"Apapun kejadiannya, baik atau buruk, menyenangkan atau menyedihkan, semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Sekalipun ada orang yang bersalah, itu sudah ditetapkan dari jauh-jauh hari.” —Shinta Nerithone
“Ibu ... Aileen takut.”
Aileen berhambur ke dalam pelukan Shinta, Ibu Alven. Lagi dan lagi, entah untuk yang ke berapa kalinya Aileen menangis.
Shinta mengusap naik turun punggung sempit Aileen dengan lembut. Dirinya pun tak kalah khawatir dengan Aileen, namun jika ikutan panik dan kalang kabut seperti calon menantunya maka akan semakin memperburuk keadaan.
“Alven gak papa kan, Bu? Tangannya dijahit, kasihannn.” Aileen meraung-raung dan merengek seperti anak TK.
“Leen, ini rumah sakit,” peringat Insha. Gendang telinganya seakan ingin pecah mendengar tangisan menggelegar Aileen yang tak ada unsur merdunya sama sekali.
“Kalau aja waktu itu Aileen dengerin ucapan Alven buat gak usah masuk sekolah, gak akan kayak gini.”
“Nggak, ini bukan salah Aileen, sayang. Apapun kejadiannya, baik atau buruk, menyenangkan atau menyedihkan, semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Sekalipun ada orang yang bersalah, itu sudah ditetapkan dari jauh-jauh hari.”
Aileen mengusap ingus yang keluar dari hidungnya menggunakan telunjuk. Mata cantik yang masih basah itu menatap Shinta lamat, kemudian mengerjap pelan seperti orang yang mengantuk.
“Jadi Alven emang harus celaka karena Aileen ya? Dia nolongin Aileen, Aileen yang ceroboh.”
Shinta kembali menggeleng dengan senyuman keibuannya. Senyum yang mampu menghangatkan buah hati siapapun yang melihatnya. Paras keibuan, senyuman hangat, suara yang lembut, sikap yang bijaksana dan penyayang membuat Shinta menjadi kandidat ibu idaman bagi semua orang.
“Bukan. Coba kalau kita balik posisinya, Alven yang dijadiin sasaran. Terus Aileen ngelihat itu, apa yang bakal Aileen lakuin? Pasti nolongin Alven, kan? Sekalipun Aileen sendiri yang terluka.”
Aileen mengangguk samar mendengar kalimat Shinta. Entah kenapa kata demi kata yang keluar dari bibir tipis wanita setengah baya tersebut selalu menenangkan.
“Gih, masuk. Alven udah selesai ditanganin,” suruh Fidelya pelan. Ia mendekat dan menyela perbincangan antara seorang Ibu dengan calon menantunya itu. Asik, calon menantu!
“Aileen boleh masuk duluan, Bu?”
Shinta mengangguk pelan. “Alven lebih senang kalau kamu yang ke sana.”
“Yaudah, Aileen masuk. Dadah semua,” ujar Aileen melambaikan tangan mungilnya. Ingus dan air mata di wajah cantik gadis itu belum kering sepenuhnya.
“Dadah, Gemoy!” balas Radhika semangat. “Heran gue, kenapa bisa ada orang segemesin Aileen. Kayak bukan anak SMA dia, tuh!” serunya kala melihat Aileen masuk ke dalam ruangan Alven dengan langkah yang benar-benar seperti anak kecil.
“Pantes ya Alven cinta mati, orang limited edition gitu.” Keano menimpali.
“Alvennn,” cicit Aileen, berlari ke arah ranjang rumah sakit yang di tempati Alven. “Maafin Aileen.”
“Hei, kenapa minta maaf?” tanya Alven, mengelus lembut pipi gadisnya yang masih basah.
“Alven kayak gini gara-gara Aileen. Kalau waktu itu Aileen nurut sama Alven, semuanya gak akan kayak gini.”
Alven mengukir senyum tipis. Ia tidak masalah jika harus mati sekalipun, kalau itu untuk Aileen. “Sini peluk. Cantiknya Alven jangan nangis.”
Karena tubuh Aileen yang mungil, ranjang tersebut bisa menampungnya hingga kini duduk tepat di samping Alven, memeluk pria nya erat.
“Sakit, gak?” Aileen menusuk-nusuk pelan perban yang membalut telapak tangan kanan Alven.
“Nggak. Cuma sedikit aja.”
Aileen semakin melingkarkan kedua tangannya di pinggang Alven. Menenggelamkan kepala, mencari posisi paling nyaman di dada bidang Alven.
Mungkin terlihat sedikit lebay, tapi ia benar-benar sedang ketakutan sekarang.
“Nanti Tuan Putri yang rawat aku, ya. Biar cepet sembuh.”
***
Buagh!
“Kita udah sepakat untuk gak serang pihak cewek, anjing!”
“Itu kan kalian, bukan gue,” balas Revan, menatap remeh Pangeran yang baru saja memberikan bogem mentah di rahangnya. Hingga kini sudut bibirnya robek dan mengeluarkan cairan pekat anyir berwarna merah.
“Ternyata Rajasakti lebih licik dari Starschool!”
Revan mendekat, menepuk-nepuk pundak Pangeran menyiratkan sesuatu. “Santai kali, men. Toh yang kena si Alven, kan? Bukan ceweknya.”
“Tetep aja, sasaran awal lo Aileen!” Pangeran berteriak murka, menepis kasar tangan Revan dari pundak kokohnya. Ia sangat tidak terima Aileen diperlakukan seperti itu. Terlebih gadis itu— ah, entahlah. Pangeran pun bingung sendiri.
Mungkin ia berhasil luluh dengan kepolosan Aileen?
“Suka kan lo sama si cupu itu? Kelakuan aja kayak bocil, apa yang harus disukai.”
“Bacot. Tutup mulut lo, sialan!”
“Kalau lo gak suka sama Aileen, gak mungkin semarah ini.” Revan tertawa sarkas memandang lawan di depannya.
“Lo bisa bayangin kalau pisau itu tepat ke punggung Aileen? Lo sendiri yang kena masalah! Untung aja Alven gak memperpanjang.”
Mata Revan memicing. “Jadi lo belain Alven? Orang yang melanggar peraturan yang udah dibuat kakak kelas kita bertahun-tahun yang lalu?”
Pangeran menghela napas jengah. Tak kuasa menghadapi ke keras kepalaan Revan yang tak ada otaknya itu. “Tanpa sadar, lo juga udah melanggar hal itu.”
Pria dengan baju seragam acak-acakan itu menaikkan sebelah alisnya, pertanda bertanya akan lontaran kalimat Pangeran.
“Lo udah serang cewek.”
Setelah mendengarnya, Revan tergelak. “Dipikir-pikir rada gak adil sih kalau yang kita bantai pihak cowoknya aja. Soalnya, yang menjalani hubungan itu dua orang. So menurut gue, babat habis aja dua-duanya. Cewek, ataupun cowok.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN Friendzone!
Teen Fiction"Alven! Aileen suka sama Alven!" "Aku gak mau pacaran, Aileen. Kita masih kecil." *** "Kita udah beda SMA. Tunggu aku tiga tahun, ya?" "Emang penantian Aileen selama ini belum cukup, ya?" "Belum. Kita masih harus berjuang agar bisa benar-benar bersa...