27

701 44 4
                                    

Terangnya lampu juga putihnya dinding mengharuskan dia menyipitkan matanya. Ia menggeliatkan lehernya ke kanan dan kiri lalu dahinya mengernyit. Di sofa ia lihat seseorang sedang tidur pulas, kemudian ia terkejut ketika tahu siapa orang tersebut.

“Ngapain dia ada di sini?” Egin bertanya ketus.

Tangan dia terkepal kuat mengingat bagaimana sosok cowok di sofa itu bersikap padanya. Dia bangun dari brankar lalu melepas paksa selang infus. Ia harus memberi Evan pelajaran, berani-beraninya dia ada di sini.

“Heh! Bangun lo!” Menggeplak tangan Evan.

Cowok yang memakai hoodie merah maroon itu terlonjak. Dengan setengah jiwanya ia melihat Egin. Senyumnya terbit membuat Egin semakin ingin mengusir Evan.

“Akhirnya kamu udah sadar." Lalu heran menyergap Evan tatkala matanya menangkap punggung tangan Egin. “Tapi kok infusnya dilepas? Kenapa?”

“Gak usah pura-pura bego! Maksud lo apa ada di sini? Harusnya Je yang di sini! Bukan lo!” Saliva Evan diteguk kasar. Dia terkejut mendengar Egin berucap demikian.

Baru bangun tidur ia langsung kena semprotan Egin. Jelas ia tak mengerti. Jiwanya saja belum terkumpul semua, bagaimana ia bisa mengerti maksud Egin yang tiba-tiba mengomelinya.

“Kamu kenapa? Kok tiba-tiba ngomelin aku?"

Egin semakin geram akan perilaku Evan. Lupa kah Evan telah mengatainya pelacur? Menamparnya? Menekan dirinya untuk menjauhi Je? Evan seperti ikutan amnesia. Bahkan aktingnya sempurna membuat Egin luluh.

Jadi, laki-laki yang selalu menemaninya terapi, makan, jalan, dan belanja, yang Egin elu-elukan karena sikap dermawan dan rendah jatinya adalah laki-laki yang mengatainya stripper tepos?

Kurang ajar! Bisa-bisanya Egin terkelabui oleh topeng Evan.

“Gue heran sama lo. Lo sendiri kan bilang gak sudi disentuh pelacur, tapi kenapa sekarang lo di sini? Suka ngajak gue keluar? Dan bahkan lo udah dua kali celakain gue,” tekan Egin menelak Evan.

“Mau lo apa sih sebenernya? Lo benci sama gue dengan gak jelasnya. Nyuruh gue jauhin Je. Terus sekarang? Lo manfaatin amnesia gue buat jauhin gue sama Je. Astaga! Ini yang lo bilang manusiawi? Lo bahkan gak terlihat kayak manusia, bahkan lo lebih najis dari anjing.”

Bibir kering Evan dibasahi, ia menggeleng lalu merahi kedua tangan Egin. Egin hendak menapis, tetapi cengkraman Evan terlalu kuat.

“Maaf gue minta maaf." Tangan Egin basah akibat airmata Evan.

Egin jijik disentuh seperti ini oleh orang yang telah menyakitinya. Meski begitu ia tetap diam— membiarkan Evan menangis seraya menciumi punggung tangannya.

Ia kecewa pada dirinya sendiri, ketimbang sama Evan, Egin lebih marah pada dirinya sendiri. Ia dibodohi oleh kepercayaan yang jelas-jelas itu adalah kebohongan. Ia bodoh tidak percaya pada fakta.

“Maaf, Gin. Gue salah, gue jahat, gue udah ngatain cewek baik kayak lo. Maaf." Suara Evan parau.

Selain rasa bersalah, Evan juga tidak mau Egin membencinya. Ia tak tahu jika ini akan terjadi. Tidak ia sangka kalau kecelakaan Egin waktu hiking bisa mengembalikan ingatan cewek ini. Jujur Evan lebih nyaman kalau Egin lupa ingatan saja. Iya, dia memang sejahat itu.

“Pergi." Suara Egin mendingin.

“Maaf, gue bener-bener minta maaf.” Evan mengganti panggilannya dari aku-kamu menjadi lo-gue.

“Ck, pergi!” Akhirnya Egin melepaskan tangan dia dari pegangan Evan.

Sebutir air mata meluncur dari kelopak matanya. Egin menangis. Ia menangisi kebodohannya, menangisi kehidupan dia yang suram. Entah mengapa kalau ia melihat Evan hatinya selalu berdenyut.

Lontaran Evan di waktu lalu sebelum hubungan mereka dekat, telah membuat Egin down. Seburuk itukah dia di mata orang-orang? Dia yang selalu dikira stripper, sugar baby, simpenan om-om. Ya ampun! Padahal dia di bar itu kerjanya hanya menjadi bartender.

“Kasih gue kesempatan. Please, kali ini doang." Tatapan Evan memelas.

Lama selalu bersama Egin, menimbulkan rasa nyaman hingga akhirnya hadirlah perasaan lebih dari nyaman. Je memang tak salah bahwa ia mencintai Egin. Iya, dia telah termakan omongannya sendiri.

“Cukup! Gue bilang pergi! Ya pergi!” Sentak Egin marah.

Evan menggeleng tak mau. Ia melihat mata Egin basah. Tentu hal itu semakin membuatnya merasa bersalah. Ia ingin memeluk Egin erat, menanangkan juga meminta maaf padanya. Akan tetapi, semuanya hanya halusinasi.

“Gak! Gue gak bakalan pergi sebelum lo maafin gue." Keukeuhnya. Egin semakin geram. Giginya bergemeletuk serta tangan sudah mengapal ingin menonjok wajah Evan yang ditutupi topeng.

“Pergi! Pergi atau gue teriak?” Di malam hari tepatnya di Rumah Sakit seperti ini membuat suara Egin menggema.

“Teriak aja." Tantang Evan. Toh, ia juga yakin di Rumah sakit sudah tidak ada siapa-siapa selain dokter dan perawat yang bertugas malam.

“TOL—”

“— Egin plis maafin gue. Gu-gue suka sama lo!” Evan berkata lugas dengan satu tarikan napas.

Egin terdiam membisu, tak ayal juga matanya mengeluarkan kobaran api amarah. Cukup! Biar dulu saja mulut Evan mengeluarkan kata-kata manis dan bodohnya ia percaya, untuk kali ini Egin tak mau dibohongi oleh orang doppelganger seperti Evan.

“Gue suka sama lo, jadi plis maafin gue,” ulang Evan lagi.

Bullshit! lo cuma kasihan sama gue! Itu cuma perasaan bersalah lo! Lo gak suka sama gue! Bahkan lo benci banget sama gue! Iya kan?” Egin berseru histeris.

Marah menyelimuti dia. Mata berkaca-kaca itu dicampuri oleh sorot marah juga kecewa. Semuanya menjadi satu, kecewa, marah, sedih, hingga Egin ingin melampiaskan semua emosinya pada Evan.

“Permisi. Ada apa teriak-teriak di sini?” Seorang perawat menginterupsi mereka.

“Tolong usir dia,” suruh Egin. Perawat itu merinding melihat Egin yang tengah diselimuti amarah.

“Yuk, Mas. Mbaknya enggak mau diganggu." Evan menolak kala perawat itu hendak merwih tangannya.

“Gin, gue harus jelasin sem—”

“Gue capek, pengin istirahat, mending lo pergi sana!” ketusnya.

“Tap—”

“Mas enggak denger Mbaknya, ya? Dia lagi sakit loh." Evan berdecak. Ia keluar dari ruangan Egin.

Dengan si perawat tadi Evan meninggalkan Egin yang tengah menangis.

“Bego! Gue bego! Kenapa harus percaya sama dia sih! Bego lo Egin!” Egin membenturkan kepala pada bantal usai Evan hilang dari pandangan dia.

Air mata saksi dia atas sadarnya dia di malam ini. Wajah penuh air mata dia sembunyikan dia atas bantal. Isakan semakin keras ketika ia mengingat segala sikapnya pada Je. Walau terakhir kali hubungan dia dengan Je buruk, tetapi di awal dia melihat Je, ia malah memarahi Je.

“Je. Gue kangen....”

***

Sepi sekali ya, bun☺️

Ayo dong ramein!

Fyi! Cerita ini udah aku selesai tulis sama Ekstra Partnya juga tau! Makanya ayok ramein biar aku lebih semangat lagi update nya!!!!!!


29/12/22

Bentar lagi tahun baru, adakah harapan kalian di tahun baru nanti? Komen dong hehe

𝐀𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐘𝐨𝐮 [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang