|| Chapter 11 ||

21 3 0
                                        

Lega sekali rasanya Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di Starschool telah usai. Aileen, gadis itu tengah fokus memerhatikan penjelasan materi di depan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ia selalu menjadi anak ambis.

Duk!

Insha mengalihkan pandangannya. Kini kepala Aileen sudah terkulai lemas di atas meja. “Kenapa lo? Bukannya tadi semangat banget?”

Aileen mengamati layar ponselnya dengan sendu. Chat yang dikirimnya kemarin sore masih belum di balas oleh Alven.

“Kangen Alven ....” mata polos gadis itu mengerjap dengan perlahan, seperti orang yang sedang mengantuk.

Bola mata Insha berotasi malas. “Berapa hari gak ketemu emang?” tanyanya malas. Walau bagaimanapun, Insha tetap harus menjadi sahabat yang perhatian.

“Dua.”

Detik itu juga buku paket tebal mendarat di kepala Aileen. Buku dengan tebal 3 cm itu mampu membuat kepala Aileen pusing. “Insha ...,” rengeknya dengan suara yang cukup keras.

“Belum juga dua tahun, ah elah!”

“Kenapa ribut-ribut?” tanya Bu Rina, guru matematika yang tengah mengajar. Ia merasa tidak di hargai jika ada murid yang seperti itu.

“Kepala Aileen di pukul pake buku, Bu ... sakit,” jawab Aileen sembari memegangi kepalanya. Seperti anak kecil yang tengah mengadu pada sang Ibu.

Bu Rina hanya menghela napas, kemudian kembali menulis di whiteboard. Jangan kalian pikir Bu Rina merupakan guru matematika yang sangat killer. Tidak, Bu Rina merupakan guru berhati malaikat yang mempunyai kesabaran tanpa batas.

Cuma gak kira-kira aja kalau ngasih tugas. Sama gak ada kata jamkos untuk para siswa dalam kamus hidupnya.

Aileen memegangi perutnya yang terasa perih. Suara cacing-cacing yang demo pun sudah terdengar.

“Sha.”

Insha yang masih menulis deretan angka di papan tulis menggertakkan giginya gemas. “Apalagi sih, bambang?”

“Laperrr. Kantin, yuk?”

Mata Insha membelalak. Anak rajin seperti Aileen mengajaknya bolos? “Hari pertama, gak usah ngadi-ngadi.”

“Iihhh, gue belum makan dari semalem. Lo mau gue pingsan lagi kayak waktu itu?”

“Gak, gak, gak. Ngerepotin!”

“Nah, makanya ayok.” Aileen menegakkan tubuhnya, kemudian memasang ekspresi melas berniat untuk menjalankan aksinya. “Buuu.”

Bu Rina berbalik badan, ia sempat tertegun melihat ekspresi anak muridnya. “Kenapa lagi, Aileen?”

“Aileen mau ke toilet boleh, yaa? Perut Aileen sakit.”

“Yang di pukul kepala, yang sakitnya perut.” meskipun berucap demikian, Bu Rina tetap mengizinkan permintaan Aileen. Ia tak kuasa melihat puppy eyes milik gadis itu.

Mata jernih Aileen memang mampu meluluhkan siapapun.

Aileen menarik tangan Insha, menggandengnya untuk keluar kelas bersama.

Beberapa langkah lagi menuju kantin, seorang kakak kelas menginterupsi langkah mereka.

“Mau kemana kalian?” tanya Pangeran dengan suara beratnya.

“Kant— mmph.”

“Aileen!” bentak Insha membekap mulut sahabatnya. Ia sudah tidak mengerti lagi dengan kepolosan Aileen. “Mau ke toilet, Kak!”

Mata Pangeran memicing menatap keduanya. “Lorong ini cuma buat ke kantin.”

“Oh gitu? Kita pasti nyasar. Maklum, kita kan anak baru, Kak,” alibi Insha beralasan.

Pangeran hanya manggut-manggut, tak berminat untuk mengetahui lebih jauh urusan dua gadis di depannya.

“Lo yang waktu itu gue bawa ke UKS, ya?” Pangeran beralih menghadap Aileen, menunjuk wajah gadis itu dengan jarinya.

“H-hah? UKS?”

“Dua hari yang lalu lo pingsan, kan?”

Baru Aileen paham arah pembicaraan mereka. “Oh ituuu, iya Kak. Jadi Kak Pange yang bawa Aileen ke UKS? Makasih, ya!” ujar Aileen dengan suara riang seperti biasanya.

“Pangeran, bukan Pange.”

“Iya, Kak Pange,” kukuh Aileen. Kalau gadis itu nyaman dengan sesuatu, maka harus tetap seperti itu. Kalau ia lebih enak memanggil Pange, ya jangan ada yang melarangnya.

“Serah,” sahut Pangeran malas. Kepalanya kembali menunduk untuk memeriksa dokumen yang akan di simpan ke rumah guru. Selanjutnya melanjutkan langkah tanpa berpamitan pada dua adik kelasnya.

“Kak Pange! Hati-hati nabrak!”

Pangeran mematung di tempat setelah berbalik badan. Manik legam pria itu terkunci pada satu objek yang tengah melambaikan tangan dan tersenyum riang padanya.

Kini ia mengerti mengapa Alven sangat mencintai seorang Aileen Queenby Aldinata.

Kepolosan dan senyum manis gadis itu mampu membuat jantung lelaki manapun berdebar.

***

Jedug!

Kepala Aileen terantuk jendela angkot, demi apapun rasanya sakit sekali karena benturannya cukup keras. Ingin rasanya Aileen memaki si supir angkot karena rem mendadak.

Tadi di pukul buku sama Insha, sekarang kebentur jendela angkot. Kalau kepintarannya menurun bagaimana?!

Oke, berlebihan.

“Mas, jangan bahayain orang dong! Penumpang saya banyak.”

“Maaf, Pak, saya hanya ingin menjemput calon istri saya.”

Suara itu ....

Kepala Aileen mendongak cepat, ia melihat motor Alven yang menghadang angkot yang di tumpanginya. Sekarang pria itu berjalan ke arah pintu, menatap Aileen yang duduk di ujung dengan hangat.

“A-Alven?”

“Ayo pulang,” ajaknya diiringi senyuman. Aileen ingin mengumpat rasanya, ngapain coba Alven senyum di depan orang lain? Kalau ibu-ibu yang ada di angkot ini naksir gimana?!

“Aileen emang mau pulang.” entah kenapa suara Aileen terdengar sedikit ketus.

“Pulang sama aku maksudnya, cantik.”

Semburat merah menghiasi pipinya. Dengan cepat Aileen menutupinya kala semua orang yang berada di angkot menatap ke arahnya.

“I-iya. Awas, Aileen mau turun! Jangan halangi pintunya!”

“Perlu aku gelar red carpet, gak?”

“A-apaan, sih!”

Aileen turun dari angkot dengan tergesa, selanjutnya menunduk dalam setelah berhadapan dengan Alven.

Sedikit senang karena rasa rindunya sudah terobati.

“Mas, gak bisa gitu, dong! Itu kan penumpang saya!”

Alven merogoh saku celana abu-abunya, kemudian menyodorkan uang 50 ribu.

Aileen memukul lengan pria itu. “Kebanyakan, Alven.”

“Gak papa, tadi aku hampir celakain mereka,” balasnya, kemudian kembali mengalihkan atensi pada supir angkot. “Ini, Pak, makasih udah jagain calon istri saya.”

Tolong, apakah Alven tak memikirkan kesehatan jantung Aileen?

“Sama-sama, makasih juga. Itu singkirin motornya dong, saya mau lewat.”

“Ke tengah aja, Pak. Saya mau pacaran dulu.”

***

BUKAN Friendzone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang