°KTB ~ 06°

1.8K 270 2
                                    

Insiden




'

''^'''



Selain rasa sakit, hal lain yang bisa membuat seorang Narendra merasa tak nyaman adalah saat harus menghabiskan waktu istirahatnya sendirian di dalam kelas.

Sama halnya seperti apa yang terjadi saat ini, dirinya hanya bisa duduk diam tanpa ada sesuatu yang bisa membuatnya sibuk seperti halnya saudara-saudaranya yang lain.

Entah seperti kak Ren yang tiba-tiba selalu mendapat panggilan untuk mengikuti bimbingan olimpiade, atau bang Jendra yang semakin hari semakin di sibukkan dengan urusan Club Basket yang ia pimpin. Atau juga Mas Chandra, kakak ketiganya itu bahkan hampir setiap hari selalu memiliki jam latihan di Club Musik nya.

Masing-masing dari mereka seolah mampu memperjuangkan setiap mimpi yang mereka miliki, tak seperti dirinya yang hanya bisa diam dan merasa tak berguna.

Walaupun ia tahu bahwa mungkin mereka semua akan sampai di titik lelah, jenuh bahkan ingin menyerah nantinya. Tapi saat memutuskan untuk tetap yakin dan melanjutkan, akan ada hal indah yang senantiasa menunggu dibelakangnya. Dan sensasi seperti itulah yang tak akan pernah bisa dirasakan oleh seseorang seperti dirinya. Seseorang yang takut untuk memulai, juga tak diberi kesempatan barang sekali oleh Tuhan.

Tak ingin pemikirannya semakin mengacaukan suasana hatinya, Narendra memutuskan untuk keluar kelas. Berjalan sendirian menuju perpustakaan sekolah, dan berfikir mungkin meminjam beberapa komik untuk ia jadikan teman selama jam istirahat tak ada salahnya.

Selama melewati koridor samping lapangan pun sorak sorai dari dua kelompok suporter basket maupun futsal saling berlomba memasuki gendang telinga Narendra, karena lapangan outdoor keduanya yang memang di desain saling berdampingan dengan sekat.

Langkahnya terus berlanjut, sesekali memperhatikan sosok Jendra yang bergerak lincah melindungi si bola orange dari rebutan musuh. Senyumnya bahkan muncul saat menyadari Jendra yang terlihat lebih tampan dengan Jersey merah yang ia gunakan, juga suara dukungan yang tak henti terdengar menyuarakan kata-kata penyemangat dari pinggir lapangan.

Mungkin karena terlalu fokus dengan atensinya pada sang kakak, si bungsu sampai tak menyadari saat sebuah bola futsal melayang kencang kearahnya. membuat Narendra langsung tersungkur dengan dada nyeri sebab terkena bola.

Kerumunan orang yang tadinya menatap kearah lapangan langsung berbalik mengelilingi, menambah sesak dadanya yang terasa sempit bagai terhimpit sesuatu yang besar.

Disisi lain Jendra langsung berlari membelah kerumunan saat salah satu teman se-timnya memberitahu bahwa yang saat ini menjadi tontonan adalah si bungsu.

Langkah selanjutnya, Remaja yang di kenal sebagai kapten tim basket itu langsung meraih tubuh Narendra kedalam pelukannya. kedua tangannya bahkan ikut bergetar sebab melihat sang adik yang terus meringis dan mengeluh merasakan sakit.

"Bang.....sakit." Suaranya terdengar berat dan putus-putus, seolah memperjelas betapa besarnya rasa sakit yang saat ini ia rasakan.

"Iya, abang tau. Kamu tahan sebentar lagi ya. Kita ke rumah sakit habis ini."

A
Pandangannya lalu mengarah pada kerumunan orang yang saat ini mengelilinginya. "Tolong, tolong panggilin kak Ren. Gue mohon." Pintanya kacau.

Leo yang kebetulan ada di sana langsung berlari, ingin cepat-cepat memberitahu Chandra dan juga Rendika.

Beruntungnya tak jauh dari sana ia melihat sosok Chandra yang berjalan mendekat, pandangan sahabatnya itu bahkan sudah mengarah pada kerumunan orang yang tanpa dia sadari tengah menjadikan Narendra sebagai bahan tontonan. "Itu ada apaan rame-rame?"

Leo tak langsung menjawab, remaja satu itu masih berusaha menormalkan nafasnya yang sempat ngos-ngosan karena berlyari.

"Adek Lo, itu Adek Lo. Dadanya nggak sengaja kena bola anak-anak futsal."

Tubuh Chandra langsung menegang detik itu juga, "Lo nggak lagi bercanda kan?"

Leo berdecak kesal. "Gue nggak sebego itu buat jadiin hal kayak gini bahan bercandaan Chan."

"Oke, thanks." Setelah mengatakan itu Chandra langsung berlari. Tapi baru beberapa langkah, remaja itu kembali membalikkan badannya. "Tolong kasih tau kak Ren. Gue bakal bawa Naren ke rumah sakit sama bang Jendra."



°°°°°



Koridor rumah sakit terlihat tenang siang itu, mungkin karena jam makan siang yang masih berjalan hingga lima belas menit ke depan.

Tapi alih-alih merasakan hal yang sama, kekacauan malah lebih mendominasi hati dan pikiran kedua remaja berseragam SMA itu. Bahkan yang lebih tua lima menit terlihat berjalan mondar-mandir tanpa henti, sedangkan si yang lebih muda memilih mendudukkan tubuhnya di kursi dengan tangan yang bergerak menjabaki surai hitamnya.

"Kak Ren." Chandra segera bangkit dan langsung memeluk erat sang kakak sesaat setelah menyadari kedatangan Rendika.

Begitupun Jendra, anak kedua dari keluarga Bagaskara itu juga langsung bergerak mendekat. Ikut memeluk tubuh mungil milik Rendika.

Rendika yang mendapat pelukan tiba-tiba dari keduanya hanya bisa terdiam, tangannya bergerak membalas pelukan dua tubuh yang jauh lebih besar dari dirinya itu.

"Udah mas nggak papa, abang juga. Kakak yakin Narendra pasti baik-baik aja." Kedua tangannya bergerak mengusap lembut punggung adik-adiknya. "Kita doain aja, ya?"

Bohong sebenarnya jika mengatakan bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja. Dan nggak ada kata 'nggak papa' setelah semua yang terjadi. Karena hal yang paling pasti saat ini hanyalah pengharapan. Dan ia rasa berharap bukanlah dosa besar jika dilakukan disaat-saat seperti ini.

Apalagi saat harus melihat sorot ketakutan dari kedua adiknya, pertahanan yang sejak awal ia persiapkan hampir hancur begitu saja jika seorang dokter tak keluar dari UGD dan berjalan menghampiri mereka.

Ketiganya refleks saling melepas pelukan, lalu menatap sosok dokter yang selalu menangani kasus Narendra sejak si bungsu lahir.

"Gimana keadaan Narendra dok?"

Senyuman tipis langsung disajikan sang dokter, dengan tepukan menenangkan di bahu kiri milik Rendika. "Kalian tenang saja, Narendra tidak apa-apa. Saya sudah memberinya suntikan beberapa obat, dan juga memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Kalian tau kan kalau adek kalian itu anak yang kuat?"

Ketiganya tanpa sadar mengangguk bersamaan, membuat senyum simpul sang dokter kembali mengembang. "Tapi lain kali tolong di jaga ya, jangan sampai hal seperti ini terulang kembali. Dan setelah cairan infusnya habis, pasien juga bisa langsung dibawa pulang."

Lalu setelah itu, Dokter yang masih tergolong muda bernama Juna itu pergi. Meninggalkan ketiga bersaudara yang kini sudah bisa bernafas lebih lega dari sebelumnya.


'''^'''

Tbc




Rev.261121
hd_

Kisah Tak Berkesah { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang