“Aileen, awas!”
Jreb!
“Akh!”
Zat cair kental berwarna merah pekat mengalir dari telapak tangan kekar Alven yang kini sudah gemetar hebat. Pisau yang tadi dilemparkan ke arah Aileen itu kini menancap tepat di telapak tangan Alven.
Semua orang yang mendengar teriakan Alven langsung mengalihkan pandangannya. Mereka sama-sana terkejut kala melihat darah berceceran di baju futsal Alven dan juga lantai keramik yang putih.
Nathan berlari, sama-sama mengabaikan pertandingan seperti yang dilakukan Alven tadi.
“Alven ....” Alven yang kesakitan, Aileen tang menangis. Gadis itu sedang menggigiti kukunya sendiri berupaya untuk menahan isakannya agar tidak semakin kencang.
Nathan mendekat pada orang yang mengerumuni Alven, siapa lagi jika bukan teman-temannya. Dengan sangat hati-hati dan telaten, Nathan mencabut pisau itu hingga darah yang asalnya sedikit tersumbat mengalir semakin deras.
“Alven!” Aileen kembali memekik. Dirasakannya ada seseorang yang mengusap lembut bahunya, berniat menenangkan. Insha, pandangannya tidak lepas dari tangan Alven.
“Kita ke rumah sakit, Ven,” usul Nathan. Wajah dingin itu kini terlihat khawatir.
“Gak perlu,” balas Alven parau. Suaranya terdengar bergetar karena menahan sakit.
“Alven! Ada apa ini?!” Pak Adi, guru olahraga sekaligus pelatih eskul futsal SMA Rajasakti berlari dengan langkah yang tergopoh-gopoh.
“Astaghfirullah, siapa yang membawa senjata tajam ke sekolah? Ini sudah tindakan kriminal!”
Alven diam. Ia sudah melihat siluet sang pelaku dan jelas mengenalinya. Diam-diam, rahangnya mengeras menahan amarah.
“Nathan, cepat antar teman kamu ke rumah sakit.”
“Gak perlu, Pak. Alven gak papa.”
“Gak papa gimana? Itu parah, Alven!” pecah sudah tangis Aileen. Ia histeris dalam pelukan Insha dan Fidelya.
“Benar. Tangan kamu harus segera di obati.”
“Alven ngerti, Pak, tapi Alven harus menyelesaikan pertandingan dulu. Setelah selesai, Alven langsung ke rumah sakit.”
“Benar kamu?” tanya Pak Adi tidak yakin. Ia juga ngilu sendiri melihat luka Alven. “Yasudah, tapi obati ke UKS dulu. Takutnya nanti infeksi,” sambung Pak Adi. Alven merupakan anak pemilik yayasan Rajasakti, ia tak bisa menolak permintaannya.***
Aileen menahan lengan Alven saat pria itu akan kembali ke lapangan untuk meneruskan pertandingan. Wajahnya sudah sembab akibat terlalu banyak menangis.
“Jangan, Alven. Jangan tanding lagi."
Alven tersenyum hangat ke arah gadisnya. Tangan kirinya yang tidak terluka terulur untuk mengelus pipi halus Aileen. “Aku gak papa. Percaya sama aku.”
Isakan-isakan kecil kembali terdengar, kepala Aileen menggeleng samar.
Alven mengikis jarak, membawa Aileen ke dalam dekapannya. Tak peduli semua perhatian orang tertuju pada mereka. “Tenang aja. Jangan nangis, nanti aku gak fokus.”
“Aileen mau nangis aja. Biar Alven gak usah tanding lagi!”
“Jangan gitu dong. Lihat, tangan aku udah di perban.”
Aileen tak punya pilihan lain selain menurut. Ia berjalan ke bangku panjang dimana Insha dan Fidelya berada, dengan pandangan yang sama sekali tak lepas dari prianya.
Manik tajam Alven sudah kembali. Ia menatap sekitarnya dengan tatapan elang andalannya. Berjalan mendekat ke arah Radhika dan Keano yang sama-sama menatapnya.
“Jaga Aileen, lebih waspada. Jangan sampai lengah kayak tadi.”
Radhika dan Keano mengangguk tegas. Untuk kali ini mereka vakum dulu menjadi pelawak.
“Iya, Ven, hati-hati. Good luck.” Keano menepuk bahu sahabatnya beberapa kali.
“Sampai kejadian tadi terulang, gue bunuh kalian,” ancamnya, kemudian berlari ke tengah lapang menyusul teman-teman se-tim nya.
“Salut gue sama si Alven. Lagi kesakitan masih aja maksain tanding. Bener-bener gak lepas tanggung jawab,” decak Radhika kagum.
“Yaiyalah, Alven kan gak letoy kayak lo.”
“Yeu, sialan lu Keong!”
“Eh, tapi waktu pertandingan antar kelas dia pergi gitu aja. Langsung kabur ke Starschool.”
“Soalnya Aileen prioritas dia,” sahut Keano malas. Ia sudah mabuk dengan segala kebucinan Alven Aileen.
“Udah ayo, kita jagain Ibu Negara sesuai perintah Pak Ketu.” Keano melengos, berjalan mendahului Radhika.
“Lebih tepatnya Tuan Putri,” koreksi Radhika.
“Gak ada yang boleh panggil Aileen Tuan Putri selain Alven.” Keano berkata sembari menenggelamkan tangannya di kedua saku celana abu-abunya. “Jadi, yaudah Ibu Negara aja.”
Di tengah lapang, Pangeran tersenyum miring saat berhadapan dengan Alven. Kebetulan ia juga menjadi kapten futsal dari sekolahnya. “Masih kuat tanding juga ya lo.”
“Bacot. Yang luka tangan gue, bukan kaki gue. Minggir, hari ini sekolah lo gue babat habis.”
“Sekolah cewek lo kalau lo lupa. Dia pasti sedih kalau sekolahnya kalah,” sarkas Pangeran. Bibirnya tersenyum penuh kemenangan.
“Sayangnya, dia dukung gue sepenuhnya.”
Pertandingan sengit dimulai setelah tadi break sebentar untuk menunggu Alven yang diobati. Ekspresi tegang sudah terpancar dari para siswa, mengingat skor dua sekolah yang seri di detik-detik terakhir.
Radhika dan Keano benar-benar menjaga Aileen lebih ketat sesuai instruksi Alven. Mereka berdua berada di sisi kanan dan kiri Insha dan Fidelya dengan Aileen yang berada di tengah-tengah.
Aileen masih terlihat menahan tangis. Khawatir, takut dan tegang berbaur menjadi satu.
Alven menangkap bola yang di oper Nathan. Ia mengambil ancang-ancang untuk menendang bola tersebut, matanya fokus pada satu titik. Setelah yakin, Alven menendang bola itu dengan kekuatan penuh.
Prit!
Suara peluit terdengar, menandakan bahwa Alven berhasil memasukkan bolanya ke dalam gawang lawan.
“Yes, Gol! AKU MENANG, AILEEN!”
Alven kegirangan, melompat sambil meninju angin saking senangnya. Ia balas tos ala pria ke arah Nathan menggunakan tangan kirinya yang tidak terluka.
Bruk!
Punggung Alven ditubruk seseorang. Tidak, lebih tepatnya di peluk dari belakang dengan gerakan yang sangat kencang. Sampai tubuhnya hampir terhuyung jika saja ia tidak mempertahankan keseimbangan.
“Aku menang, Aileen,” bisik Alven dengan suara beratnya. Tangannya mengusap lembut punggung tangan Aileen yang melingkar di perutnya.
“Iya, Alven memang hebat.”
Siswa Starschool maupun Rajasakti, sama-sama menahan kesal mereka karena ternyata Alven sudah memiliki pasangan. Padahal tadinya mau di gebet.
“Aileen, aku gerah. Buka baju boleh ya?” tanya Alven sedikit menoleh, membuat Aileen bisa dengan jelas melihat sebagian paras sempurna Alven dari samping.
“Bilang aja mau tebar pesona! Tampol, nih!” sentaknya marah.
Insha bersedekap dada, memerhatikan intens pasangan yang sedang berpelukan mesra di tengah lapangan itu. “Lo gak tahu apa akibatnya kalau kalian ngebucin di depan kita semua, Aileen. Membahayakan diri sendiri.”
Pangeran mendekat, berdiri di antara Aileen dan Alven. “Sekolah kita kalah, Aileen.”

KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN Friendzone!
Novela Juvenil"Alven! Aileen suka sama Alven!" "Aku gak mau pacaran, Aileen. Kita masih kecil." *** "Kita udah beda SMA. Tunggu aku tiga tahun, ya?" "Emang penantian Aileen selama ini belum cukup, ya?" "Belum. Kita masih harus berjuang agar bisa benar-benar bersa...