"Apakah penghuni rumah ini hanyalah aku, sehingga aku yang dijadikan kambing hitam?" —Aileen Queenby Aldinata
"RADHIKA, KEAN, BALIKIN! KITA MAU LATIHAN CHEERS!”
“Gue pinjam sebentar yaelah, Cha, Vi.”
“GAK ADA, GAK ADA! KALAU KALIAN YANG PINJAM, NANTI GAK AKAN BALIK LAGI KE TANGAN KITA!”
Siang itu kelas X IPS II tengah gaduh dan penuh keributan. Apalagi Radhika, Keano, Echa dan Silvia yang sedang kejar-kejaran mengelilingi kelas memperebutkan pompom cheers yang sengaja diambil Radhika dan Keano. Mereka berdua memang hobi sekali memainkan properti anak-anak cheerleader, entah karena apa.
Jika menyemangati Alven dan Nathan yang sedang bertanding futsal pun pasti menggunakan pompom. Aneh memang, kekanakan sekali.
“Balikin Dhik, Yan, kasihan mereka. Hari ini jadwal latihan cheerleader,” suara Nathan dingin, jengah dengan segala keramaian di sekelilingnya.
“Lagian aneh banget suka mainin pompom. Mau ikut cheerleader kalian?” sambung Nathan lagi karena kalimatnya yang pertama diacuhkan oleh dua temannya.
“Asik tahu, Than, mainin yang kayak gini,” sahut Radhika akhirnya seraya memainkan pompom di tangannya ke udara. Ekspresi wajahnya seperti meledek Echa dan Silvia.
“Sinting,” decak Nathan kesal.
Nathan sudah malas mengurusi mereka lagi. Mentalnya breakdown jika terus-terusan menghadapi berbagai tingkah absurd Radhika dan Keano.
Sementara Alven, sedari pagi pria itu terus diam. Ia terlihat tengah memikirkan sesuatu hingga tak fokus saat melakukan apapun.
Karena bel pulang sudah berbunyi, Alven memutuskan untuk ke luar kelas. Tas hitamnya ia sampirkan di bahu kanan, kemudian melenggang pergi. Auranya yang dingin justru membuat para gadis ketar-ketir karena pesona Alven.
“Loh, Ven, mau ke mana?” akhirnya saat melihat Alven yang bersiap pergi, Keano berhenti sejenak dari aktivitasnya.
“Alven capek punya temen kayak kalian, dia mau nyerah aja katanya. Titipin kalian ke panti jompo keren kayaknya,” celetuk Nathan asal saking terlalu kesal pada Radhika dan Keano. Selanjutnya mengikuti langkah Alven yang sudah cukup jauh di depan.
“Heh, sembarangan lo kalau ngomong!” teriak Radhika tak terima. Ia melempar pompom milik Echa ke sembarang arah, membuat si pemilik semakin murka.
“MUSNAH AJA LO BERDUA!”
Memang di kelas X IPS II ini hanya Radhika dan Keano yang memiliki hobi paling aneh, yaitu memainkan pompong cheers.
“Kalau kita berdua musnah, kelas ini bakalan sepi, Cha!” teriak Keano balik, sembari berlari ke arah kursinya untuk mengambil tas.
“Yang ada kelas ini damai! Sana mati beneran aja!”
“Buset, Vi, mulut lo tajem bener.” Radhika bergidik ngeri dengan suruhan Silvia. Psiko, woi!
Radhika dan Keano segera ngibrit ke luar kelas, menyambar tas sekolahnya asal kemudian menyusul dua sahabatnya yang sudah tertinggal jauh di depan.
Tiga remaja itu kebingungan, bukannya pulang Alven justru berbalik arah ke taman belakang sekolah.
Nathan, Radhika dan Keano berhenti sejenak. Terdiam membeku ketika sahabat mereka menemui Revan.
Alven melempar tasnya ke arah Radhika yang langsung ditangkap dengan sigap oleh sang empu. Mengeraskan rahang dan semakin menegakkan tubuhnya, kemudian kembali berjalan mendekati Revan bersama antek-anteknya.
“Akhirnya datang juga lo, Ven,” ujar Revan. Tangan kanannya bersender ke bahu salah satu temannya.
“Apa mau lo?” tanya Alven to the point, tak ingin basa-basi.
“Gabung sama kita,” jawab Revan tak kalah enteng. Tatapannya meremehkan Alven yang terlihat sangat sok di matanya
“Gak.”
“Gue bisa lakuin hal yang lebih parah sama Aileen.”
Satu nama itu. Satu nama yang selalu melemahkan Alven. Pengaruh Aileen dalam hidup Alven itu ada dua, kelemahan dan kekuatan.
Setiap orang yang ingin menjatuhkannya, pasti akan menyangkut pautkan Aileen sebagai pancingan. Memang dasar pengecut, tak ada yang gentle satupun.
Alven memukul tembok yang ada di sampingnya. Menyalurkan emosi yang mati-matian harus ia tahan di depan bajingan seperti Revan.
“Sebenarnya apa motif lo pengen gue gabung sama kalian?” tanya Alven akhirnya, masih mencoba mempertahankan kesabaran walaupun terasa sulit.
“Karena lo anak pemilik yayasan.”
Alven tertawa garing. “Itu doang? Terus kalau gue anak dari pemilik yayasan?”
“Kita bisa aman.”
Satu sudut bibir Alven terangkat membentuk sebuah senyuman smirk. “Aman? Itu yang lo kira kalau gue ada di tengah-tengah kalian? Gak usah berharap lebih, deh, gue pun gak tahu bakal aman atau nggak kalau gabung geng-geng bajingan kayak gini!”
Revan membuang napas jengah, kemudian semakin mendekati Alven.
“Gini, deh, kita bikin simbiosis mutualisme.”
Alven mengangkat sebelah alisnya, menunggu Revan melanjutkan kalimatnya.
“Lo gabung sama kita. Balasannya, gue gak akan pernah ganggu Aileen dan kalian bebas pacaran.”
Alven bersedekap dada. “Maksud lo, anak Starschool sama Rajasakti boleh pacaran asal mereka anggota salah satu perwakilan sekolah, gitu? Cih, gak adil banget!”
“Gak usah banyak bacot. Lo gak mau Aileen kembali celaka, kan?” ancam Revan. Ia menekankan setiap kata-katanya.
“Hhh, fine. Terserah!” Alven berteriak frustasi. Selanjutnya bergegas pergi tanpa memedulikan tuntutan penjelasan dari teman-temannya.
***
“ADEK!”
Hampir saja gelas susu yang ada di tangan Aileen jatuh saking terkejutnya. Tak biasanya Alan berteriak memanggilnya seperti ini, apalagi nadanya terdengar tersirat amarah.
“Kenapa, Pa? Aileen di dapur, gak teriak pun pasti kedengaran,” sahut Aileen tak kalah kencang. Ia sebal jika sudah dikejutkan seperti ini, moodnya pasti langsung turun.
“Sini, kamu!”
Dengan perasaan tak enak Aileen menuju ruang keluarga tempat Alan dan Andini menunggunya. Sebentar, apakah ia akan disidang?
“Kenapa, Pa?” tanya Aileen. Terlebih dahulu meneguk susu buatannya dan menyimpannya di atas meja.
“Jangan belanja online terus-menerus.”
Kening Aileen berkerut tajam, tak mengerti ke mana arah pembicaraan Ayahnya. “Kapan?”
“Tadi sore, kata Mamamu.”
“Aileen bukan belanja, cuma beli novel,” jawabnya berusaha membela diri.
“Novel, novel, novel! Apa itu penting?”
Aileen menundukkan kepalanya dalam. Jika Andini yang marah, ia masih memiliki keberanian untuk melawan. Namun jika Alan, menatap matanya saja sudah tak berani.
“Kamu tahu ekonomi keluarga kita sedang sulit?”
Kali ini Aileen mencoba untuk menegakkan kepalanya. Ia melirik Andini yang tengah menunduk sendu. Ia tersenyum, ternyata akting Ibunya cukup bagus.
“Untuk sementara ini berhenti dulu, Dek. Ngerti, kan?”
“Ngerti, Pa,” cicit Aileen pelan.
“Ya sudah, sana tidur, sudah malam. Habiskan dulu susunya.
“Padahal Aileen nabung untuk beli novelnya biar gak minta uang ke Mama. Tapi kenapa Aileen dijadikan kambing hitam?” gumam Aileen pelan, di sela-sela perjalanannya menuju kamar.

KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN Friendzone!
Teen Fiction"Alven! Aileen suka sama Alven!" "Aku gak mau pacaran, Aileen. Kita masih kecil." *** "Kita udah beda SMA. Tunggu aku tiga tahun, ya?" "Emang penantian Aileen selama ini belum cukup, ya?" "Belum. Kita masih harus berjuang agar bisa benar-benar bersa...