30

927 52 8
                                    

Tut tut tut.

Decakan kesal tak luput dari bibir tipis berwarna merah itu. Bibirnya mengkerut samar lalu kembali mendial nomor yang tertera nama Evanjing.

“Ck, ni orang sok sibuk banget,” gerutu Je. Lantas ia melempat asal ponselnya ke atas ranjang.

Kedua tangan berkacak pinggang sambil melirik ponselnya, barangkali Evan menelponnya balik. Namun, siapa sangka kalau Evan tak kunjung menelpon balik dirinya.

“Sabar Je. Semalem dia abis ngepet, jadi gak angkat telpon lo." Dia mengusap dada mencoba bersabar.

Kemarin Egin menginginkan mereka mendengarkan penjelasan dari Evan dengan kepala dingin sebagai syaratnya. Namun, Je tak membiarkan Egin bertatapan lagi dengan Evan, sepertinya dia masih trauma. Takut nanti Egin tiba-tiba diculik oleh Evan.

“Kalo bukan karena Egin mana mau gue telpon lo kayak gini. Cih!” Decihnya.

Brak!

Tubuh dia lemparkan pada ranjang hingga menimbulkan suara. Kedua bola matanya menerawang pada langit-langit kamar. Sementara tangannya menjadi tumpuan kepalanya.

“Dulu kita sahabat, sekarang jadi bangsat~” Ia terkekeh miris ketika bayangan masa-masa dia, Evan, Faldo juga Adam bersemayam di kepalanya.

“Bisa-bisanya lo sebangsat ini, padahal kan kita sahabat, ye kan." Lalu ia raih kembali ponselnya.

Iseng ia berlari pada aplikasi yang dipenuhi berbagai foto juga video. Ia lihat foto mereka berempat. Saat itu mereka baru saja menyelesaikan acara seminar di Bandung saat mereka masih semester tiga. Sekarang mereka sudah di semester lima.

“Bentar  lagi kita lulus. Kira-kira siapa nanti yang bakal nikah duluan?” monolog Je seraya me-zoom foto tersebut.

Dringgg dringggg.

Dan decakan kembali keluar tatkala nada dering telponnya menganggu. Je menggeser ikon hijau di sana. Ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Suara Adam terdengar dari sebrang sana.

“Apa sih lo?”

“Sans ae lah ngab.”

“Ngub, ngab, ngub, ngab. Mo ngapain, heh?" sungut Je.

“Basecamp sini. Ada Evan juga. Udah lama kita kagak nongki.

“Menganying. Itu Evanjing daritadi gue telpon gak diangkat. Mana bocahnya?”

“Mau ngapain lo telpon Evan? Open BO?”

“Open PO gue! Mana orangnya! Gue mau ngomong sama dia!”

“Sini aja lo nya. Ribet amat sih!”

“Ini tuh urusan gue sama Evan. Gue mau ngomong face to face sama dia!”

“Caelah, bahasa lo face to face. Yaudah gue kasih dulu sama orangnya.”

Je mendengus. Tak lama suara Evan masuk ke rungunya. Punggungnya tegak sempurna ketika Evan menginterupsi.

“Apa?”

“Sore nanti di Starbucks kita ketemu. Gue mau ngomong serius sama lo.”

“Gak penting.

“Ini soal Egin. Dan lo bilang enggak penting? Di mana akhlak lo? Hah!”

“Hmm. Nanti gue ke sana.”

𝐀𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐘𝐨𝐮 [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang