pandangan Jendra beralih pada sang ayah, merasa sakit saat tatapannya justru tak berbalas dan lebih memilih menunduk memandangi lantai marmer. Seolah Bagaskara memang tak kuasa untuk memihak pada salah satu dari mereka. Anak kandungnya sendiri, atau Sarah yang notabene istri barunya.

Membuat Jendra langsung bertanya dalam benaknya, kemana sosok Bagaskara yang selalu berteriak lantang dengan sorot mata tajam saat Rendika dulu masih ada. Sosok yang dulunya sering kali memaksakan kehendak dengan keputusan mutlaknya, seakan telah hilang di gantikan seseorang yang hanya bisa diam di tempat dan tak berani membalas tatapan.

Andai, jika saja sang ayah berubah sebelum semuanya seterlambat ini. Sebelum kakaknya pergi dan hanya menyisakan kenangan yang hanya bisa di simpan di dalam hati. Mungkin Jendra akan menjadi anak yang paling bersyukur. Paling bahagia karena tak harus menyaksikan penderita tiada akhir dalam hidup kakaknya. Iya, andai saja.

Tapi semuanya sudah terlambat. Jika melupakan semuanya adalah kemustahilan yang nyata. Maka memaafkan juga bukan perkara gampang. Semuanya butuh waktu, atau bahkan hati yang lapang untuk setidaknya mampu mengatakan kata ikhlas. Tapi sayangnya Jendra mengakui satu hal dalam dirinya, ia bukanlah seorang malaikat berhati baik yang bisa melakukan semua hal itu. Sebaliknya, dia hanyalah seorang manusia biasa yang bisa menangis dan terluka. Bahkan memaki dan membenci bukanlah hal mustahil yang bisa ia lakukan di saat-saat seperti ini.

"Kalau saja satu kata maaf bisa mengembalikan kakak, aku nggak akan menunggu kalian memohon seperti ini. Tapi sayangnya, beribu kata maaf pun nggak akan pernah bisa membawa kakak kembali. Lalu apa yang kalian harapkan?" Suara tajam yang sempat Jendra keluarkan akhirnya terdengar pecah. Bersamaan dengan sorot memerah sarat akan kesakitan dalam hatinya.

"Dan lo." Tatapan Jendra langsung membidik netra hitam milik Damar, menguncinya hingga hampir sepuluh detik lamanya. "Sebaiknya lo pergi, dan jangan pernah sekali pun lo muncul di hadapan gue lagi. Karena saat itu terjadi, gue nggak bisa jamin kalo nyawa lo masih bisa selamat dari kebencian di hati gue."

Setelahnya hening cukup lama, sebelum suara Damar akhirnya terdengar untuk pertama kalinya.

"Gue tau gue salah. Dan gue kesini juga karena mau minta maaf. Tapi kenapa reaksi lo malah kayak gini?" Damar menjeda ucapannya, menghela nafas lelah sebelum melanjutkan ucapannya kembali. "Lagian lo tau sendiri kan. Di malam dimana Rendika ketabrak mobil. Salah satu diantara kita nggak ada yang menyadari keberadaan dia, kita sama-sama sibuk sama perkelahian malam itu. Trus kakak lo dateng, dan gue yakin lo pasti tau. Gue nggak sengaja ngedorong dia sampai....."

"CUKUP!?" Jendra berteriak lantang. Menghentikan ucapan Damar dengan nafas yang mulai tidak teratur. Karena demi apapun, remaja itu akan langsung bereaksi dengan apa saja yang bisa mengingatkannya pada kejadian malam itu. Seolah dirinya memang trauma dan tak bisa berfikir jernih jika sudah menyangkut kejadian yang berhasil merenggut sosok sang kakak dari hidupnya.

Dan lagi. Jendra yang awalnya sudah ingin melepaskan Damar dari amarahnya, malah harus tersulut emosi kembali sebab permintaan maafnya yang ternyata di sertai embel-embel pembelaan untuk dirinya sendiri. Seolah permintaan maafnya memang tak setulus itu untuk bisa di terima Jendra dan kedua adiknya.

Padahal, semuanya sudah setuju untuk membebaskan keponakan dari istri baru ayahnya itu dari proses hukum. Setidaknya demi Rendika yang jelas-jelas tidak akan suka dengan semuanya. Ya, mereka terkadang membenci sifat baik dari si sulung itu. Sifat baik yang seringkali merugikan dirinya sendiri.

Lalu dengan langkah pasti penuh emosi, remaja yang tadinya masih berdiri di belakang kursi roda si bungsu langsung mendekat kearah Damar. Melayangkan sebuah pukulan telak hingga menciptakan pekikan cukup nyaring dari Sarah sebab melihat keponakannya tersungkur di lantai rumah.

Bagaskara tak tinggal diam, pria paruh baya itu langsung memeluk tubuh Jendra dan membawanya sedikit menjauh. Meski tubuhnya hampir saja kalah sebab tenaga Jendra yang tak main-main saat memberontak untuk melepaskan diri. Tapi seolah keduanya memang di ciptakan dengan kekeraskepalaan yang sama, akhirnya yang lebih muda mengaku kalah. Jatuh terduduk dengan tangis yang mulai pecah, menyisakan Bagaskara yang semakin mendekap erat tubuh sang putra dengan kata maaf yang berulang kali keluar dari mulutnya.

"Maaf.... Maafin ayah Jendra.... Maaf...."

Dilain sisi, Chandra sudah akan membantu Jendra jika genggaman Narendra di tangannya tak terasa semakin erat. Membuatnya lebih memilih duduk bersimpuh di depan kursi roda sang adik dan mengatakan kata-kata penenang. Karena ia tahu, kondisi bungsu Bagaska itu belum sepenuhnya pulih untuk bisa menerima situasi yang serba sulit ini. Apalagi kepulangannya yang bisa di bilang tidak sesuai jadwal, sebab sang adik yang langsung bersikeras memaksa untuk pergi ke makam sang kakak dan berakhir langsung meminta pulang ke rumah alih-alih kembali ke rumah sakit. Jadi dengan pertimbangan itu, Chandra terpaksa harus sedikit mengesampingkan Jendra demi si bungsu Narendra.

Lalu tak berselang lama, pekikan cukup nyaring dari Bagaskara yang menyerukan nama Jendra langsung menyita atensi kakak beradik itu. Keduanya terkejut saat mendapati bahwa Jendra sudah tak sadarkan diri dengan lelehan air mata yang masih sempat mengalir dari kedua sudut matanya. Seolah menegaskan bahwa tubuh yang terlihat begitu kokoh itu juga butuh istirahat, dan mungkin jatuh pingsan adalah salah satu upaya dari tubuh Jendra untuk mendapatkan waktu istirahat barang sebentar saja.


'''^'''
Tbc.

Cuma mau ngucapin happy birthday buat adik aku yang haru ini ulang tahun. Semoga panjang umur dan doa-doa baiknya bisa dikabulkan. Amin....

Btw,
Jendra nya lelah gaess.....
Yang baca lelah juga nggak nih😅

Rev.260422
hd_

Kisah Tak Berkesah { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang