Terlalu tinggi
'''^'''
Tak ada yang berbeda di Sabtu sore ini selain awan yang mendadak mendung, disusul hujan deras yang tiba-tiba turun sekembalinya mereka dari gazebo.
Narendra yang baru sempat membaca beberapa lembar komik di kamarnya langsung mengalihkan atensi.
Sejenak termenung sebelum memutuskan keluar kamar dengan masih menenteng komik tebal di tangan kanannya.
Tujuannya hanya satu, sebuah ruangan di lantai satu yang diberi nama 'healing room'.
Sesuai namanya, ruangan yang mereka beri nama healing room itu memang memiliki arti tersendiri bagi mereka. Karena di dalam sana, mereka bisa melakukan hal-hal yang mereka sukai sebagai bentuk terapi healing juga pelampiasan emosi. Seperti melukis, bermain piano atau sekedar hal-hal sederhana lainnya.
Lalu samar-samar suara denting piano terdengar, bersamaan dengan netra Narendra yang menangkap sosok kakak keduanya yang baru saja menutup pintu kamar.
Sudah bisa di pastikan bahwa tujuan mereka keluar kamar kali ini adalah hal yang sama. Berkumpul di healing room bersama saudara-saudaranya yang lain.
Karena entah sejak kapan, tapi kebiasaan mereka berkumpul saat hujan di sebuah ruangan luas bercat putih bersih itu sudah berlangsung cukup lama.
Saat memasuki ruangan, Narendra sudah bisa melihat bahwa Chandra lah yang tengah memainkan jemarinya diatas tuts-tuts hitam putih itu.
Lalu semakin masuk, si bungsu juga bisa melihat seseorang tengah menatap serius pada kanvas putih di depannya. Itu Rendika.
Jika diperhatikan, kakak tertuanya itu sepertinya sudah berada disini cukup lama. Terbukti dari lukisan di depannya yang sudah hampir selesai.
Sebuah pohon rindang berlatar langit senja penuh bintang.
Cantik sekali. Setidaknya itulah yang akan orang-orang katakan saat tak sengaja melihat lukisan itu.
Selanjutnya Narendra kembali membuka komiknya setelah berhasil duduk di sofa hitam di samping jendela. Sedangkan Jendra memilih berjalan menuju pojok ruangan, sekedar untuk mengambil gitar untuk ia mainkan di samping si bungsu. Lebih tepatnya, duduk dibawah bersandar di badan sofa.
Beberapa menit berlalu begitu saja, hanya suara denting piano yang bersahutan dengan petikan gitar yang terdengar memenuhi ruangan.
Mungkin hanya itu, tapi bagi mereka itu sudah lebih dari cukup untuk membantu meringankan pikiran yang berkecamuk di kepala masing-masing. Juga beristirahat dari rutinitas sehari-hari yang begitu membebani keempatnya.
"Jadi kangen sama bunda." Itu Chandra, satu-satunya orang yang paling mudah mengutarakan isi hati juga pikirannya daripada saudara-saudaranya yang lain.
Mungkin karena saking fokusnya dengan aktivitas masing-masing, hingga tak ada yang menyadari bahwa permainan piano Chandra juga sudah berhenti entah sejak kapan. Kecuali Narendra, si bungsu yang memang terlahir dengan kepekaan di atas rata-rata.
Selanjutnya Rendika bergerak merubah posisi duduknya, membelakangi lukisan yang juga sudah selesai beberapa saat yang lalu. Kini ia menatap kearah grand piano itu, lebih tepatnya memperhatikan adik ketiganya yang tengah menunduk dalam.
"Kira-kira bunda lagi apa ya di surga sana?"
Hening, bahkan si sulung masih bingung jika dihadapkan pada situasi seperti ini.
Menghela nafas, akhirnya Rendika bangkit dari duduknya. Berjalan mendekat kearah sofa yang juga diduduki Narendra. "Sini deh mas."
Yang dipanggil mendongak, lalu perlahan tapi pasti mendekat kearah ketiga saudaranya yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Tak Berkesah { END }
Fiksi PenggemarTerkadang manusia hanya harus hidup seperti air. Yang walaupun harus terjun bebas dari atas tebing dan terbagi menjadi butiran-butiran yang lebih kecil, tapi tak sekalipun ada yang pernah menilai seberapa kuat atau rapuhnya ia. +×+×+× Start : 29 Agu...