18

717 46 5
                                    

Faldo dan Adam baru selesai kuliah saat kembali ke basecamp dan melihat Je yang sedang brutal memukuli tembok. Faldo melompat ke arah Je, lalu mendorong lelaki yang tengah emosi itu mundur.

“Lo apa-apaan sih?” tanya Adam. “Udah gila lo!”

Je tak menyahut, hanya menatap sengit keduanya. Faldo balik badan, dia mengambil balok kayu yang tergelatak di sana.

“Siniin tangan lo,” kata Faldo ketus dagunya sedikit mendongak untuk menantang Je.

Sementara Je mangangkat akis sebelah kanannya, “Ngapain?”

“Bantu remukin tangan lo. Itu kan yang lo mau?” tandas Faldo.

Je menunduk, pundaknya lemas. Dilihatnya kedua tangan, punggung jari-jarinya berdarah, sakit. Akan tetapi, sakit di jarinya tak sebanding dengan kejadian di luar nalar yang dialaminya tadi pagi, hatinya lebih sakit.

“Ada apa?” tanya Adam, sudah lebih pelan dari intonasi suaranya tadi.

Menggeleng, lalu Je terduduk di sofa. “Egin udah siuman.” Faldo dan Adam menatap tak percaya.

Faldo menghela napas lega, “Serius? Syukur deh. Akhirnya usaha lo enggak sia-sia.”

Kedua bola mata Je menerawang pada dinding di depannya, “Tapi dia amnesia. Egin gak inget gue. Parahnya lagi, Egin gak mau inget gue.”

“Ha? Kok sabi?” Faldo bingung, sedangkan Je menggeleng

“Bagian paling buruknya, Evan yang di sana saat pertama kali Egin sadar, dan bikin Egin ngerasa cukup sama Evan.” Suara Je terdengar parau. Laki-laki yang biasanya tersenyum itu sekarang sedang bersedih hati. Dia melempar batu kerikil guna melampiaskan emosinya.

“Bangsat! Sialan! Mainnya play victim.” Je menoleh heran pada Faldo. Kenapa cowok itu tiba-tiba mengumpat?

Mengerti keheranan Je, Faldo meralat, “Sorry, maksud gue Evan yang bangsat.”

Sorry gue gak cerita. Gue bermaksud cerita di waktu yang tepat, gue gak pernah nemu waktu buat jelasin ini, kecuali hari ini.” Faldo mengambil napas sebelum menjelaskan.

“Asal lo tau, Evan pernah diem-diem datengin Egin, ngancem Egin buat jangan deketin lo. Di luar itu gue gak tau apa yang Evan lakuin. Tapi hari di mana Egin kecelakaan, lo mau tau kenapa kita babak belur?” Faldo melihat Je sepenuhnya.

Kedua alis Je bertaut, “Kenapa?”

Helaan napas lolos melalui mulut Faldo. Terus terang saja kalau sebenarnya dia keberatan menceritakan ini pada Je. Akan tetapi, kalau tidak diceritakan Je tidak akan tahu apa-apa. “Gue berantem sama Evan. Evan terang-terangan ngatain Egin pelacur, Evan bahkan gak sudi ditolong Egin pas gue pukul dia, tapi Egin malah nyelamatin Evan. Dia tau Evan bakal ketabrak, jadi dia yang ketabrak pas selametin Evan, setelah itu lo tau kelanjutannya.”

Je menatap pongah, “Kok lo baru cerita?”

“Balik lagi ke awal, sorry." Faldo menakan kata terakhir.

“Evan harus di kasih pelajaran emang! Udah keterlaluan banget! Lagian harusnya dia bantu jelasin, kan? Bukan malah bikin tambah runyam gini.” Adam bersungut-sungut, tangan dia terkepal di atas telapak tangan sebelah kanan, persis seperti orang yang sedang mengulek bumbu.

“Jangan,” kata Faldo membuat kedua temannya menoleh cepat. “Kalo kita serang Evan, Egin makin takut sama Je, dan malah lengket sama si Evan.”

“Terus gimana?”

“Satu-satunya cara, buat Egin cepet inget sama masa lalunya.”

I'm agree! Terus Je harus datengin Egin,” usul Adam.

𝐀𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐘𝐨𝐮 [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang