|| Chapter 32 ||

25 3 1
                                    

"Tidak ada satupun manusia yang merasa tenang jika terdapat kebencian dalam hatinya." —Aileen Queenby Aldinata

“Iya, Tante?” Nathan segera bertanya ketika ponselnya sudah tersambung dengan Shinta.

“Nathan, kamu lagi sama Alven? Dia gak ada di rumah, perasaan Tante gak enak.”

Nathan menggeleng. Sadar bahwa Shinta tak akan melihat pergerakan kepalanya, ia segera bersuara. “Alven gak sama kita, kirain dia di rumah.”

“Tante boleh minta tolong cariin Alven? Gak biasanya dia kayak gini ... kalau boleh sekalian tanya sama Aileen juga,” ujar Shinta dengan nada yang terdengar khawatir.

Nathan mengangguk mantap. “Pasti, Tante. Nathan sama yang lainnya pasti cari Alven sampai ketemu.”

“Terimakasih.”

“Kenapa, Than?” tanya Radhika yang samar-samar mendengar percakapan antara Nathan dengan Ibu dari sahabat mereka itu.

Seperti biasa dan sudah menjadi kegiatan rutinan, Radhika dan Keano tengah membuat keributan di kediaman Prasaja dengan cara bermain Play Station. Sementara pemilik rumah pasrah saja dengan segala kelakuan tak masuk akal dua makhluk planet lain ini.

“Kita harus cari Alven.”

***


Aileen berpapasan dengan sang Kakak saat berniat masuk ke dalam kamarnya, karena kebetulan kamar mereka bersebelahan. Keduanya saling tatap, dengan arti yang berbeda tentunya.

“Abang lihat?”

Aleo mengernyitkan dahi tak mengerti.

“Abang lihat tadi Adek dimarahin Papa?”

“Iya,” jawab Aleo ragu-ragu. Bingung mengapa Aileen bertanya seperti ini tiba-tiba.

Aileen tertawa hampa. “Adek selalu malu, Bang, kalau dimarahin Papa atau Mama di depan Abang.”

“Kenapa malu?”

Tawa Aileen masih mengudara, belum berhenti. “Adek malu sama Abang. Merasa bahwa memang benar Abang berada jauh di atas Adek, bahkan jadi anak kesayangan Mama Papa.”

“Siapa bilang?”

“Adek, barusan.” Aileen mengangkat dagunya, seolah menantang. Mungkin ekspresinya terlihat sangar, namun pancaran mata tak akan pernah bisa membohongi.

Manik hazel gadis itu terlihat basah dan berkaca-kaca.

“Kalau Abang mau tahu, sebenarnya Adek selalu benci sama Abang. Makanya sering merasa canggung.”

Aleo belum menyahut, memberi kesempatan pada sang Adik untuk mengeluarkan semua uneg-unegnya.

“Adek benci kenapa Abang terlihat sangat sempurna. Di mata Adek, di mata Mama Papa, di mata teman-teman Adek bahkan di mata semua cewek!”

“Adek benci kenapa Adek selalu dibandingkan sama Abang.”

Untuk kali ini, Aleo mendekat. Mengelus poni tipis Aileen yang sedikit berantakan. “Selama ini ... lo dibandingkan?” tanyanya khawatir.

“Bukannya Abang selalu tahu semua hal yang ada di rumah ini?”

“Nggak, Dek, gue gak tahu soal ini. Gue cuma tahu kalau lo dituntut sama Mama, sudah itu saja.”

“Sampai kapanpun, Adek gak pernah bisa disamakan sama Abang.” Suara Aileen berubah lirih.

“Lo bisa.”

“Nggak.”

“Tapi lo lebih kuat dari gue.”

Tawa Aileen yang sempat terhenti, kini kembali muncul. Selanjutnya tersenyum penuh arti. “Adek lebih lemah dari yang Abang kira.”

Aleo mengembuskan napas berat. Menyelami netra Aileen berharap dapat menembus pertahanan gadis itu. “Kalau benci sama gue membuat perasaan lo lebih tenang, lakukan. Tapi gue gak akan pernah balik membenci lo,” lirih Aleo pasrah.

“Gak ada satupun manusia yang merasa tenang kalau ada kebencian dalam hatinya!” i

“Adek.”

Suara Andini terdengar, menghentikan acara adu mulut antara kedua adik kakak tersebut.

“Adek masuk dulu,” pamit Aileen meninggalkan Aleo yang masih setia dalam kebungkamannya.

Aileen pergi ke kamarnya, punggung tangan mungilnya terangkat ke atas untuk menghapus air mata yang baru saja jatuh. Entah kenapa, intinya ia cengeng sekali.

Aileen segera menutup pintu, malas untuk berhadapan dengan Andini terlebih dahulu. Namun tanpa diduga, wanita itu justru menahan sebelum pintunya seratus persen tertutup.

“Mama mau ngomong.”

Mau tak mau, Aileen menurut. Tenaganya sudah habis jika untuk melawan lagi.

“Maafin Mama.”

For?” tanya Aileen tanpa menoleh. Ia mencoba sibuk sendiri dengan membuka buku pelajaran esok hari.

“Tadi di bawah,” jawab Andini mencicit. Ia duduk di atas kasur small size putrinya yang sedikit berantakan. “Kalau Mama bilang yang sebenarnya, nanti Papa marah.”

“Papa memang sudah marah. Tapi sama Adek.”

Andini bungkam.

“Gak papa, kok, jadikan Adek kambing hitam seterusnya saja. Biar Adek yang dimarahin Papa, bukan Mama apalagi Bang Leo.”

“Dek ....”

“Mama bisa ke luar? Adek mau belajar, besok ada ulangan,” pinta Aileen, mengusir dengan cara halus.

Andini menundukkan kepala. Ia tahu, sangat tahu jika anak bungsunya tengah kecewa. Kemudian ke luar untuk menuruti permintaan sang empu.

“Kalau gitu semangat, besok kasih tahu Mama nilainya.”

Bola mata Aileen mendelik malas. “Hhh, giliran soal nilai saja baru nyemangatin. Tapi yakin, sih, gak tulus,” cibir Aileen, menggumam yang hanya terdengar olehnya. Untung saja Andini sudah pergi.

Kontras dengan apa yang diucapkannya pada Andini, gadis dengan piyama bermotif angsa itu melompat ke kasurnya. Menenggelamkan wajah di balik bantal dan menangis sekencang-kencangnya.

Persetan perihal ulangan besok. Bagaimana ia bisa belajar jika keadaannya sedang down seperti ini?

Tok! Tok! Tok!

Aileen mendengus kesal ketika pintu kamarnya kembali diketuk seseorang. “Aileen mau tidur!” teriaknya dengan suara sumbang karena habis menangis.

“Ada teman lo di bawah. Mereka nanyain Alven.”

Mendengar nama Alven, tanpa aba-aba ia segera berlari dan menghampiri Radhika serta Keano yang sudah nangkring di teras rumahnya.

“Kalian ngapain ke sini?” tanya Aileen sedikit ngegas. Tak ada basa-basinya sama sekali.

“Alven mabuk di club sama Revan dan anak buahnya.”

***

BUKAN Friendzone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang