Tak Berujung
'''^'''
Hari sudah menjelang sore saat kedua remaja berpakaian santai itu tengah berada di area dapur. Terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Seperti Jendra yang sibuk dengan acaranya memandangi seisi kulkas di sudut ruangan, atau Chandra yang duduk di atas meja pantry dengan tangan yang sibuk memainkan ponsel pintarnya. Kakinya menggantung kebawah menendangi udara bebas.
Sebab, setelah acara yang sangat menguras emosi tadi pagi, yang sudah pasti berakhir dengan air mata dan pelukan menguatkan. Kedua remaja beda lima menit itu sepakat untuk membuat makan malam untuk ketiganya nanti. Padahal kenyataannya, tidak ada yang bisa di andalkan dari keduanya jika berkaitan dengan urusan dapur, jadi sudah bisa di pastikan bahwa kebingungan pada akhirnya yang menghambat acara masak-masak kali ini.
Yang lebih muda kemudian menengadah ke atas, berteriak frustasi dengan tangan yang mengusak rambutnya kasar. "Ini jadinya masak apa sih bang? Dari tadi nyari resep susah semua, nggak ada yang gampang."
Mendengar itu kontan Jendra langsung menegakkan badan, kaki kanannya menahan agar pintu kulkas tetap terbuka. "Nggak tau, abang juga bingung." Dengan muka innocent yang malah membuat Chandra kembali mengerang frustasi.
"Atau gini aja deh, kita beli aja gimana? Biar gampang."
Jendra menggeleng, "Enggak, kata dokter Narendra belum boleh makan makanan cepat saji. Nggak baik buat kesehatannya."
Chandra hanya mendengus, meski tetap saja membenarkan ucapan yang lebih tua. Bersamaan dengan itu, ada sedikit penyesalan yang juga timbul di sudut hatinya. Mengapa dulu saat Rendika masih ada, ia tak berkeinginan sedikit pun untuk mengasah kemampuannya dalam hal memasak. Setidaknya semua kebingungan yang terjadi saat ini tak akan pernah ia alami.
Disisi lain Bagaskara yang baru saja pulang dari kantor hanya bisa memandangi kedua putranya dalam diam, merasa bimbang dengan hal apa yang akan ia lakukan untuk membantu kebingungan kakak beradik itu.
Apalagi setelah kejadian kemaren malam yang semakin membuat suasana diantara mereka terasa lebih dingin, canggung bahkan cenderung aneh. Iya, aneh. Karena sejak tadi pagi pun kedua belah pihak lebih memilih saling menghindari satu sama lain. Setidaknya mereka tidak harus masuk ke dalam situasi yang masih membingungkan itu.
Lalu setelah memantapkan hati, ayah dari empat putra kembarnya itu berjalan mendekat. Menyampirkan jas hitamnya di sandaran salah satu kursi meja makan, sebelum melipat lengan kemeja putihnya sebatas siku.
"Gimana kalo kita buat sup ayam kampung aja? Kayaknya ayah masih ingat cara buatnya, dulu pernah diajarin sama bunda."
Kedua remaja itu sontak menoleh, menatap tak percaya sang ayah yang sudah berjalan mendekat. Bahkan Bagaskara sudah menggeser posisi Jendra yang masih berdiri di depan kulkas yang terbuka, mengambil beberapa bahan yang sekiranya ia butuhkan.
Detik berikutnya Chandra turun dari meja pantry, selama beberapa detik saling melempar pandangan dengan Jendra. Lalu kembali menatap punggung lebar sang ayah.
"Kalian ngapain masih diem aja di situ? nggak mau bantuin ayah?"
Keduanya gelagapan. Tak menjawab apa-apa tapi tetap melangkah mendekat.
Bisa di bilang, keduanya masih butuh waktu untuk beradaptasi. Belum terbiasa dengan perubahan sikap yang beberapa kali Bagaskara tunjukkan kepada mereka.
Padahal dulu, saat Rendika masih ada pun. Ketiga bersaudara itu tak pernah berkomunikasi secara langsung dengan sang ayah. Sebab akan ada si sulung yang selalu menjadi jembatan untuk mereka berkomunikasi dengan sang ayah. Menjadi penghubung yang baik untuk menyampaikan setiap hal sulit yang akan mereka sampaikan, atau setidaknya membantu meringankan situasi rumit yang terkadang cenderung berbelit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Tak Berkesah { END }
Hayran KurguTerkadang manusia hanya harus hidup seperti air. Yang walaupun harus terjun bebas dari atas tebing dan terbagi menjadi butiran-butiran yang lebih kecil, tapi tak sekalipun ada yang pernah menilai seberapa kuat atau rapuhnya ia. +×+×+× Start : 29 Agu...