|| Chapter 10 ||

20 5 2
                                        

"Dewasa itu capek ya?" —Aileen Queenby Aldinata

ASTAGHFIRULLAH! Perasaan Ibu gak pernah ngelahirin zombie, deh.” Shinta berjengit kaget melihat keadaan anaknya yang babak belur malam-malam seperti ini. Jam segini waktunya untuk tidur, gimana gak kaget coba?

Alven berdecak. “Ini Alven, Bu.”

Shinta segera merubah ekspresinya menjadi khawatir setelah tadi terkejut yang sangat tidak elite. “Kok bisa kayak gini sih, Ven? Kamu kenapa?” tangan lentiknya terulur untuk mengusap lembut rahang sang anak. Selanjutnya menggiring anak itu masuk ke dalam.

“Biasalah, Bu, anak cowok.”

Shinta memukul gemas lengan putranya. “Dulu kamu udah pernah bilang sama Ibu gak akan berantem-berantem lagi, dan itu beneran gak di lakuin. Masa sekarang tiba-tiba?!”

Alven menyandarkan kepalanya di bahu Shinta, memeluk wanita itu dari samping. “Alven capek, Bu. Besok aja, ya?”

Shinta menggeliat geli kala hidung mancung Alven menyentuh kulit lehernya. Mulai deh sifat manjanya keluar.

Shinta menepuk-nepuk pucuk kepala Alven. “Yaudah, sana istirahat. Udah di obatin belum?”

Alven mengangguk samar.

“Beneran?”

“Iya, tadi di rumah Nathan.”

Kemudian bangkit dari duduknya berniat untuk menuju kamar. Baru saja menaiki tangga pertama, suara Ibunya menghentikan langkah Alven.

“Bang Al.”

Tanpa basa-basi Alven berbalik, menatap sang Ibu dengan hangat.

“Jangan kecewain Ibu dan Ayah, ya?”

Alven tersenyum tipis mendengarnya. Sangat tipis, nyaris tak terlihat.

Senyuman yang bahkan Alven sendiri pun tidak tahu, apakah menyetujui permintaan Shinta atau bahkan sebaliknya.

Semuanya masih terasa abu.

Namun tetap hal yang selalu Alven harapkan, tidak akan pernah mengecewakan kedua orangtuanya.

Mata kelam Alven menerawang ke langit-langit kamarnya. Ia memikirkan bagaimana ke depannya hubungan dia dengan Aileen.

Hanya karen peraturan sialan dua sekolah hubungannya menjadi serumit ini? Tolonggg.

Tahu gitu mending Alven gak usah ke Rajasakti.

Seketika, satu kalimat yang terlontar dari mulut Fidelya melintas di otaknya. Setelah Aileen mengetahui semuanya, apa gadis itu akan mempertahankan hubungan mereka atau justru sebaliknya?

Untuk pertama kali selama 15 tahun Alven hidup, menutupi suatu hal terhadap gadisnya. Tak jauh berbeda dengan Aileen, biasanya Alven selalu menceritakan semua yang ia alami.

“Maaf, Tuan Putri.”

***

Aileen menidurkan kepalanya di atas meja belajar. Awalnya ia berniat untuk membaca-baca buku pelajaran kelas sembilan, namun urung karena mood nya belum membaik setelah perdebatan tadi.

Tangan mungil gadis itu mengetuk-ngetuk permukaan meja. Sampai sekarang bibirnya masih terlihat mencebik.

Decitan pintu terdengar, seorang pria matang berperawakan bongsor masuk ke kamar girly itu. Alan mendekat, mengelus penuh sayang pucuk kepala putri bungsunya.

“Gak belajar?”

Aileen menggeleng lesu. “Males.”  

“Kok males?”

“Kenapa? Mau di marahin?” sungutnya.

“Nggak, dong. Masa Papa marahin putri kesayangan Papa?”

Bullshit, Aileen membatin.

“Tidur aja,” suruh Alan kemudian. Ia tidak tega melihat ekspresi lelah bercampur sedih Aileen. Ia bisa menebak semua ini berawal dari perdebatan mereka di ruang tengah tadi.

“Nanti aja.”

“Dek, sini.” Alan menarik lengan Aileen, membuat sang empu mau tak mau menurut. Ia membawa Aileen untuk duduk di kasur milik gadis itu.

Tangan yang sudah di hiasi keriput namun tetap kuat itu kembali bergerak, mengusap surai Aileen yang selembut sutra.

“Kamu ingat sekarang berapa tahun?”

“15.”

“Sebentar lagi 17, right?”

Aileen mengangguk pelan, walaupun masih selisih dua tahun lagi ia menginjak umur17 tahun.

“Itu artinya, kamu akan segera beranjak dewasa, sayang. Menjadi gadis remaja seutuhnya, bukan anak kecil lagi.”

Dewasa ya? Aileen sangat membenci kata dewasa. Menurutnya, dewasa itu tidak menyenangkan. Ia ingin selalu menjadi putri kecil, kesayangan Papanya.

Aileen tidak ingin menjadi dewasa. Bolehkah jika ia berpikiran seperti itu?

“Dewasa itu capek, ya, Pa? Dituntut ini itu. Apalagi ... Adek di tuntut sempurna sama Mama.”

Alan tersenyum simpul. Ia tahu kalau istrinya selalu menuntut anak-anak mereka menjadi sempurna. Sempurna dalam artian selalu mendapat posisi paling atas di mana pun, kapan pun dan dengan siapapun.

Aleo mungkin bisa melaluinya karena seorang lelaki. Tapi Aileen? Fisik dan mental gadis itu lemah.

“Capek si ya capek, tapi mau gimana pun hal itu akan dilalui setiap manusia.”

Mata Aileen memanas, berkaca-kaca. Entah kenapa mendengarnya ia malah ingin menangis.

Gadis itu masuk ke dalam dekapan hangat sang Ayah. Menenggelamkan wajahnya di dada bidang tersebut. “Adek capek, Pa. Adek capek. Adek udah dapatin semuanya bahkan yang belum pernah Bang Leo dapatin. Itu belum cukup ya buat Mama?”

Alan mengecup singkat pelipis putrinya. “Kalau kamu capek, jangan di paksain. Kamu boleh istirahat sebentar. Cukup lakuin sesuai kemampuan kamu.”

Aileen menghembuskan napas panjang, mencoba meredakan tangisannya. “Sebenernya Adek gak papa mau dituntut kayak gimana pun. Asalkan setelah Adek berhasil meraih sesuatu, Mama ikutan seneng dengernya, gak cuma datar aja. Adek belum pernah denger kata bangga dari mulut Mama.”

“Waktu Adek main ke rumah Fidelya, dia dipanggil sayang sama Mamanya. Disitu Adek nahan nyesek mati-matian.”

“Adek gak minta apa-apa, Adek cuma mau di perlakuin sama kayak Bang Leo. Mungkin kebutuhan materi Adek lebih lengkap daripada Abang, tapi yang Adek butuhin bukan itu, Pa.”

Aleo menunduk dalam di depan kamar Aileen yang tertutup. Ia mendengar semuanya, semua percakapan ayah dan anak itu. “Gue penghalang kebahagiaan lo ya, Dek?”

BUKAN Friendzone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang