|| Chapter 18 ||

13 4 2
                                    

Tanpa disadari siapapun, Pangeran sudah mengambil langkah saat meliha Aileen yang terjatuh. Namun ia urungkan, karena melihat Alven yang lebih dulu mendekat.

Selanjutnya ia memutar arah, berniat untuk pergi ke ruang osis. Tangannya bergerak memukul kepalanya sendiri sambil memejamkan mata.

“Sadar, bego, apa-apaan sih.”


***


“Sha, Del, titip Aileen selama gue tanding. Jagain dia, Radhika sama Keano juga udah gue suruh.”

“Gak perlu lo suruh juga pasti kita jagain kali, Ven. Tenang aja,” balas Insha mengibaskan tangannya di udara.

“Iya, Thank’s.”

“Kalau Nathan?”

Alven mengalihkan atensi pada Fidelya yang bertanya, detik kemudian tersenyum jahil. “Dia kan tanding sama gue. Kenapa? Mau latihan jadi orangtua ya kalau jagain Aileen nya bareng Nathan?”

Sudah bukan rahasia dunia kalau Fidelya menyukai Nathan Kenath Prasaja. Sayang, pria itu satu spesies dengan Alven. Dingin dan tak tersentuh.

“A-apaan, sih. Gue kan cuma nanya!”

Insha terus menyikut-nyikut perut temannya dengan wajah tengil. Mengikuti alur permainan Alven yang masih menggoda Fidelya.

“Iya, jawabnya biasa aja kali gak usah ngegas.”

“Gue bukan elpiji!”

Aileen kembali dari toilet dengan headband yang sudah melingkar di kepalanya. Gadis itu berlari dengan langkah yang pincang akibat terjatuh tadi.

Alven menggenggam tangan Aileen saat gadis itu sudah berada di hadapannya. “Pelan-pelan dong, nanti jatuh lagi lukanya makin parah gimana?”

Aileen hanya menyengir sambil terus berusaha menormalkan deru napasnya yang menggebu. Kini Alven bisa tahu alasan mengapa Aileen ingin mengikuti lomba lari. Ya orang hobinya juga lari, walaupun sering terjatuh.

“Mau minum, gak?” tawar Alven. Tangannya bergerak merapikan anak rambut Aileen yang keluar dari cepolannya.

“Gak usah,” tolaknya. Selanjutnya menyodorkan sebuah benda yang sama persis dengan sesuatu yang melingkar di kepalanya.

“Alven pake ini ya, biar keringatnya gak berjatuhan ke mata. Terus biar gak tepe-tepe! Lihat, kita couple.”

Dengan senang hati Alven menerimanya disertai senyuman yang mengembang.

“Aku cuma bakal tebar pesona sama kamu.”

Insha berdecih dan merotasikan bola matanya malas. “Lo tahu norak, gak Leen? Kalian itu norak!”

Aileen cemberut mendengarnya.

“Sirik aja lu, kampret. Pengen juga ya? Kasihan, jomblo berapa tahun sih?” Radhika muncul dari arah kiri bersama sohibnya, Keano. Kemudian langsung nyeletuk seperti biasanya, mengundang tanduk Insha agar keluar.

“Jomblo teriak jomblo!” balas Insha tak mau kalah.

“Berisik! Lama-lama Aileen nikahin juga kalian. Ribut mulu, jodoh ya?!”

Alven menarik tangan gadisnya untuk menjauh. Menuju ke sebuah ruangan remang-remang di bawah tangga. Jangan aneh-aneh pikiran kalian, Alven hanya ingin menghabiskan waktu bersama Aileen dengan suasana yang tenang.

“Pakein.”

Aileen menengadahkan telapak tangannya ke hadapan Alven di sertai senyuman manis. Manis sekali, sampai Alven mau pingsan rasanya.

Oke, itu berlebihan, Alven.

Dengan telaten Aileen mengikatkan headbandnya di kepala Alven. Kaki mungilnya berjinjit karena tingginya hanya sebatas dada Alven. Karena lelaki yang pengertian, Alven pun sedikit mencondongkan tubuhnya agar Aileen tidak terlalu kesulitan.

Alven menahan napas saat posisi wajah mereka hanya berjarak 2 cm. Sialan, para setan di bawah tangga ini mulai membisiki Alven.

Cup!

Alven mencium Aileen tepat di ujung hidungnya. Wajah gadisnya sudah memerah sampai ke telinga.

Gerakan tangan Aileen terhenti. Tubuhnya mematung dan lemas seketika. Kelopak matanya pun tak bisa berkedip, masih melotot seperti ingin keluar detik itu juga.

“Alven, pegangin Aileen cepet!”

“Kenapa?” tanya Alven santai. Ekspresinya seolah tak memiliki dosa. Alven sialan!

Alven menurut, memegangi kedua lengan Aileen karena tubuh gadis itu mulai oleng.

“AILEEN MAU PINGSAN AAA!”


***


“Gak sekalian aja lo pinjem kostumnya cheerleader? Kalau pitanya doang tanggung.” Insha melirik sinis ke arah Radhika dan Keano yang sudah memegang pita anggota cheerleader di kedua tangannya. Radhika dan Keano memang cocok banget kalau soal jadi tim hore, mendalami peran!

“Lo mau kita cosplay jadi cewek buat dukung Alven sama Nathan?” 

“Bukannya sekarang kalian udah cosplay jadi cewek? Pitanya warna pink, cucok banget. Gak malu apa sama anak cheers.” Insha mendelik.

“Sialan. Musnah aja lo Sha dari bumi ini.”

“Lo berdua kan cuma beban sekolah nih ya, gak ada perannya di pertandingan ini. Jadi ngapain datang ke sini sih? Nambah-nambah sampah manusia aja!”

“Ada. Peran gue jadi tim sorak buat Nathan dan Alven,” balas Radhika dengan bangganya menyahuti kalimat Insha. Selanjutnya matanya mengerling ke arah Keano, menarik turunkan kedua alisnya yang dibalas senyuman puas dari Keano. Dasar dua partner gila!

“Ih, Alvennn, Aileen bukan kucing!” Aileen memekik karena sehabis tragedi di bawah tangga itu Alven menyeret ujung belakang baju olahraganya seperti ingin membuang anak kucing.

“Nih, titip istri gue. Jangan sampai lecet sedikitpun,” ucapnya pada Insha, Fidelya, Radhika dan Keano.

“Aileen bukan barang, ya! Seenaknya dititipin!”

“Bukan barang. Tapi sesuatu yang berharga buat aku.”

Tolong, mengapa setiap ucapan Alven selalu berhasil membuat wajah Aileen memanas dan berubah warna.

Alven merentangkan kedua tangannya. “ Sini peluk dulu, semangatin aku.”

Dengan gerakan malu-malu Aileen mendekat dan memeluk erat tubuh atletis Alven. Ah, rasanya sangat hangat dan nyaman.

“YEUUU, DASAR BOCHEN!” Dengan kompak Insha, Fidelya, Radhika dan Keano membanting barang yang ada di tangan mereka masing-masing. Hingga Insha meraung keras karena tak sadar bahwa yang ia banting adalah ponselnya sendiri. Sementara Nathan, pria itu masih berdiri kalem memerhatikan kelakuan gila teman-temannya. Biarin aja udah biarin, terserah mereka.

Bahu kanannya di tepuk oleh Alven, mengajak untuk segera ke lapangan. Ia menurut, kemudian berlari mengikuti.

“Semangattt, Alven pasti menang!” teriak Aileen di pinggir lapangan. Wajah gadis itu sudah memerah karena kepanasan.

Tangannya di pukul oleh Insha. “Heh, lo dukung sekolah Rajasakti atau Starschool, sih?!” sungutnya tak santai. Ia masih kesal karena ponselnya yang tak sengaja dibanting tadi. Padahal itu ulahnya sendiri.

Aileen nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi. “Dukung Alven,” polosnga membuat Insga gemas. Gemas pengen nyekek, sebucin itu Aileen dan Alven.

Saat pertandingan babak satu akan berakhir, Alven merasakan ada sesuatu yang janggal. Ia melihat ke arah gadisnya yang syukurnya baik-baik saja. Bibir Alven membentuk sebuah lengkungan, membalas Aileen yang tersenyum padanya.

Namun di detik-detik terakhir, semua orang dibuat bingung karena Alven yang tiba-tiba berlari ke tepi. Jantungnya berdebar tak karuan, melihat sebuah pisau yang melayang tepat ke arah punggung Aileen. Sepertinya itu sengaja di lempar dan memang sudah direncanakan.

Firasatnya benar terjadi.

“Aileen, awas!”

Jreb!

“Akh!”

BUKAN Friendzone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang