Extra Part [II]

764 36 2
                                    

“Hai, lama ya?” Jika Egin menyengir lebar setelah membuat kesalahan, lain halnya Je mendengus usai pacarnya itu masuk ke dalam mobil.

Membelokkan mobil, lalu Je menjawab, “Kamu ngapain aja sih di dalem? Lama banget.”

Menaruh tasnya di dashboard, lalu Egin mengambil lipbalm karena bibirnya terasa kering, “Maaf, tadi aku ada klien yang datengnya telat banget.”

“Kalo telat kenapa enggak ditinggalin aja sih?” gerutu Je.

Egin berhenti memoleskan lipbalm. Die melihat Je dengan kernyitan di dahinya, “Kamu kenapa sih? Kok sensi gitu?”

Sedang Je meloloskan napas lelah, “Aku tuh capek, Gin. Belum kelar kerjaan aku, kamu udah minta jemput. Emang aku sopir kamu apa?"

Merasa bersalah Egin menaruh lipbalm-nya perlahan. Ia menghembuskan napas sebentar lalu menoleh dengan tatapan lembut pada Je.

“Maaf. Udah ngerepotin kamu gini. Lain kali aku pesen ojol aja.”

“Iya, gak pa-pa,” lirih Je.

Di perjalanan sekarang ini keduanya terdiam. Tak ada suara selain berisiknya transportasi di luar mobil sana. Sesekali juga Egin memilin lengannya. Dia resah di dalam kesunyian ini. Biasanya mereka akan bernyanyi bersama di dalam mobil ataupun bercanda, bedanya kini mereka hanyalah terdiam membisu.

Tiba di apartemen Egin. Je juga terdiam tanpa mengatakan apapun. Keterdiaman Je membuat Egin resah. Ia melirik Je tanpa ada niat untuk keluar dari mobil.

“Kenapa gak turun?”

“Kamu kenapa?”

Dua pertanyaan dari mulut mereka terlontarkan secara bersamaan. Je memijit pangkal hidungnya. Banyaknya tugas sebagai seorang pebisnis membuat Je lelah. Ia juga butuh istirahat sebanernya, tetapi tadi Egin minta jemput.

“Gin. Please! Aku tuh capek. Kamu ngerti kan?” Tuntut Je, bola matanya memelas.

Egin menatap datar.,“Aku mau turun kalo kamu juga turun."

“Gin ....”

“Gak peduli! Pokoknya kamu juga turun! Ikut aku ke atas!” Je mengangguk samar. Akhirnya ia mengalah dan turun.

Melihat pacarnya menurut, Egin tersenyum tipis. Segera ia keluar lalu menggandeng Je menuju unitnya.

“Lepasin jasnya.” Egin melepaskan jas yang Je kenakan setelah mereka tiba di unit Egin.

“Kamu istirahat dulu sana. Aku nyiapin air anget dulu buat kamu.” Je berdeham pelan.

Sungguh hari ini adalah hari yang paling melelahkan. Pertemuan dengan empat klien sekaligus dan juga dua kali rapat menguras tenaganya. Ia pikir menjadi penerus ayahnya itu mudah, ternyata tidak semudah yang ia kira.

Namun demikian ia bersyukur sebab adanya Egin di hidupnya. Pekanya perempuan itu terhadap kondisinya sontak saja membuat dia bahagia. Lihat saja, bahkan sekarang ini Egin tengah menyiapkan air hangat untuknya, padahal dia juga sama kelelahan.

Perlahan tapi pasti mata Je terpejam di atas sofa. Dengan kameja yang kancingnya sempat ia buka tadi— menampilkan dadanya yang putih, tetapi juga basah akibat berkeringat.

Je terlihat pulas sekali tidurnya, Egin yang baru saja selesai menyiapkan air hangat untuk Je urung membangunkannya. Lantas dia mengambil selimut di kamar.

Membenarkan posisi tidur Je agar lebih nyaman. Lalu ia menutup sebagian tubuh Je dengan selimut. Ia usap surai basah Je sebab keringat. Bola matanya menyorot lembut pada lelaki yang telah menemaninya dua puluh tiga tahun ini.

𝐀𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐘𝐨𝐮 [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang