Seorang bocah sekitar dua tahunan tengah aktifnya bermain genangan air di halaman rumah. Bajunya sudah tak layak dibilang baju lagi lantaran noda tanah sudah menutupi warnanya.
“Mamamama,” gerutu bocah kecil itu seraya memainkan tanah.
Dedaunan terlihat segar setelah hujan turun. Di musim penghujan ini membuat sosok wanita yang empat tahunan ini sudah menyandang sebagai seorang Ibu dan istri kewalahan. Dialah Regina Egin.
Dan kali ini juga dia harus mencari putra sulungnya. Sehabis mencuci pakaian putra sulungnya, kini Egin harus mencari keberadaan anak itu.
“ABIGAIL MAHARDIKA!!!!” seru ibu beranak satu itu.
Tampilannya sudah acak-acakan. Rambut dicepol asal, daster sudah lusuh, kulit di wajahnya berminyak. Wajar sih, soalnya dia belum mandi pagi ini. Baru bangun ia sudah dibuat rusuh oleh putra sulungnya itu.
“Mas! Di mana anak kamu itu?” Ia bertanya pada sang suami.
Jika Egin sangat depresi akan ulah putranya, beda halnya dengan Je. Justru kini dia sedang duduk santai ditemani secangkir kopi susu sambil menikmati pemandangan yang selalu membuat dia terkekeh gemas.
“Tuh.” Ia menunjuk sosok lelaki mungil dengan dagunya.
“Astaga! Anak kamu itu emang ya ... Enggak bapaknya, enggak anaknya, SAMA AJA!” gerutu Egin kesal.
Sementara Je terkekeh geli begitu istrinya kewalahan mengurus Abi— putra pertamanya.
“Udah, biarin aja. Mending kamu mandi sana,” ucap Je lembut.
Hembusan napas kasar keluar dari Egin. Lalu dia menjawab perkataan lelaki yang sudah menjabat sebagai suaminya itu, “ya, ini juga mau mandi! Tapi mau mandiin Abi dulu.”
“Mau mandi barengan gitu?”
“Iya.”
“AKU IKUT!”
***
“Abi, pake bajunya sini, sayang.” Egin berujar usai mendapatkan baju yang pas untuk Abi.
“Nyamnyamnyam, hihi." Lantas tatapan Egin naik pada Je juga Abi di atas ranjang.
“Erghhhh! Gemoy banget. Anak siapa sih kamu, hmm?” Je menggelitik perut buncit Abi, tak ayal juga ia meniup perut Abi hingga menimbulkan suara tawa dari anaknya.
“Abinya udah dipakein bedak, kan?” tanya wanita ber-bathrobe itu.
“Nyamnyamnyam." Celotehan tak jelas Abi tentu membuat kedua orangtuanya gemas, bahkan ayah dari anak itu tidak mengindahkan Egin.
Soal mandi tadi, Je benar-benar mandi lagi agar bisa mandi bersama anak dan istrinya. Tak peduli sekali pun ia kedinginan, mandi bersamaan anak dan istri itu adalah hal yang menyenangkan bagi Je. Lagian ia juga jarang-jarang mandi bertiga bersama mereka. Sekali pun mandi bersama hanya dengan Egin saja, tidak ada Abi.
“Nyamnyam apa sayang? Pengen makan, hmm?” Je mencium dalam aroma putranya.
Meski belum dipakaikan bedak, minyak kayu putih dan juga pewangi lainnya, harum Abi itu sudah menghipnnotisnya.
“Kamu bukannya pake baju. Sana! Aku mau urusin Abi." Usir Egin, ia mengambil Abi yang tadi dikungkung Ayahnya.
“Pakein~” rengek Je. Sementara Egin mendengus.
“Lihat, De. Masa Papa udah gede mau dipakein baju? Ih, Papa manja ya, De. Dia enggak bisa pake baju. Abi aja udah bisa. Ya sayang ya?” adu Egin seolah Abi sudah mengerti dirinya.
“Yayayaya,” Egin mencibir kalau ternyata Abi meng-iyakannya.
“Kok kamu gitu sih, sayang? Enggak Papa beliin mainan nih nanti." Ancam Je. Lelaki bertelanjang dada itu menelisik tajam pada anaknya. Namun, tak ada ketajaman yang serius, hanya sekadar bercanda saja.
“Bodo amat. Kan ada Mama.” Egin menirukan suara anak kecil. Seakan dia adalah Abi.
“Yayayayaya."
“Tuhkan, apa kata dia. Iya katanya.” Tersenyum kemenanganlah Egin. Ia bangga pada putranya itu.
Lantas Je mengambil Abi dari pangkuan Egin. Ia mencium bertubi-tubi pipi, hidung, juga perut Abi, gigi nakalnya juga terkadang menggigit pipi tembem Abi.
“Gitu banget ya kamu! Anak siapa, hmm? Anak Papa apa anak Mama? Hmm?” ucap Je disela kegiatannya.
Egin mendekat, ia pun ikut menciumi putranya, “Anak Mama ya, sayang? Kan cuma Mama yang lahirin kamu."
Je berhenti mencium Abi, lalu beralih pada Egin, “Tapi Papa juga bantuin Mama bikinnya. Masa anak Mama doang?”
“Bikin apaan? Emang Abi dibikin sama kamu? Enggak ya sayang.” Egin berpura-pura polos.
“Sebelum dibikin juga kan butuh proses, sayang. Kan aku yang nanem benihnya di kamu. Gimana sih,” gerutu Je kembali menciumi Abi
Egin tak menjawab, ia membuka bathrobe dan akan menggantinya dengan baju sehari-hari. Ia mengawasi interaksi anak dan ayah itu. Senyumnya terbit melihat Je yang sangat euphoria mengajak Abi berbincang, padahal hanya ditanggapi celotehan tak dimengerti oleh Abi.
“Abi mau punya adek, gak? Nanti Papa sama Mama bikinin kalo Abi mau. Maunya yang banyak ya, biar Papa makin sering bikinnya sama Mama." Ia berbisik di telinga mungil Abi.
“Mumumumu." Terulaslah smirk di wajah Je. Ia melirik istrinya yang sedang menyisir rambut lantas berteriak.
“SAYANG, GAIL MAU PUNYA ADEK! BIKIN SEKARANG YUK!”
***
Maaf kalo gak jelas:( aku lagi badmood soalnya:(
Berarti ini lembaran terakhir kisah Egin sama Je:(
Kalo kalian kangen baca ulang aja:v
Dahhhhh~ jumpa lagi di cerita aku selanjutnya.
06/01/23
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐘𝐨𝐮 [ End ]
Random"𝗝𝗮𝗱𝗶𝗮𝗻 𝘆𝘂𝗸! 𝗚𝘂𝗲 𝗯𝗼𝘀𝗲𝗻 𝗷𝗼𝗺𝗯𝗹𝗼." *** Sebut saja dia Regina Egin. Gadis rantauan yang rela terpisah dengan orang tuanya demi pendidikan bersama sahabat dari oroknya, Rajendra Mahardika. Namun, hubungan sahabat mereka tergantikan...