"Kegiatanku hanya belajar, belajar dan belajar. Aileen capek!"
"Aileen, pulang."
Raut Aileen berubah murung saat mendengar suara Mamanya dari seberang. "Ma, sebentar lagi boleh gak? Aileen lagi di rumah sakit."
"Kamu kenapa, sayang? Sakit? Kenapa gak bilang sama kami, nak?"
Bolehkah Aileen merasa senang mendengar nada khawatir dari Mamanya? Sungguh, hati Aileen menghangat. Untuk kali ini ia merasa dipedulikan dan diperhatikan.
"Bukan Aileen, Ma. Tapi Alven,” riangnya.
Bisa terdengar jelas helaan napas berat dari mulut Andini. "Pulang."
"Ma—"
"Gak papa, Aileen, pulang aja."
Aileen menoleh ke arah Shinta yang mengeluarkan suara. Wanita itu samar mendengar perbincangannya.
Aileen memandang Alven sendu, tatapan tidak enak. Ia sama sekali tak ingin meninggalkan Alven, kalau bisa ia ingin di sini sampai Alven sembuh dan pulang ke rumah.
"Iya, Aileen pulang," pasrahnya pada Andini, kemudian memutuskan sambungan sepihak.
“Padahal Aileen masih mau nemenin Alven.” Selanjutnya gadis itu mendesah pelan.
“Pulang aja, Leen, udah mau malem. Gue bawa mobil, mau bareng?” tawar Fidelya.
“Gak. Than, anterin Aileen.”
Bukan Aileen yang bersuara, namun sang pria.
Nathan menunjuk dirinya sendiri ragu-ragu dengan raut kebingungan. Mengapa ia jadi diperintah. “Gue, Ven?”
Nathan paling benci diperintah dan disuruh-suruh, camkan itu. Lah sekarang modelan Alven? Cuma gara-gara Aileen?
Please.
“Iya. Cuma lo yang gue percaya buat jagain Aileen.”
Sialan. Nathan merasa seperti kalau ia diberikan tanggung jawab yang begitu besar. Keselamatan Aileen ada di tangannya.
“YEUUU PROTECTIVE!”
Alven mendelik saat semua orang yang ada di ruangan itu meneriakinya secara serempak. “Biarin. Tandanya sayang,” acuhnya.
“Aileen maunya sama Alven.”
Alven mengulas senyum tipis mendengarnya. Bibir Aileen yang mencebik membuatnya ingin menguyel pipi tembam gadis itu. “Sini.” Alven melambaikan tangannya.
Aileen mendekat dengan gerakan lesu, tubuhnya bergerak seperti tak ada tulangnya.
Alven meraih pergelangan lentik Aileen, mendudukkan gadis itu di sampingnya. “Kata dokter, aku udah gak papa. Setelah kamu pulang kayaknya aku bakal pulang juga.”
“Yaudah, ayo bareng pulangnya!” rengek Aileen.
Tangan Alven terangkat untuk menepuk pelan pucuk kepala Aileen. “Gak bisa. Nanti kalau kamu semakin dimarahi sama Mama gimana?”
***
Tok! Tok! Tok!
“Mama boleh masuk?”
“Iya, Ma.”
Pintu kayu berwarna coklat yang menjadi media keluar-masuk kamarnya terbuka, menampilkan Andini dengan segelas susu di nampan yang dibawanya.
“Wah, susu!” riang Aileen saat melihat minuman berwarna putih itu.
Percayalah, tak ada minuman yang paling nikmat selain susu putih hangat.
Andini tersenyum, duduk di samping putrinya. Terkadang Aileen suka bingung sendiri, mengapa sikap Mamanya sering berubah-ubah dalam waktu yang cepat?
“Gimana sekolah kamu?” Andini bertanya sambil mengelus lembut sudah halus putrinya.
Sebentar, perasaan Aileen jadi tidak enak.
Kegiatan Aileen yang sedang meneguk gelas susu itu terjeda. “Saingannya berat, Ma. Temen-temen Adek pada ambis semua.”
Andini kembali tersenyum penuh arti, yang justru tak bisa dideskripsikan oleh Aileen. “Kalau gitu, mulai besok setelah pulang sekolah Adek les ya?”
Prang!
Gelas di tangan Aileen yang masih menyisakan seperempat susu itu jatuh dan pecah begitu saja. Tatapan matanya kosong menerawang ke depan.
“Dek, apa-apaan kamu?!” Andini berjengit dan berteriak murka. Matanya menatap nyalang ke arah Aileen.
“Adek gak mau les, Ma.”
“Ngomong sekali lagi!” tangan kanan Andini terangkat, bersiap menampar pipi Aileen.
Wajah Aileen semakin menunduk, takut Andini benar-benar menamparnya. “Adek gak mau les! Adek udah capek belajar di rumah, Ma!”
“Gak ada kata capek dalam menuntut ilmu, Aileen!”
Aileen ikut bangkit, memberanikan diri berhadapan dengan Mamanya. “I know. Tapi Mama gak tahu apa yang Adek rasain! Dari kecil sampai sekarang, Adek gak pernah punya waktu untuk main selain sama Abang. Kegiatan Adek cuma belajar, belajar dan belajar! Lama-lama Adek juga bisa stress, Ma!”
“Kalau kamu malas belajar sekarang, siap-siap untuk melawan kerasnya kebodohan suatu hari,” desis Andini dengan suara yang lemah.
“Sekarang Mama tanya.” Andini melipat kedua tangannya di depan dada, bersedekap. “Kamu mau kalau nanti gak dapat peringkat 1 di kelas? Kamu mau kalau nanti gak dapat juara umum di sekolah?”
Refleks, Aileen menggeleng. Karena tuntutan Mamanya, Aileen benar-benar selalu mendapatkan peringkat 1 dari SD sampai sekarang.
Karena ambisi Mamanya juga, Aileen menjadi orang yang sama sekali tak ingin terkalahkan.
Iya, kalian boleh salahkan kalau Aileen egois.
“Kalau gitu, ikuti kata-kata Mama. Kalau peringkatmu turun, kamu sendiri yang akan nangis-nangis. Bukan Mama.”
Tapi Mama marah-marah.
“Tatap mata lawan bicara kamu, Aileen. Gunakan sopan santun kamu.”
Aileen menurut, ia menatap manik Mamanya yang sama persis dengan miliknya. Membuat Andini tersenyum penuh kemenangan.
“Bagus. Jadi kamu mau les?”
Walaupun ragu-ragu, Aileen tetap mengangguk.
“Oke. Mama akan hubungi teman Mama, besok sepulang sekolah kamu langsung pulang.”
“Setidaknya, kamu harus membanggakan Mama dengan prestasi-prestasi kamu. Sadar diri, Aileen,” akhir Andini di ambang pintu tanpa menoleh dan membalikkan badannya.
Aileen meraung kencang setelah Andini keluar dari kamarnya. Menangis sejadi-jadinya, meredam suara isakan dengan bantal agar tak terdengar siapapun.
Juga berpikir keras apa maksud kalimat sadar diri yang dilontarkan sang Mama barusan.
“Aileen capek!”
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN Friendzone!
Teen Fiction"Alven! Aileen suka sama Alven!" "Aku gak mau pacaran, Aileen. Kita masih kecil." *** "Kita udah beda SMA. Tunggu aku tiga tahun, ya?" "Emang penantian Aileen selama ini belum cukup, ya?" "Belum. Kita masih harus berjuang agar bisa benar-benar bersa...