26

761 42 1
                                    

Weekend kali ini Egin diajak hiking oleh Evan. Seperti yang cowok itu katakan ketika di pantai lalu. Kini cewek bercelana jeans itu sudah rapi dengan tas besar di punggungnya.

Udara dingin menyambut dia. Sesekali dirinya menghirup udara segar yang begitu menenangkan pikirannya. Ia tampak hati-hati ketika kakinya memijak bebatuan licin. Ada Evan juga yang setia menggandeng tangan Egin, takut kalau nanti Egin terpeleset, mengingat ini adalah pertama kalinya untuk Egin.

"Aku bawain aja ya, tasnya." Egin menggeleng. "Enggak usah. Ini gak berat kok."

Gunung Gede menjadi pilihan mereka untuk menikmati weekend ini. Egin masih belum terbiasa memijaki bebatuan licin, mengharuskan Evan memegang tangan dia, padahal Egin sudah dibantu tongkat.

"Pegel juga ya?" keluh Egin, napasnya ngos-ngosan akibat menaiki gunung. Maklum saja, ini pertama kalinya berjalan dengan jarak jauh belum lagi kondisi kakinya belum sepenuhnya pulih.

"Capek? Mau aku gendong?" Egin menggeleng. Ia kembali melanjutkan langkahnya.

"Masih jauh?" Beberapa kali Egin mengusap keringatnya.

"Sekitar dua puluh kilo meter lagi," jawab Evan.

"Astaga! Bisa-bisa patah nih tulang aku." Evan terkekeh mendengar keluhan Egin.

"Aku gendong aja, ya? Biar gak capek." Tawar Evan lagi.

Lagi-lagi Egin menggeleng. Tak enak merepotkan Evan, berat badannya naik empat kilo bulan ini, bisa-bisa nanti Evan encok telah menggendongnya.

"Aku masih kuat kok." Tolak Egin. Sesekali ia berhenti mengistirahatkan kakinya yang sudah lemas.

Bibir Egin memucat, kekuatan kaki dia semakin menipis. Evan terlalu fokus melihat ke depan, dia sudah tertinggal lumayan jauh.

"Huft, huft." Napas Egin sudah tak beraturan. Keringat bercucuran di leher dan wajah dia.

Ia jongkok sebentar agar kakinya merasa enakan. Sepertinya ini efek dari kecelakaan, jadinya Egin tak kuat meski baru berjalan dua kilo meter.

Pandangan Egin sudah remang-remang, ia menyipitkan matanya, melihat Evan semakin menjauh, cowok itu tidak sadar kalau Egin berada di jarak yang jauh.

Egin ingin menyusul Evan, tetapi kakinya terasa kaku, tak bisa lagi digerakkan, kalau ia jalan sedikit, bisa saja ia terjatuh. Ia mengerang ketika mencoba berdiri, sakit dikakinya semakin menjadi, hingga Egin tak kuat lagi menumpu badannya.

"Bisa, Gin! Ayok! Jangan lemah!" Ia memaksakan kakinya.

Tangannya menyentuh pohon rambutan kecil, tak ada pohon besar di sekitarnya, hanya pohon rambutan kecil inilah yang mampu ia andalkan. Sekalipun ada itu pohon mahoni yang jaraknya jauh dari jangkauan dia.

"Arghhh. Sakit amat sih!" keluhnya.

"Ev- kyaaaaa!" Dia menjerit ketika kakinya tak sengaja menginjak batu licin.

Evan menengok kala jeritan Egin memanggilnya. Segera dia berlari menuju Egin. Panik menyerang melihat Egin yabg terjatuh dan ... Pingsan? Astaga! Evan tak bisa berpikir jernih begitu melihat Egin pingsan.

"EGIN!" seru Evan melihat Egin sudah tak sadar.

***

Rasa bersalah menyeruak begitu sosok cewek yang baru saja ia celakai masuk ke ruang UGD. Dinding ruang UGD ia jadikan pelampiasan kemarahannya pada diri sendiri.

Lagi dan lagi Evan mencelakai Egin. Ia merasa tak ada gunanya juga pembawa sial untuk Egin. Bersama dia Egin selalu seperti ini. Egin lupa ingatan gara-gara dia, dan dia juga telah membuat Egin masuk ruang UGD lagi

𝐀𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐘𝐨𝐮 [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang