|| Chapter 25 ||

12 2 1
                                    

Gengsiku terlalu besar untuk sekedar menenangkan kesedihanmu. Bagaimana caranya untukku membahagiakanmu?” —Aleo Kingby Aldinata

Hujan masih setia mengguyur kota Jakarta. Isak tangis Aileen semakin mendukung suasana malam itu. Air mata adiknya berhasil menambah perasaan sendu Aleo, semakin meremat kuat ulu hatinya.

Seperti biasa, lelaki berusia delapan belas tahun itu akan berdiam diri di ujung tangga lantai dua. Memperhatikan pemandangan menyayat hati di bawahnya. Seperti tidak tahu apa-apa, padahal sebenarnya Aleo mengetahui semua yang terjadi di rumah ini. Karena dirinya yang suka mengamati tanpa disadari siapapun.

Cekalannya mengerat ke pegangan tangga, tak lama dari itu segera beranjak pergi menuju kamarnya dengan suasana hati yang belum membaik.

“Gengsi gue terlalu besar untuk sekedar menenangkan kesedihan lo, Dek. Gimana caranya gue bahagian lo?”


***


“Masih belajar? Rajin banget keponakan Bibi.”

Bi Dina berdiri di samping kursi belajar Aileen yang tengah ditempati sang pemilik. Mengelus surai legam halusnya dengan penuh kasih sayang.

Orang yang dimaksud mendongakkan kepala, kemudian tersenyum tipis. Tadi sore dia les, jadi tidak ada waktu untuk mengerjakan PR Biologi yang harus dikumpul besok. Maka dari itu mau tak mau harus dikerjakan sekarang jika tidak mau mendapatkan hukuman.

“Cepat tidur, sudah selesai, kan? Besok kamu sekolah, jangan begadang,” pesan Bi Dina mengingatkan.

Sepertinya malam ini wanita itu akan menginap di kamarnya, buktinya sudah jam segini Bi Dina belum pulang. Ah, Aileen sangat senang. Pasalnya sudah lama sekali semenjak masuk dunia SMA tidak tidur bersama di rumah Bi Dina. Ia merindukan saat-saat itu.

Aileen menurut, membereskan meja belajarnya hingga rapi dan segera menuju kasur. Baru saja Bi Dina akan duduk di sebelahnya, pintu kamar Aileen terlebih dahulu dibuka dari luar.

Selanjutnya tampak Andini dengan piyamanya. Di kedua tangannya terletak sebuah nampan yang berisi segelas susu putih dan teh manis hangat untuk Aileen dan Dina, adiknya. Tamu mereka pada malam itu.

“Jangan ajari anakku macam-macam, Dina. Aileen sudah cukup dengan semua didikanku selama ini.”

Kening Aileen berkerut mendengarnya. Detik setelahnya ia bisa melihat Bi Dina yang sedang berusaha meredam tawanya agar tidak meledak di hadapan Andini.

“Sejak kapan Mbak mendidik Aileen?” tanya Bi Dina dengan berani. Dagunya sedikit terangkat untuk menunjukkan bahwa ia tidak takut kepada wanita berpostur lebih tinggi darinya yang berstatus sebagai kakak kandungnya tersebut.

Bi Dina merasa semua ini harus disudahi. Andini terlalu jauh menyakiti fisik serta mental Aileen dan Aleo.

“Sedari mereka kecil, aku yang mengurus serta mengajari Aileen dan Aleo. Sedangkan Mbak dan Mas Alan selalu sibuk bekerja.”

Tubuh Aileen menegang mendengarnya.

Benarkah?

Memori ingatannya memang hanya ada Bi Dina yang mengajarkan semua materi sekolah kepadanya dan Aleo. Namun ia pikir Andini juga ikut serta, hanya dia saja yang lupa.

Ternyata ... itu semua salah.

“Kami bekerja pun untuk menghidupi mereka. Lihat? Sekarang kedua anakku hidup berkecukupan.”

“Salah,” potong Bi Dina cepat. “Mereka hidup dalam tuntutan, bukan berkecukupan,” sambungnya kemudian.

“Aileen dan Aleo tidak hanya membutuhkan uang dan materi, tapi juga kasih sayang dan perhatian. Mereka juga kehilangan masa kecilnya karena diharuskan belajar oleh Mbak,” tambah Bi Dina lagi. Mampu membuat Andini bungkam kehabisan kata-kata.

“Kalau tidak begitu, otak mereka tidak akan secerdas sekarang! Aleo sudah bekerja dan mendapatkan posisi yang cukup tinggi. Aileen pun selalu menjadi bintang kelas dan juara umum di sekolahnya!” Emosi Andini mulai keluar. Jika ditahan, maka akan semakin meledak.

Karena kamar Aleo berada tepat di samping kamar Aileen, maka pria itu mampu mendengar samar-samar keributan yang terjadi di dalamnya. Tidak ingin semakin keruh, segera saja ia berlari menghampiri.

Dilihatnya Aileen yang meringkuk ketakutan sembari menutup kedua telinganya di pojok kasur. Menatap dengan berkaca-kaca perdebatan antara adik kakak di hadapannya.

Aleo mengambil langkah lebar, memeluk Aileen erat dan semakin menutup kedua telinganya.

“Jangan takut ... ada gue.” Aleo sangat tahu kalau Aileen takut dengan hal-hal seperti ini. Gadis itu tidak boleh dihadapkan dengan keributan apapun.

“Ma, Bi.”

Suara berat Aleo akhirnya didengar dua perempuan itu. Kemudian keduanya sama-sama menoleh dengan wajah yang memerah karena menahan emosi.

“Kalian gak lihat? Aileen ketakutan.”

Seketika manik coklat Andini yang asalnya diselimuti api amarah menjadi luluh saat melihat putri bungsunya. Ia melupakan kehadiran Aileen di sana, melupakan kalau Aileen takut dengan hal seperti ini.

“Maafin Mama,” ucapnya pelan.

Andini merupakan seorang Ibu yang paling labil sepanjang masa. Kita bisa taruhan.

Andini segera beranjak pergi dari sana, meninggalkan Bi Dina, Aileen dan Aleo. Tak ingin semakin menambahkan kebencian dalam hati putrinya untuk dirinya.

“Tidur sama gue di kamar sebelah. Mau?”

Aileen menggeleng. Namun tentu saja Aleo belum menyerah, bukan dirinya banget kalau kayak gitu.

“Dulu lo menginginkan itu waktu pulang malam habis main sama Alven, kan?”

Aileen masih menolak.

“Yasudah, tidur sama Bibi saja, ya?” Gantian Bi Dina yang membujuk keponakannya.

Aileen kembali menggeleng. “Aileen mau sendiri aja. Takut nanti Mama marah kalau sama kalian.”

Aleo yang masih mendekap tubuh kecil Aileen bersitatap dengan Bi Dina, seolah sedang berkomunikasi melalui jendela hati itu.

“Bibi tidur di kamar Aleo aja, biar Aleo di kamar tamu. Aileen, lo boleh habisin waktu sendiri.”

BUKAN Friendzone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang