|| Chapter 4 ||

31 6 0
                                        

"Aku sudah tidak tahu bagaimana cara melampiaskan emosi dengan benar. Bagaimana caranya marah? Yang ku bisa hanyalah menangis." —Aileen Queenby Aldinata

Alven terdampar di rumah Nathan. Berbeda dengan teman-temannya yang bermain game dan makan bersama, ia malah terus tiduran di kasur empuk milik Nathan. Pikirannya di penuhi oleh kalimat lelaki itu.

Ia diseret oleh ketiga hewan peliharaannya agar tidak nekat menjemput Aileen. Ini hari pertama, mereka tidak ingin dengan kedatangan Alven saat siswa Starschool bubar akan menimbulkan masalah. Selain bahaya untuk Alven, bahaya juga untuk Aileen.

Keduanya akan di hajar habis-habisan oleh beberapa siswa yang terlibat dalam permusuhan antara dua sekolah ini. Entah pihak dari Starschool, ataupun Rajasakti.

Tidak bisa, ini sudah lewat satu jam jadwal pulang sekolah Starschool. Alven sangat mengetahui Aileen, gadis itu pasti masih menunggunya di halte dekat sekolahnya.

Ia bangkit, mengambil kunci motor dan jaket yang tersampir di meja belajar milik Nathan. Menimbulkan pertanyaan dari tiga orang yang berada di satu ruangan tersebut.

“Mau kemana?”

“Jemput Aileen.”

“Bucin! Jangan, Ven, bisa jadi masalah!” larang Radhika mencoba menahan, namun nihil.

“Gue udah janji sama dia dan gue pernah bilang gue gak pernah ingkar. Minggir.” Alven menatap tajam Radhika yang menghalangi jalannya. Sorot kemarahan begitu kentara di wajah tegasnya.

Radhika ciut, ia melipir ke samping dan mempersilakan Alven untuk pergi. Jika jiwa garangnya sudah keluar, maka tak ada yang bisa menghentikan sekalipun itu seorang Nathan Kenath Prasaja.

Alven mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jarak dari rumah Nathan ke Starschool cukup jauh, sekitar memakan 15 menit perjalanan.

Ia terus celingak-celinguk seraya mengurangi kecepatan motornya setelah sampai di halte Starschool. Aileen yang tak ada dimana-mana membuatnya gusar.

Bisa saja Aileen sudah pulang, tapi Alven jelas mengetahui sifat gadis itu. Di hubungi pun tidak di angkat, membuat Alven semakin khawatir.

Matanya memicing saat melihat pemandangan di depan, seorang gadis dengan tas rajut berwarna peach yang tengah berjalan di trotoar jalanan. Walaupun sedikit lega, tetap saja Alven was-was. Takut jika Aileen marah padanya.

Aileen menendang-nendang angin menggunakan sepatunya. Kedua tangannya memegang erat tali ransel seraya tertunduk dalam. Aileen tidak marah, ia hanya— sedikit kecewa. Jika di perkirakan sepertinya ia sudah berjalan sejauh 0,5 km dari halte sekolah. Terbukti, Alven telah mengiringinya dengan motor saat ini sembari terus memanggil namanya.

Aileen enggan menoleh. Ia masih kesal.

“Aileen.”

“Sayang ....”

“Sekolah Alven pulang lebih dulu daripada Aileen padahal,” ucap gadis itu pada akhirnya dengan suara lirih.

“Aku tahu. Maaf, Aileen.” Alven masih terus mensejajarkan motornya dengan langkah Aileen.

Alven tidak buta untuk melihat kemerahan di wajah Aileen. Cuaca cukup terik, gadis itu pasti sangat kelelahan. Ini salahnya.

Alven turun dari motor, menepikan benda itu di pinggir jalan. Kemudian menahan lengan gadisnya, agar mau berhenti.

Aileen memang berhenti, namun raut wajahnya tak berubah sama sekali. Masih masam seperti tadi.

“Aku gak pernah ingkar, Tuan Putri. Pegang kata-kataku.”

BUKAN Friendzone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang