23

644 46 4
                                    

Je menarik tangan Egin, death glear dari kedua bola matanya sedikit menciutkan mental Evan. Je memang jarang marah, tetapi kalau sudah marahnya, hanya dari tatapannya saja dia mampu meruntuhkan nyali lawan.

“Pulang.” Je berbalik serta Egin yang ia tarik paksa. Sementara Egin diam saja ditarik-tarik oleh lelaki yang sedang diselimuti amarah itu.

Sebelum berbalik Je sempat mengatakan ini pada Evan, “Masalah kita belum selesai.”

Ketika mereka tiba di motor Je, Egin menghempaskan tangan Je. Je menoleh heran, tak ayal juga sorot mata dingin juga aura tajamnya masih menguar, Egin sempat takut dengan Je yang sekarang.

“Kenapa? Hmm?” Anehnya Je tiba-tiba lembut dan mengusap surai Egin.

Je sadar kalau Egin ketakutan dengan kondisi dia yang sedang marah. Memang Je marah pada Egin, ia menunggu Egin berjam-jam di kosannya, sementara Egin asyik dengan Evan. Je kecewa tentunya, tetapi ia tak bisa marah pada Egin meski harus memasang poker face.

“Aku masih penasaran. Sebenernya hubungan kita itu apa? Kata Evan kita cuma temen, gak lebih, tapi liat kamu marah aku sama Evan aku jadi tengsin kalo hubungan kita itu cuma temen,” tutur Egin.

Untuk sementara Je terdiam, ia mengulas senyum manis, “Kata siapa aku marah?”

Sadarlah Egin, di balik sifat manis Je kali ini tuh berbeda dengan biasanya. Cowok itu memaksakan senyum juga menahan emosi yang ingin ia keluarkan. Hanya saja ia sadar siapa di depannya ini, seorang Regina Egin, satu-satunya ratu yang menempati hati dia yang sangat mustahil Je sakiti dengan emosinya.

Egin menarik napas sebelum berucap, “Dari tatapan kamu, aku tau kamu gak suka sama Evan."

Je membuang muka guna menghembuskan napasnya kasar, kalau Egin sadar ia tengah emosi bisa-bisa pamornya jatuh di mata Egin.

“Iya, aku gak suka sama Evan.” Je menjawab lugas.

Mata Egin lurus pada kedua bola mata Je, “Kenapa? Apa kalian juga gak akur sebelum aku kecelakaan?”

Telinga Egin panas tatkala Je terkekeh sinis. Namun, ketika Je melihat mata Egin yang cerah seperti mata bayi, sinisnya wajah dia berubah cerah. Je tak mampu mengeluarkan emosinya kalau sudah melihat Egin.

“Apa kamu tetap memaafkan teman kamu? padahal dia udah rebut pacar kamu," tandas Je. Bola mata dia menyorot lurus pada mata lawannya.

Kemudian Egin menjawab, “To the point aja bisa, kan? Gak usah belibet."

“Aku gak suka sama Evan karena dia rebut posisi aku sebagai pacar kamu. Aku sama Evan dulu sahabat, tapi kayaknya dia gak pantes jadi sahabat aku lagi. Dia udah rebut pacar aku, dia udah gantiin posisi aku. Kamu udah dibohongin sama dia, Egin," tutur Je panjang lebar.

"Kayaknya ini waktu yang tepat buat jelasin semuanya. Aku udah gak tahan lagi sama kelakuan Evan, aku capek harus nunggu kamu kayak dulu lagi. Bukannya aku mau nyerah, tapi aku cuma butuh istirahat, tapi sayangnya aku udah gak bisa nungguin kamu lagi." Dia menambahkan.

"Lebih baik aku kasih tau kamu semuanya. Aku ini, Rajendra Mahardika, sahabat kamu dari kita masih ngompol, sampe akhirnya kamu ngajak aku pacaran. Fine! Saat itu juga kita pacaran." Napas Je saling bersahutan saat dia menjelaskan dari awal tentang mereka berdua.

Je kembali berimbuh, "Aku juga sadar selama kita pacaran kamu tertekan, kamu dicemooh sama orang-orang sekitar aku, dan kamu tau yang paling parah itu siapa? Dia, Revan Pramudya, Evan. Orang yang saat ini selalu cari perhatian kamu. Dia doppelganger Egin. Aku gak tau apa mau dia sampe berani rebut aku dari kamu—”

“STOP!” Egin berteriak tak sanggup mendengar penjelasan Je lebih banyak lagi. Telinga dia terasa berdenging begitu mendengar penjelasan panjang dari Je.

“Aku mau pulang." Kepalanya sudah tak beres lagi. Lebih baik ia pulang saja agar bisa tenang, penjelasan Je telah membuat kepalanya berdenyut lagi.

“Oke, sekarang kita pulang." Lalu mereka berdua meninggalkan area Kali besar.

Kedua tangan mengepal, semuanya telah Evan dengar. Ia telah didahului oleh Je, cowok itu telah membongkar faktanya.

Bukan tanpa alasan Evan tak buru-buru menjelaskan pada Egin. Ia tak ingin Egin tahu betapa buruknya dia dulu, dia tak ingin Egin kembali bersama Je, ia juga tak tahu kenapa. Terdengar egois. Namun, itulah yang memang Evan inginkan.

Setelah sering keluar bersama Egin, tanpa sadar sebuah perasaan timbul di hatinya, perasaan yang tak ia rencanakan. Perasaan yang selalu dia hindari kehadirannya.

Damn it! Kalo udah gini gue harus gimana?”

***

Je telah pergi sekitar beberapa jam lalu. Tadinya dia ingin menemani Egin di kosan, tetapi Egin memaksanya untik pulang saja, kepalanya semakin sakit kalau melihat Je, bayangan-bayangan Je semakin memutar seperti kaset rusak.

“Akhhhhh!" Ia menjerit sakit, tangannya menopang kepala yang sebentar lagi terasa akan copot.

“Je."

“Hmm." Je hanya bergumam seraya memasukkan sesendok nasi jagung ke mulut Egin.

Mengunyah hingga halus dulu makanannya, lalu Egin menelan kasar agar cepat bisa berbicara.

“Jadian yuk!"

“Oke, kita pacaran."

Mata Egin terpejam kuat menahan betapa sakitnya kepala dia. Seperti ada hantaman dari sebuah besi, ditusuk-tusuk oleh belati, hingga Egin ingin bunuh diri.

Ia mengambil gelas, hendak meminum air, tetapi gelasnya malah jatuh hingga pecahan gelas berserakan. Melihat hancurnya gelas, denyutan di kepala semakin menjadi.

“Arghhhhh! sakit." Ia memekik tertahan merasa kepalanya sebentar lagi akan hancur.

“Kok gak jalan?”

“Kok gak peluk?”

“Kan udah jadian?”

Beberapa kepingan masa lalu menyakiti kepala Egin. Pasokan napas menipis, napas Egin sudah tidak beraturan lagi. Air mata mengalir, saking sakitnya yang ia rasakan. Egin terduduk lemas sambil memegang kepalanya, ia menyerah, ia membiarkan bayangan masa lalu menghantuinya.

“Kamu kenapa sih?”

“Apanya yang kenapa?”

“Aku ada salah? Iya? Salah apa? Kita omongin ya?”

“Enggak ada apa-apa, Je." Alis Je terangkat. “Kalo enggak ada apa-apa kenapa kamu menghindar, kenapa kamu—”

“Gue mau putus."

Usai bayangan itu, bayangan lain pun menyusul. Meski sakitnya luar biasa, dengan menenangkan diri dan membiarkan bayangan itu muncul, Egin merasa sedikit tenang.

“Gin, kamu itu tanggung jawab aku. Aku udah janji sama orang tua kamu, juga sama diriku sendiri. Selama aku masih mampu jaga kamu, aku enggak bakal ngebiarin kamu kenapa-napa."

Dan kesadaran Egin menghilang seiring dengan ucapan terakhir seseorang di bayangannya.

***

Semangat bacanya!!!!!

Votenya ya:)

Maaf ya updatenya udah jarang-jarang. Aku lagi dipusingin sama PAS🥺


05/12/22

𝐀𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐘𝐨𝐮 [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang