Boleh minta vote sama komennya?
Makasih orang baik:)
***
Hari berlalu dengan cepat, sudah dua minggu lebih, tapi Egin belum bangun. Ketiga teman Je masih datang meski tak setiap hari, begitu juga Evan. Lelaki itu benar-benar sudah menyesal atas segala perilakunya pada Egin.
Setiap hari Evan membawakan makanan untuk orang tua Egin, dan juga mencarikan homestay dekat rumah sakit. Bahkan ayah Je sudah bolak-balik Jakarta-Palembang, tapi Egin masih belum bangun.
Mama Egin hampir menyerah, minta Egin agar dibawa pulang saja, tapi ayah Je mati-matian menahannya, mereka yakin Egin pasti bangun. Egin butuh dukungan dari mereka, agar dia cepat bangun dari tidur panjangnya. Dan Je yakin perempuannya itu akan segera bangun. Cepat atau lambat, asalkan optimis.
Je tengah tertidur di kursi sebelah ranjang Egin, kepalanya menelungkup tepat di tangan kanan Egin. Ruang rawat sepi, orang-orang sedang keluar mencari makanan.
Alis Egin mengkerut samar. Egin merasa kesemutan di tangannya, macam ditindih sesuatu, pinggangnya sakit. Ia menggeram lalu membuka mata. Egin melirik ke kanan dan kiri, kepalanya susah digerakkan, lehernya disangga sesuatu yang kaku, tubuhnya pegal berbaring, ia ingin duduk.
Matanya melihat seseorang di sebelah bangsalnya, itu Je. Egin tersenyum. “Je,” panggilnya.
Tapi Je tetap tidur. Egin menarik tangannya yang kesemutan, membuat Je tersentak bangun. Pandangan lelaki itu mengabur, dia tak melihat dengan jelas kalau Egin sudah benar-benar bangun. Lalu dia mengucek matanya agar pandangan mengabur itu musnah.
“Je,” panggil Egin lagi.
Mata Je mengerjap tak percaya, “Astaga! Egin, kamu udah sadar!”
“Ssst, berisik ah! Bantuin gue bangun, pegel nih,” kata Egin ketus.
Je tak peduli, ia memeluk Egin erat sekali, saking rindunya.
“Aduh, sakit bego! Lo nindih tangan gue.” Egin nenggerutu membuat Je melepaskan pelukannya.
Egin tersenyum ke arah Je, sedangkan Je sudah ingin menangis. Haru melingkupi hati. Je tak percaya bahwa kini Egin, orang yang selalu dia rindukan celotehannya tiap detik sudah bangun membawa kebahagiaan.
“Apanya yang sakit?” panik Je. Dia memeriksa seluruh tubuh Egin, takut luka yang terbuka.
“Pinggang gue mau copot nih, pegel. Buruan naikin tempat tidurnya.” Je terkekeh sambil memutar pedal di bawah ranjang hingga membuatnya bergerak naik.
“Dah, udah. Nah kan enak,” imbuh Egin. Mata dia terpejam menikmati kenyamanan bangsal.
“Ada yang sakit?” Je memastikan semuanya.
“Ya sakit semua lah!” sentak Egin. Tuh kan, baru bangun saja sudah suntak-sentak. Dan memang inilah yang Je rindukan dari Egin. Suaranya, celotehannya, segala yang ada di diri Egin, Je rindukan.
Memang bucin sekali makhluk ini.
“Mau aku panggilin dokter?” tawar Je. Dia mengusap rambut Egin yang berminyak. Meski begitu dia tidak jijik, justru dia senang dengan tindakannya ini.
“Enggak usah. Kupasin buah gih, gue laper.” Kalau Egin sudah bisa nyuruh seperti ini, berarti dia sudah sembuh.
Je mangangguk kemudian mengambil sebuah apel berwarna merah, setelahnya dia meraih pisau buah lantas memisahkan kulit dan daging buah manis tersebut. Dia menyerahkan apel yang sudah ia kupas dan potong-potong.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐘𝐨𝐮 [ End ]
Random"𝗝𝗮𝗱𝗶𝗮𝗻 𝘆𝘂𝗸! 𝗚𝘂𝗲 𝗯𝗼𝘀𝗲𝗻 𝗷𝗼𝗺𝗯𝗹𝗼." *** Sebut saja dia Regina Egin. Gadis rantauan yang rela terpisah dengan orang tuanya demi pendidikan bersama sahabat dari oroknya, Rajendra Mahardika. Namun, hubungan sahabat mereka tergantikan...