19

649 47 3
                                    

Keadaan Egin berangsur membaik, satu minggu yang lalu Egin sudah boleh pulang ke kosan dengan Ibu yang menemaninya, membantu Egin.

Ayah Egin sudah menyuruh pulang ke Palembang, tapi Egin tak mau. Dia ingin menyelesaikan kuliahnya, ingin mengingat kembali perihal siapa Je. Pikirannya dirundungi oleh lelaki yang selalu bersikap seakan mereka adalah orang dekat.

"Evan, kami titip Egin, ya," ucap Ibu. Evan mengangguk setuju sambil tersenyum ramah.

Kemudian Ibu mengusap pundak Evan, "Bantu dia mengingat Je." Untuk kali ini Evan tak mengangguk, hanya tersenyum tipis, terlihat dipaksakan.

Setelah berpamitan akhirnya mereka kembali ke Palembang. Je sengaja tak datang untuk mengantar mereka, sepertinya dia ada kesibukan lain.

Di samping itu Evan memapah Egin dengan tongkatnya masuk ke dalam mobil.

"Van," panggil Egin kemudian.

"Ya?" sahut Evan sambil menyalakan mesin mobil.

"Apa sebelumnya kita sedekat ini?" Evan terdiam. Menoleh ke kanan dan kiri sebelum menjalankan mobil.

"Mau makan siang apa?" tanya Evan, sengaja mengalihkan topik. Egin mengangkat bahu lalu menunduk.

Ponsel dipegangnya retak di beberapa sudut, tapi tetap bisa digunakan. Egin melamun seraya memperhatikan ponselnya. Untuk kali ini dia bingung terhadap perasaannya. Jujur, dia sangat ingin tahu mengenai Je. Namun, ada rasa trauma dalam dirinya saat melihat lelaki tersebut.

"Gin." Evan menegurnya. Lelaki itu melirik Egin guna memastikan keadaannya sebab gadis itu tiba-tiba diam tanpa sebab.

Seketika itu Egin tersebtaj. kedua matanya dia kedipkan agar kesadaran segera kumpul, "Eh, ya?"

"Mau makan apa?" Evan mengulang.

"Enggak usah, pulang aja," kata Egin.

"Harus makan, kita ke resto dulu."

Egin tak menyahut lagi. Dia memilih diam, memandangi ponselnya. Egin membuka kontak di sana, mencari-cari nama Evan, tapi satu pun tak ada. Bahkan kedua teman Je yang lain, ponselnya sepi.

Hanya ada nama-nama dosen, Ayah dan Ibunya, Ayah Je, bosnya dan Rajendra Mahardika. Lalu kepalanya berdenyut, sekelebat bayangan muncul.

Je

Vespa hijau

Je yang marah lalu keluar dari kosan, dan Egin yang menangis di balik pintu setelah kepergian Je.

Egin mengerjap agar kilasan-kilasan acak itu enyah. Ia menajamkan penglihatannya.

"Kenapa, Gin?" tanya Evan. "Sakit kepala lagi?"

Evan mengusap kepalanya lembut, dan Egin hanya diam. Entah kenapa Egin merasa kedekatannya dengan Evan adalah suatu hal yang ganjal. Siapa Evan?

"Mau makan apa?"

"Pecel." Makanan itu tercetus begitu saja dari mulutnya.

Evan terkekeh, "Enggak ada pecel. Aku pesenin sushi aja ya? Enak kok," putus Evan, dan Egin hanya mengangguk.

Selang beberapa saat, pesanan mereka pun datang.

𝐀𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐘𝐨𝐮 [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang