|| Chapter 26 ||

13 2 1
                                    

“Gagal merupakan batu loncatan sebuah kesuksesan. Jika kamu tidak mencobanya sekarang, bagaimana bisa tahu hasilnya nanti?” —Iqna

Seluruh pasang mata memusatkan pandangannya ke arah Aileen yang baru saja turun dari angkot dan memasuki area sekolah. Why? Karena kaos kaki gadis itu panjangnya mencapai lutut hingga menutupi seluruh kakinya! Seperti pemain bola yang akan bertanding saja.

Aileen yang dari dasarnya tidak pernah memedulikan pendapat orang lain terus berjalan santai dengan percaya dirinya melewati koridor utama. Ingin cepat-cepat sampai di kelasnya dan bergosip ria bersama Insha dan Fidelya.

Selain belajar, itu tujuan kedua dari para gadis yang ke sekolah, bukan?

“AILEEN! Lo mau tanding futsal? Sepak bola?” teriakan Insha menggelegar di kelas X IPA I yang hanya terdapat beberapa murid karena masih pagi.

“Apaan, sih, Sha,” sungut Aileen kesal. Menaruh tas rajutnya di atas kursi.

“Rok lo sebatas lutut kan nih, ya. Terus kaos kaki lo juga panjangnya sampai lutut!”

“Memang ada yang salah?” tanya balik Aileen.

Insha menggaruk kulit kepalanya dengan tampang bodoh. “Ng-nggak, sih. Cuma aneh aja, tahu! Gak cocok!”

Tubuh Insha berjongkok, kemudian tangannya terulur untuk menurunkan kaos kaki Aileen yang sangat mengganggu pandangan siapapun ketika melihatnya.

Panik, Aileen langsung melangkah mundur. “Jangan!” larangnya.

Karena kesal Aileen yang mundur tiba-tiba, Insha memukul kencang betis gadis itu.

“Aw!”

Atensi Insha dan Fidelya kompak menatap penuh tanya ke arah Aileen. Apa maksud rintihan gadis itu barusan? Padahal Insha memukulnya tidak terlalu kencang.

Aileen menutup mulutnya, baru sadar dengan pekikannya beberapa detik yang lalu. Mampus, teman-temannya tidak ada yang boleh mengetahui kalau kakinya penuh dengan memar akibat pukulan gagang sapu dari Andini kemarin sore.

“Aileen kenapa?”

“Kenapa, lo?”

Dua sahabat Aileen bertanya dengan kompak, seolah menguasai telepati sesaat. Berbeda dengan Fidelya yang bertanya lembut, nada pertanyaan Insha sangat kasar dan menyelidik.

Aileen memaksakan senyum palsunya. “Eh? Gak papa, kok! Refleks aja waktu dipukul Insha.”

Fidelya manggut-manggut, namun tidak dengan Insha. Gadis dengan rambut sebahu itu masih berusaha mencari-cari tanda kebohongan dalam diri Aileen.

“Kenapa masih pada mengobrol? Cepat, pelajaran akan segera dimulai.”

Bu Iqna, guru biologi yang terkenal killer namun disukai seluruh siswa karena paras cantiknya. Selain itu, beliau juga terkenal ramah jika jam pelajaran tidak berlangsung. Bisa dibilang, guru necis itu seperti memiliki dua kepribadian saat di dalam dan luar kelas.

Dimas sang ketua kelas mengangkat tangannya. “Maaf Bu sebelumnya. Bukannya bel belum berbunyi, kok sudah mau dimulai?”

Terkenal dengan keberaniannya, karena itulah Dimas terpilih menjadi ketua kelas X IPA I.

Terdengar helaan napas dari Bu Iqna. “Mau selesai cepat, tidak? Ibu juga ada urusan setelah ini.”

Mendengarnya, tentu saja seluruh penghuni kelas itu berubah semringah. “MAU, BU!”

Aileen menyimak dengan baik materi demi materi yang disampaikan Bu Iqna. Tak jarang gadis itu mengangkat tangannya hanya untuk menjawab soal ataupun memberikan pertanyaan. Siswa seperti inilah yang disukai para guru.

Aileen sebenarnya sangat cerdas, namun tetap saja selalu merasa insecure dan insecure. Hingga terkadang Insha ingin melemparnya ke rawa-rawa ketika sifat mindernya muncul.

***

“Aileen, saya mau bicara sama kamu.”

Tubuh Aileen seketika tegap, wajahnya tegang saking terkejutnya. “Iya, Bu? Aileen buat salah, ya?” tanyanya polos.

“Tidak. Mari ikut ke ruangan saya.”

Aileen menurut. Mengekori guru cantik yang menjadi idola seantero sekolah seperti anak ayam kepada induknya. Kepala tertunduk dalam dengan tangan yang saling bertautan.

Otaknya berkelana jauh, memikirkan apa yang ingin dibicarakan Bu Iqna kepadanya. Seingatnya Aileen tidak pernah membuat masalah sejak menginjakkan kaki di Starschool.

“Kamu menyukai pelajaran Biologi?”

Aileen duduk terlebih dahulu, kemudian segera menjawab pertanyaan Bu Iqna. “Suka, Bu! Aileen suka banget sama Biologi,” sahutnya berubah ceria, tidak seperti sebelumnya.

Bu Iqna tersenyum tipis. “Kalau begitu, saya meminta kamu menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti OBI tingkat SMA seluruh Indonesia. Yang nantinya akan dilaksanakan di UPI Bandung.”

“OBI itu apa?” Aileen bertanya karena tidak tahu.

“Olimpiade Biologi.”

Aileen tercengang, mulut dan bola matanya terbuka lebar. Takut ada lalat yang masuk, segera saja satu tangannya menutup mulutnya yang tengah menganga. “Gimana, Bu? Telinga Aileen bermasalah, ya?”

Untuk pertama kalinya Aileen mendengar kekehan renyah Bu Iqna. Dia yang mendengar saja merasa nyaman, bagaimana jika lelaki.

“Tidak,” jawabnya singkat.

“Aileen jadi perwakilan sekolah Olimpiade Biologi? SERIUS?!”

Sial, Aileen kelepasan. Saking senangnya ia jadi berteriak. Untung saja Bu Iqna bisa maklum.

“Iya, Aileen. Tolong kecilkan suaramu, bagaimana kalau seluruh kaca di sini pecah?”

Aileen cekikikan. “Ehehe, iya, Bu, maaf. Oh iya, memang gak diseleksi dulu?”

Bu Iqna menggeleng lemah, rautnya berubah ketika Aileen bertanya seperti itu. “Saya tidak menemukan orang yang benar-benar ambisius kepada Biologi seperti kamu. Saya yakin jika kamu yang mewakili, maka bisa mengharumkan nama sekolah. Kamu bisa pegang kepercayaan kami, kan?”

Aileen menggigit bibirnya, ragu. Takut kalau nanti bukan mengharumkan, tetapi mengecewakan sekolah.

“Aileen takut.”

“Kenapa? Sekolah sudah memercayai kamu untuk menjadi perwakilannya. Kami akan lebih kecewa jika kamu menolak daripada kamu gagal menjadi juara.”

“Gagal merupakan batu loncatan sebuah kesuksesan, Aileen. Jika kamu tidak mencobanya sekarang, bagaimana bisa tahu hasilnya nanti?”

Benar, ia tidak boleh langsung menghancurkan pihak sekolah dengan cara menolaknya.

“Baik, Bu, Aileen bersedia. Aileen juga mempunyai pengalaman, insyaallah siap!”

Bu Iqna mencondongkan tubuhnya, seolah tertarik dengan topik pembicaraan kali ini. “Oh, ya? Apa saja?”

“Waktu SD Aileen pernah ikut lomba MIPA di bidang IPA. Terus waktu SMP, Aileen pernah ikut Olimpiade Sains di Pondok Pesantren Al Huda Malang, Olimpiade Biologi di UPI Bandung dan Olimpiade Sains di ITB.”

“Wah, banyak juga. Berarti ini bukan kali pertamanya kamu ke UPI Bandung?” Bola mata Bu Iqna berbinar, bangga pada anak muridnya yang mempunyai banyak prestasi dalam bidang Sains terutama Biologi.

“Iya, Bu.”

“Bagus. Ibu semakin percaya padamu, good luck!”

BUKAN Friendzone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang