Boleh minta vote sama komennya?
Makasih orang baik, god bless you:)
***
Cklek.
Seorang Dokter keluar memberikan harapan pada Je, Faldo dan Adam. Je bangun dan menatap penuh harap pada Dokter, berharap Egin akan baik-baik saja.
“Keluarga pasien?” Je mengangguk. “Saya, dok.”
“Kita bicarakan di ruangan saya.” Je mengekor mengikuti dokter ke ruangannya.
Tiba di ruangan serba putih itu, mata Je menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul satu lewat.
Dokter tersebut duduk di kursi diikuti Je duduk di depannya.
“Sudah mengurus administrasinya?”
“Belum, dok,” jawab Je sambil menggeleng. Mana sempat dia mengurus hal begituan kalau hatinya sedang dilanda gundah gelisah.
“Pasien punya orang tua?” Dokter bertanya seraya memainkan pena.
“Ada dok, tapi di Palembang.”
Dokter mengembuskan napas panjang. “Kondisi pasien kritis. Kepalanya terus-menerus mengalami pendarahan, harus segera dioperasi untuk menghentikan pendarahannya. Ini perkara serius, keluarga pasien harus segera dihubungi.”
Mendengar penuturan dokter panjang lebar, Je mengangguk paham, “Baik dok. Kasih saya waktu sampai besok siang.”
“Baik. Sementara kamu ngurus administrasinya. Pasien kami pindahkan ke ruang ICU.”
Setelah mendapatkan informasi dari dokter, Je pamit undur diri ke luar dan kembali ke tempat tadi. Ketiga temannya masih di posisi tang sama.
Mendekat ke arah pintu UGD, dilihatnya tubuh Egin lemas, kaki kirinya diperban, mungkin patah, lehernya juga disangga dengan apa itu Je tak tahu, lengannya juga diperban, terdapat luka menganga juga di lengannya, dibiarkan terbuka.
“Bandel banget sih. Udah dibilang mau dijemput juga,” lirih Je. Mata dia dilapisi oleh dinding air yang mungkin kalau dia berkedip dinding itu akan terjatuh menjadi butiran air mata.
Lantas bangsal Egin di dorong oleh para perawat menuju ruang ICU.
“Menjenguknya satu-persatu ya,” ucap salah satu perawat setelah bangsal Egin dipindahkan. Je terlebih dahulu masuk.
“Gin, sakit semua ya? Sampe gak mau bangun?” tanya Je, dia mengusap punggung tangan Egin dan menggenggamnya.
“Ini gimana bilangnya sama Ibu? Entar Ibu ngomel-ngomel.” Bahu Je mulai bergetar. Bayangan reaksi mama Egin sudah berkeliaran di kepala juga perasaan bersalah mengerumuni hati.
Kepala Je dongakan hingga terangnya lampu menyambut retina mata— berusaha tak mengeluarkan air mata.
Kembali menunduk, awalnya Je hendak mencium Egin, tetapi urung melihat wajah Egin banyak lebam dan penuh luka. Egin pasti protes kalau Je menciumnya.
“Gue telpon Ayah aja kali ya?” monolognya.
Merogoh ponsel lalu Je mengucapkan, “Tunggu ya Aku telpon Ayah dulu.”
Je beranjak ke luar lalu duduk di kursi tunggu menatap ponselnya lamat-lamat.
Jempolnya menekan nama ayah di list kontak lalu mendial nomor tersebut— menunggu sang ayah mengangkat telpon darinya. Je sudah lama ditinggalkan oleh Ibunya, ia hidup hanya bersama ayah tanpa peran seorang Ibu.
Sejak ia lulus SD Ibunya sudah dipanggil Tuhan dan saat itu hanya Egin lah yang selalu mengisi hatinya, mengingat Egin adalah tetangga dia.
“Halo, Je? Ada apa telpon tengah malem?” Suara Ayah terdengar segar, tidak seperti orang bangun tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐘𝐨𝐮 [ End ]
Random"𝗝𝗮𝗱𝗶𝗮𝗻 𝘆𝘂𝗸! 𝗚𝘂𝗲 𝗯𝗼𝘀𝗲𝗻 𝗷𝗼𝗺𝗯𝗹𝗼." *** Sebut saja dia Regina Egin. Gadis rantauan yang rela terpisah dengan orang tuanya demi pendidikan bersama sahabat dari oroknya, Rajendra Mahardika. Namun, hubungan sahabat mereka tergantikan...