21

690 43 2
                                    

Kameja merah kotak-kotak dipadukan kaos hitam, celana jeans hitam, juga sepatu converse, semuanya telah melekat pada tubuhnya.

Seraya bersiul Je mengambil sisir lalu kembali merapikan rambutnya, padahal ia sudah menyisir sebelum memakai pakaian, tak apalah, demi hasil sempurna.

“Oke!” Je menjentikan jari di depan cermin besar setelah beres merapikan rambut.

Je mengambil tas hitam lalu menyampirkannya di punggung. Motor telah ia panaskan selama ia mandi tadi, kini tinggal berangkat ke kosan Egin. Kali ini ia tidak akan kalah start lagi oleh Evan, mengingat jarum jam masih jam enam, secara kuliah pagi ini masuk jam delapan.

“Beli sarapan dulu aja kali, ya?” monolognya ketika melihat tukang bubur langganannya.

Turun dari motor, Je berjalan ke gerobak bubur.

“Dua bungkus ya Mas." Si Mas mengangguk lalu menyiapkan pesanannya.

Je menerima bungkusan bubur lalu pergi setelah membayar. Ia menjalankan motornya santai seraya menikmati semilir angin pagi.

Motornya ia hentikan tepat di depan kosan Egin. Lampu teras masih menyala, berarti semua penghuni kos masih terlelap dalam tidurnya. Je juga yakin Egin tak ada bedanya dengan yang lain.

Helm bogo ia buka dan menyisir rambutnya dengan tangan. Memanfaatkan kaca spion guna melihat kembali penampilan wajahnya, tak ada yang buruk.

Tok tok tok.

Meski Je yakin Egin belum bangun, tapi ia tak bisa seperti dulu yang sering masuk tanpa mengetuk pintu.

“Bentar!” Senyum Je terbit mendengar suara serak Egin dari dalam.

“Siapa sih pagi-pagi? Ganggu orang aja." Di dalam Egin menggerutu.
Ia mengambil sandal jepit di bawah kasur lalu membukakan pintu. Tubuh tegap serta aura segar menguar, Egin terhenyak begitu Je menatapnya dalam.

“Hai.”

“Oh, h-hai.” Egin tersenyum kikuk. “Mau ngapain pagi-pagi?”

Tanpa bicara Je menunjukkan sebungkus bubur yang ia beli tadi, tanpa sadar Egin mengernyit.

“Buat sarapan. Kamu baru bangun kan?” Egin menggaruk tengkuknya. Ia merasa malu baru bangun jam segini.

“Enggak mau nyuruh masuk gitu? Masa berdiri aja, nanti aku tambah tinggi.” Egin nyengir, ia membuka pintu lebar memberikan Je jalan masuk ke dalam.

Je duduk di sofa sebelum menaruh bungkusan, sementara Egin hanya memperhatikan Je yang sedang membuka bungkusan tersebut.

“Buka mulutnya." Dengan ragu Egin membuka mulut hingga masuklah sesuap bubur ke dalam mulutnya.

“Semalem tidur jam berapa? Aku nge-chat kok gak dibales." Terlihat kerutan di dahi Egin. Dia menatap Je seolah bertanya, “Emang?”

Je mengangguk sadar jika Egin bertanya. Lalu ia menjawab, “Liat deh, hape kamu.”

Bangun dan mencari ponselnya di bawah bantal. Ia menghidupkan data selular dan ternyata benar Je mengirimnya pesan. Kembali duduk di samping Je, Egin pun berucap menyesal, “Sori, kemaren aku kecapekan, jadi tidur awal.”

Kedua sudut Je tertarik membentuk senyuman, “Gak pa-pa.”

Sesaat Egin terdiam melihat Je telaten menyuapinya. Mengapa hal ini terasa familier di ingatannya? Bubur, suapan, dan cowok di depannya ini. Semuanya terasa familier, tetapi mengapa ia tak mampu memecahkan dan menemukan titik temunya?

“Je."

“Ya?”

“Kita pernah kayak gini?”

Je terdiam, memutar memori mencoba mengingat kembali kegiatan mereka. Lalu ia teringat kalau Egin memang sering minta disuapin kalau makan.

𝐀𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐘𝐨𝐮 [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang