“Lo siapa? Ngapain sama calon istri gue?”
Semburat merah menghiasi kedua pipi Aileen saat mendengar tiga kata terakhir. Enteng sekali saat diucapkan Alven, namun dampaknya sangat besar untuk si gadis.
Dimas balas menatap Alven ramah. Jadi ini maksud gadis itu calon suaminya? Baiklah, ia akan mengingat kata tukang parkir saja. Mondorr!
“Gue—“
“Ini Dimas, ketua di kelas Aileen. Alven jangan gitu,” ucap Aileen, menyela Dimas sebelum merampungkan kalimatnya.
“Kenapa lo gak tolongin dia?” tanya Alven lagi. Nadanya sedikit sinis, ia cemburu!
“Gue datang lima menit sebelum kalian ke sini,” balas Dimas kalem.
Alven menghirup oksigen dan mengembuskannya, berusaha untuk menenangkan diri. Tidak seharusnya ia seperti ini, Aileen boleh berteman dengan siapapun selama dalam batas wajar.
Alven mengangguk singkat. Selanjutnya ia kembali memusatkan perhatian pada Aileen. Diusapnya rambut halus yang kini sudah kotor itu. Tatapannya menembus ke retina hazel Aileen, menyalurkan kasih sayang yang begitu besar.
“Aku belum sempat nanya karena terlalu khawatir. Kamu gak papa?”
Aileen tersenyum tipis. “Tadi Aileen langsung lompat dari angkotnya.”
Alven segera memeriksa kedua telapak tangan Aileen beserta lututnya. Benar saja, di empat tempat itu terdapat lecet, memar dan goresan-goresan kecil lainnya. “Kita ke rumah sakit.”
“APAAN?! Gak usah, Alven.”
Alven berdecak atas penolakan Aileen. “Nurut sekali bisa?”
Aileen cemberut, namun tetap mengikuti perintah Alven. Sayang saat mencoba berdiri, Aileen kembali terjatuh membuat semua orang yang mengelilinginya panik.
“Kayaknya kaki Aileen terkilir ....”
“Apa aku bilang, kita ke rumah sakit. Sini.” Alven mengambil ancang-ancang untuk mengangkat tubuh Aileen.
“Gak mau kayak gini!” Aileen memberontak saat kedua tangan Alven menyelip di antara tengkuk dan lututnya. Sontak semua orang kembali berpikir dengan tingkah Aileen, apa yang gadis itu inginkan?
“Kaki kamu kan gak bisa jalan, ya aku gendong.”
“Iya Aileen maunya digendong kayak koala!”
Empat manusia yang berada di satu tempat berusaha menahan tawanya masing-masing karena wajah Alven yang bersemu.
Posisi itu terlalu ambigu baginya.
Namun, kalau ini permintaan Aileen ya mau bagaimana lagi.
Bibir Aileen tercengir lebar setelah berada di dalam gendongan Alven. Kedua kakinya melingkar di pinggang pria itu. Kemudian menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Alven yang terbuka, menghirup dalam-dalam aroma tubuh prianya.
“Dimas, gue minta bantuan lo untuk urusi tempat ini. Jangan sampai kebakarannya semakin merambat.”
“Siap, Ven.”
“Yan, gue pinjam mobil. Kalian pake motor gue aja.” Alven langsung berlalu setelah mendapat kunci mobil Keano.
“Woi setan, lo lupain gue? Masa harus boti sama mereka berdua?!” Nathan berteriak tak terima. Memangnya dia cowok apaan harus dempetan naik motor bertiga bersama Radhika dan Keano.
Seseorang menepuk bahunya tegas. “Lo sama gue aja,” ucap Dimas tersenyum.
***
“Tante Andini harus tahu keadaan kamu.”
Kelopak mata Aileen melebar kala mendengar lontaran kalimat Alven. “JANGAN! Jangan, Alven ... jangan biarin Mama tahu. Nanti Aileen dimarahin.”
Lipatan-lipatan kecil timbul di dahi Alven. “Dia harus tahu, biar nanti di rumah ada yang merawat kamu.”
Aileen beralih ke tepi bangsal rumah sakit yang ditempatinya. “Alven tahu apa yang Aileen takutkan kalau lagi sakit?”
Tentu saja si empu menggeleng, karena ia belum tahu-menahu tentang Aileen sampai sejauh ini.
“Aileen takut dimarahin Mama. Dulu saja setiap Aileen sakit entah demam, pusing, flu, pasti bilangnya ke Bi Dina.”
Alven terus menatap dalam bola mata Aileen karena gadis itu terlihat akan melanjutkan ceritanya.
“Tapi sebenarnya, tanpa Aileen bilang pun Bi Dina suka langsung menyadarinya. Beda sama Mama.”
Entah pendengaran Alven yang salah atau bagaimana, namun suara Aileen di kalimat akhir terdengar berbeda. Seperti ... menyimpan kesedihan?
Ah, seharusnya Alven tidak perlu bertanya lagi. Bukannya ia sudah sangat tahu perihal keluarga Aileen?
Tanpa ada dorongan atau suruhan apapun, Alven berinisiatif untuk memeluk tubuh kecil gadisnya. “Aku bisa lihat pancaran mata kamu, Aileen.”
Aileen merasakan sebuah usapan lembut di punggung sempitnya yang ia yakini itu merupakan tangan kekar Alven. Membuatnya semakin merasa nyaman dalam dekapan pria tersebut.
“Kamu ingat aku ini rumah tempat kamu bercerita?”
Aileen mengangguk kecil, membuat Alven justru merasa gemas.
“So, jangan sembunyikan apapun dari aku, ya?”
“You too.”
“Apa yang harus aku tutupi dari kamu, Tuan Putri?” Alven merundukkan kepala, telunjuk besarnya mencubit ujung hidung Aileen yang mungil. Kemudian mengecupnya singkat.
Kejadian tiba-tiba itu berhasil membuat Aileen membeku di tempat. Ia sudah seperti patung, kaku dan tak bisa bergerak. Hangatnya terpaan napas Alven dan lembutnya kecupan pria itu di hidungnya akan terus tercetak jelas di benak Aileen.
“Udah pacarannya!”
“Ini rumah sakit!”
Teriakan Radhika dan Keano saling bersahutan. Maklum saja, mereka dua sejoli yang selalu kompak, apalagi jika soal menjulid.
Mereka jagonya.
“Ganggu saja, kalian,” desis Alven. Merubah posisinya menjauhi Aileen.
“Kalau kita gak masuk, mungkin setan-setan di rumah sakit ini bakal terus bisikin lo. Cepat unboxing Aileen ... cepat unboxing Aileen ....”
Timpukan bantal rumah sakit mendarat tepat di wajah Radhika. Alven melemparnya karena terlalu kesal akan kalimat teman laknatnya itu.
“Diam lo pada, Aileen masih polos! Belum pantas dengar hal plus-plus.”
“Lah, memangnya yang barusan gue ucap itu plus-plus, Than?” Radhika bertanya kepada Nathan, si genius di circle mereka. Sedangkan sang empu hanya terkekeh membalasnya.
“Kalian lagi ngomongin apa? Kok bawa-bawa Aileen?” Aileen yang beberapa menit lalu masih berusaha menormalkan dirinya akibat kecupan singkat dari Alven, akhirnya ikut mengeluarkan suara.
Dengan sigap, Alven menutupi kedua telinga Aileen menggunakan tangannya. “Shtt, sudah. Jangan didengerin, mereka sesat semua.”
Aileen mengerucutkan bibirnya karena merasa kesal.
Alven berdecak saat melihat pemandangan tersebut. “Itu bibirnya ngapain kayak gitu? Mau aku cium, hm?”
“Wuishh!”
Para babu Alven kembali heboh. Mereka memang tim sorak yang luar biasa.
“Run, Aileen, run! Jangan biarkan Alven merampas first kiss lo!”
Kali ini, botol pengharum ruangan yang Alven lempar ke arah Keano. Hhh, gak kebayang kan kalau kena sesakit apa.
“Kalian kalau punya mulut bisa dikontrol sedikit, gak, sih? Jangan terlalu prontal!”
Radhika dan Keano saling bertatapan menyiratkan sesuatu, kemudian tertawa. Sudahlah, mereka memang satu frekuensi.
“Ini nih, contoh orang yang tidak berkaca,” ucap Radhika sok bijak. Tapi memang benar, sih. “Itu lo bilang mau cium-mau cium apa namanya?”
“Iya, Alven nakal!” Aileen berseru kesal. Wajahnya yang baru saja kembali normal kini berubah menjadi merah lagi.
Sontak gelak tawa semua orang terdengar, tidak terkecuali Nathan yang terkenal kalem.
“Denger, Ven, denger. JIAKHAHA!”
“Bangsat, diam lo pada. Aileen, jangan dengerin omongan mereka, sesat!”
“Yang ada lo yang menyesatkan, Ven!”
Sial, ini kenapa jadi Alven yang dinistakan?
Seseorang mulai terlihat dari balik tubuh Radhika dan Keano. Ikut tertawa bersama tiga teman Alven.
“Aileen baru sadar kalau ada Dimas di sini.” Bukan hanya Aileen, sebenarnya Alven pun sama.
Pemilik nama berdeham untuk menghentikan tawa dan berusaha kembali menormalkan suaranya. Dimas sedari tadi memang di sini, hanya saja keberadaannya yang tidak disadari siapapun.
“Iya, tadi dia antar gue.” Nathan yang menjawab.
“Ternyata keputusan gue untuk mundur gak salah. Aileen kelihatan bahagia banget sama lo, Ven,” ujar Dimas. Menatap dalam Alven penuh sirat.
Berbeda dengan orang-orang yang langsung paham dengan ucapan Dimas, otak Aileen masih loading untuk menangkap maksud dari kalimat tersebut.
Salahkan Aileen yang lemot.
Tak ingin terus merasa pusing, gadis itu justru melontarkan kalimat yang cukup mengejutkan.
“Alven.”
“Kenapa, cantik?”
“Lembut banget kalau sama ceweknya, heran,” gerutu Radhika. Masih saja setia meledeki dan menistakan Alven.
Alven tak menghiraukan, ia terus menyelami paras cantik Aileen dengan tatapan kelewat hangat.
“Aileen mau ke rumah Nathan.”
Kalimat tersebut mampu membuat Alven ingin ngamuk seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN Friendzone!
Teen Fiction"Alven! Aileen suka sama Alven!" "Aku gak mau pacaran, Aileen. Kita masih kecil." *** "Kita udah beda SMA. Tunggu aku tiga tahun, ya?" "Emang penantian Aileen selama ini belum cukup, ya?" "Belum. Kita masih harus berjuang agar bisa benar-benar bersa...