Tap! Tap! Tap!
Aileen mengendap-endap di pekarangan rumahnya. Ini benar-benar kali pertama bagi gadis itu pulang pukul sebelas malam, mana masih memakai seragam sekolah lagi.
Kalau Mama Papa nya tahu, bisa habis kepala Aileen di penggal. Salahnya sendiri terlalu asyik bermain dan makan bersama Alven hingga lupa waktu.
Duk!
“Aw! Apaan—“
“Jangan berisik, bodoh.”
Suara berat Kakaknya yang seperti berbisik terdengar. Pria itu sedang bertengger di balkon kamarnya sembari melihat Aileen dengan api amarah yang kentara. Berbeda dengan milik Aleo, kamar Aileen tidak ada balkonnya.
Aleo memang tidak akan memarahi Aileen lebih kejam dari orangtuanya, namun tetap saja ia takut. Pria se dingin es itu pasti akan cosplay menjadi seorang ustadz. Menceramahi habis-habisan hingga pagi tiba.
“Mama Papa udah tidur, lo aman malam ini. Tapi gak tahu besok, gue gak bisa jamin,” ujar Aleo lagi dengan intens menatap Aileen.
Sumpah, penampilan gadis itu sudah seperti gembel tukang minta-minta di jalanan. Aleo gak ngerti lagi apa yang dilakukan adiknya sampai kayak gini.
“Berarti pintu dikunci, dong? Adek gimana masuknya?” tanya gadis itu dengan nada merengek. Ekspresinya sudah pasrah, menerima saja apa yang akan terjadi nanti.
“Ambil tangga di belakang rumah, naik kesini.” Aleo memutar bola matanya malas. “Gue curiga, otak lo isinya cuma pelajaran. Sampai yang kayak gini pun bego banget,” sambung pria itu lagi.
“Udah deh, gak usah ngehina! Iya tahu Abang yang paling pinter dari semua orang pinter. Otak Abang mau setara dengan Albert Einstein, tahu kok!” Aileen menggerutu. Namun sambil berjalan mengambil tangga di belakang rumah sesuai instruksi Aleo.
Aileen meletakkan tangga yang terbuat dari bambu itu tepat di balkon kamar Aleo. Gadis itu mendongak dengan napas yang masih memburu, habis tangga itu cukup berat. Beban hidup Aileen kan udah berat, masa di tambah-tambah sih.
Aileen menatap Aleo dengan tampang bodohnya membuat sang empu merasa gemas setengah mati. Gemas, pengen cemplungin ke rawa-rawa terus adopsi adik baru.
“Gimana naiknya, Abang? Adek gak tahu. Terus kalau nanti jatuh, kepala Adek bocor gimana? Gak bisa belajar lagi dong.”
Aleo ingin tertawa namun hatinya mencelos pada detik yang sama. Aileen yang terlalu di tuntut belajar oleh Mamanya. Dulu Aleo juga sama kok, tapi kembali lagi pada perkataan kepala keluarga mereka bahwa mental laki-laki dan perempuan berbeda.
Sesukses apapun perempuan, ke depannya tetap lelaki yang akan memimpin. Karena langkah seorang lekaki itu sangat panjang.
Itu hal yang selalu Aleo dan Aileen dengar dari Bibi mereka, adik dari Andini.
Aleo tak berkata apa-apa lagi, pria itu langsung turun begitu saja menggunakan tangga yang di letakkan Aileen tadi.
“Abang ngapain? Kok bego banget sih malah turun ke bawah?!” tanya Aileen dengan songongnya.
Aleo menyentil kencang dahi sang adik, membuat empunya meringis kesakitan. Dari dasarnya seorang Aleo memang kejam, Aileen tak suka.
“Cepet naik. Gue jagain dari sini.”
Mata Aileen memicing, telunjuk lentiknya terangkat menuduh kepala Aleo. “Kalau dalaman Adek kelihatan sama Abang gimana?!”
Aleo mengendikkan bahunya acuh. “Lupa kalau kita sering mandi bareng?”

KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN Friendzone!
Teen Fiction"Alven! Aileen suka sama Alven!" "Aku gak mau pacaran, Aileen. Kita masih kecil." *** "Kita udah beda SMA. Tunggu aku tiga tahun, ya?" "Emang penantian Aileen selama ini belum cukup, ya?" "Belum. Kita masih harus berjuang agar bisa benar-benar bersa...