|| Chapter 30 ||

14 2 1
                                    

“Tidak ada pekerjaan yang menyenangkan, semua itu melelahkan. Namun kalau kita kerja dalam bidang yang kita sukai, itu semua tidak akan terlalu melelahkan. Ibarat seperti kita melakukan hobi tapi dibayar, gitu saja.” —Aleo Kingby Aldinata

“Aileen mau ke rumah Nathan.”

“Mampus, cewek lo mau selingkuh, Ven!” Keano mulai memanas-manasi.

Hhh, sepertinya pendingin ruangan di kamar rawat ini mati. Alven mulai merasakan hawa panas di tubuhnya.

“Mau ngapain?” tanya Alven sedikit sinis.

Aileen menggenggam tangan Alven yang dua kali lipat jauh lebih besar dari miliknya karena melihat raut wajahnya. “Mau pulihin tenaga Aileen, Alven. Nanti sore Aileen mau pulang.”

“Tapi kenapa harus rumah Nathan? Kenapa gak rumah aku aja?”

“Di rumah Alven ada Ibu. Aileen malas ditanya-tanya.”

“Memangnya kalau di rumah Nathan gak akan ditanya-tanya gitu?”

“Orangtua Nathan kan gak ada, mereka sibuk kerja. Jadi Aileen gak akan ditanya-tanya karena di sana gak ada siapapun selain pembantu.”

Dark. Kini Nathan yang merasakan hawa panas. Ia memang cukup sensitif dengan topik keluarga apalagi orangtua.

Tak enak pada sahabatnya, Alven segera menegur sang gadis. “Aileen, jangan gitu ngomongnya.”

“Eh?” Aileen mulai kebingungan. Detik kemudian ia baru menyadari air muka Nathan yang terlihat ... sebenarnya tidak bisa diartikan. “Maaf, Nathan, Aileen lupa ... Aileen gak bermaksud.”

Nathan berusaha untuk memaksakan senyumnya. “Santai.”

Namun dalam hatinya pria itu menyimpan luka yang teramat dalam. Saat Aileen mengatakannya, luka yang belum kering tersebut seolah dibuka paksa.

***


“Barusan diantar siapa?” Andini bertanya saat Aileen sudah memasuki rumah. Ia mendengar suara motor.
“Dimas,” jawab Aileen jujur. Ia sengaja melarang Alven untuk mengantarnya pulang, karena pasti akan ditanya-tanya oleh Andini.

Andini tidak mengetahui siapa Dimas karena merupakan tema baru Aileen di Starschool, maka dari itu ia hanya mengiyakan dan tidak bertanya lebih lanjut lagi.

“Kenapa pulang sore?”

Berbeda dari sebelumnya, kini ekspresi Aileen berubah ceria. “Mama tahu, gak? Adek dipilih jadi perwakilan sekolah untuk ikut Olimpiade Biologi Nasional! Makanya pulang sore, tadi ada bimbingan dulu.”

Dan boom!

Seperti keajaiban, Andini pun ikut terlihat senang. “Kamu serius?”

Aileen mengangguk mantap.

“Bagus, kamu harus melakukan yang terbaik, sayang.”

Hati Aileen bisa menghangat hanya dengan satu kalimat itu. Andini sangat jarang mengatakannya, kecuali kepada Aleo.

“Jadi tidak salah, kan, Mama suruh kamu les? Kamu harus belajar lebih keras lagi.”

Sekali lagi Aileen mengangguk. “Pasti! Pasti, Ma! Adek gak akan kecewain Mama lagi.”

“Tidak akan. Dari SMP kamu selalu meraih juara dalam bidang sains.”

Kalau ini mimpi, Aileen tidak ingin bangun selamanya. Sikap Andini benar-benar lembut kepadanya.


***


“Sini, tidur bareng gue.”

Aleo berdiri di ambang pintu kamar adiknya sembari bersedekap dada. Aileen yang masih sibuk membersihkan kasurnya agar bisa tertidur dengan nyaman pun terhenti, kemudian membalikkan badan ke belakang.

“Hah? Gimana, Bang?”

“Dulu kan lo pernah minta untuk tidur bareng gue. Sebagai ucapan selamat karena terpilih jadi perwakilan sekolah, gue kabulin permintaan itu.”

“Loh, Abang tahu?”

“Gue selalu tahu apapun.”

Aileen cengengesan di tempatnya. “Oh iya, lupa kalau Abang Aileen kan cenayang, HAHAHA.”

Aleo segera membekap mulut Aileen yang terbuka lebar saat jarak mereka sudah dekat. Serius deh, ketawanya gak main-main.

“Lo itu cewek, jangan terbahak-bahak kalau ketawa.”

Aileen menurut dan mengatupkan mulutnya sesegera mungkin. Ia takut Aleo berubah pikiran, dan tidak jadi mengajaknya tidur bersama.

Dua bersaudara itu berjalan beriringan menuju kamar Aleo. Dengan sang adik yang dirangkul Kakaknya. Benar-benar momen yang sangat langka bagi Aileen.

“Sudah malam, langsung tidur saja,” ujar Aleo. Ia melihat kantung mata Aileen yang menandakan kalau gadis itu sangat kelelahan.

Aileen berbaring di samping tubuh Aleo, memeluknya erat dan menenggelamkan kepala di dada bidangnya. Tak ingin membuat adiknya kecewa, Aleo pun membalas pelukan tersebut.

Ah, sepertinya Aileen tak butuh selimut. Tubuh Aleo benar-benar terasa hangat.

“Kerja Abang gimana?”

“Gimana apanya?” Aleo balik bertanya.

“Menyenangkan, kah? Atau gimana?”

Aleo terkekeh singkat. “Gak ada pekerjaan yang menyenangkan. Semua itu melelahkan. Tapi kalau kita kerja dalam bidang yang kita sukai, itu semua gak akan terlalu melelahkan. Ibarat kayak kita melakukan hobi tapi dibayar, gitu saja.”

Aileen hanya manggut-manggut, kemudian hening seketika sebelum gadis itu mengeluarkan suara lagi.

“Abang mau tahu, nggak?”

“Gak,” balas Aleo cuek. Matanya sudah lima watt, eh Aileen tiba-tiba bertanya.

Ish!” Aileen mencubit pinggang Aleo hingga sang empu meraung kesakitan. Namun tertawa setelahnya.

“Iya, iya, apa?”

“Adek selalu merasa aman kalau sama Abang. Karena Adek tahu, Mama gak akan pernah marahin Abang.”

Aleo terlebih dahulu mengusap rambut Aileen sebelum menjawabnya. “Gue selalu ingin bisa jadi Abang yang melindungi Adiknya. Tapi ... gak mampu, Dek. Gue gak becus dalam melakukan apapun, apalagi menjaga lo.”

Sayang, saat Aleo mengatakan kalimat panjang lebar yang menunjukkan kasih sayangnya tersebut, Aileen sudah terlebih dahulu pergi ke alam mimpinya.

BUKAN Friendzone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang