“Mau bagaimana pun diri kamu, ini tetap kamu. Kalau kamu sendiri benci, bagaimana dengan orang lain? Siapa yang sayang sama diri kamu kalau gitu?”
“Kenapa gak pernah bilang kalau kamu les?” Alven bertanya saat mereka berada di dekat rumah Aileen. Manik legamnya menghunus tajam retina Aileen, seolah tembus ke ulu hatinya.
“Hari ini pertama kali Aileen les, kok,” jawab Aileen dengan suara yang super kecil.
“Kenapa gak bilang?” desak Alven, ia tak akan menyerah jika belum mendapatkan jawaban yang ia inginkan.
Aileen menghentakkan kakinya kesal. “Aileen juga gak mau! Aileen gak mau les!”
“Aileen sengaja gak ngasih tahu Alven, karena Aileen harapnya bisa sedikit lupa sama semua tekanan kalau lagi sama Alven.”
Aileen berlari, menjauhi Alven yang masih mematung. Pria itu memandang gadisnya sendu, kemudian tanpa aba-aba mengejar Aileen dengan kecepatan dua kali lebih cepat dari sang empu.
Hap!
Alven berhasil menangkap Aileen. Dipeluknya dari belakang tubuh rapuh itu. Satu detik setelahnya, terdengar isakan kecil dari bibir Aileen.
“Hei, jangan nangis,” tenang Alven lembut.
“Alven jangan marah. Aileen takut.”
Alven menghirup aroma tubuh Aileen dalam-dalam. Mencium leher jenjangnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. “Gak ada yang marah sama Aileen. Aku gak pernah bisa marah sama kamu, Tuan Putri.”
Aileen hanya diam dan setia mempertahankan tangisannya. Mencengkeram kuat lengan Alven yang melingkar di pinggangnya untuk menyalurkan emosi.
Jangan dibilang lebay. Aileen menangis karena terlalu lelah dengan segala tuntutan di hidupnya.
“Mau jadi secerdas apa kamu kalau les lagi? Otak kamu udah hampir setara dengan Albert Einstein.” Alven memiringkan wajahnya, menatap paras cantik Aileen dari samping.
Wajah itu, wajah yang selalu ingin dilihatnya setelah kedua orangtuanya. Wajah yang menjadi candu bagi Alven dan tak akan pernah bosan sekalipun.
“Gak usah berlebihan,” balas Aileen. Merasa jika Alven terlalu tinggi memujinya. Kalau dia terbang kan bisa bahaya.
“Jangan bilang gitu, Aileen merasa gak enak.”
“Kenapa, hm?”
Shit, jantung Aileen sudah tak sehat sekarang.
“Aileen ... gak sepintar yang Alven pikir. Jangan berekspektasi tinggi. Aileen yang dulu udah mati, Alven. Aileen sendiri yang membunuhnya. Udah gak ada lagi Aileen yang ambis.”
“Sekarang yang tersisa hanya Aileen yang egois, licik dan ingin menjadi sempurna. Ini bukan Aileen yang dulu.”
Alven memutar badan Aileen hingga menghadapnya. “Kenapa ngomong gitu?” Nada suaranya berubah menjadi tegas.
“Mau bagaimana pun diri kamu, ini tetap kamu. Kalau kamu sendiri benci, gimana orang lain? Siapa yang sayang sama diri kamu kalau gitu?”
Kepala Aileen menunduk, menatap kakinya yang terbalut flatshoes. “Karena Aileen tidak pantas mendapatkan kasih sayang. Termasuk dari Aileen sendiri.” Saat mendongak, Alven sudah melihat lapisan bening yang menghiasi mata cantik Aileen.
Tanpa menunggu lapisan itu runtuh, Alven langsung mencium kedua mata Aileen secara bergantian.
Kelopak mata Aileen tertutup, menikmati sesuat yang kenyal nan lembut mendarat di atasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN Friendzone!
Teen Fiction"Alven! Aileen suka sama Alven!" "Aku gak mau pacaran, Aileen. Kita masih kecil." *** "Kita udah beda SMA. Tunggu aku tiga tahun, ya?" "Emang penantian Aileen selama ini belum cukup, ya?" "Belum. Kita masih harus berjuang agar bisa benar-benar bersa...