|| Chapter 8 ||

21 4 0
                                        

“Sini peluk.”

Aileen menatap punggung tegap Alven yang berada di depannya. “Nggak, ah,” tolak gadis itu.

Alven mengarahkan salah satu spion motornya untuk melihat wajah Aileen. Anak rambut gadis itu terbang kesana kemari karena di mainkan angin sore. “Dingin, aku gak mau kamu sakit.”

“Aileen gak papa, Alven.”

“Halah, tadi aja pingsan.”

Bugh!

Aileen memukul kencang punggung tegap lelaki itu dengan wajah yang cemberut. “Itu kan tadiii,” rengeknya mengundang perhatian pengendara lain. Pasalnya, suara gadis itu seperti anak lima tahun.

Alven terkekeh geli, membayangkan ekspresi Aileen yang pastinya sangat menggemaskan.

Alven menghentikan motornya ketika lampu lalu lintas berubah merah. Jika biasanya ia akan mengumpat, kali ini tidak. Waktunya bersama Aileen menjadi lebih banyak.

Tangan kekarnya turun, mengusap lembut lutut Aileen yang terasa sehalus kulit bayi. Alven tak mengerti bagaimana cara gadis itu merawat kulitnya sendiri.

Selanjutnya, tangannya beralih menggenggam telapak mungil Aileen. Kemudian di bawanya tangan kecil itu untuk melingkar di pinggangnya.

Kali ini Aileen tak menolak, ia mendekatkan dirinya pada Alven dan memeluk erat pria itu. Menyandarkan kepalanya di bahu kokoh yang selalu membuatnya nyaman dan aman secara bersamaan.

“Siap? Aku mau ngebut.”

Aileen terkikik geli. “Siap, Kapten!”

Tawa keduanya berhambur di udara. Menikmati kebersamaan tanpa memedulikan orang sekitar. Bagi Alven, senyum Aileen sudah lebih dari cukup untuknya.

“Dingin gak?” tanya Alven, setengah berteriak karena suaranya beradu dengan angin.

“Nggaak! Kan ada Alven.”

Alven kembali melirik spion di sebelah kanannya yang mengarahkan ke jalan. Kali ini dengan tatapan waswas.

Ia tidak bodoh untuk tak mengetahui ada tiga motor dengan seragam sama persis seperti Aileen mengikuti keduanya. Namun seberusaha mungkin ia menutupi kecemasannya agar Aileen tidak curiga.

“Sampai,” ucap Alven setelah motornya berhenti di sebuah rumah yang berjarak 10 meter lagi menuju rumah Aileen.

Alven sengaja tidak mengantar Aileen sampai ke depan rumahnya karena gadis itu sendiri yang meminta. Katanya takut ketahuan orang rumah. Ia cukup memerhatikan gadisnya selamat sampai tujuan.

“Sana, jangan nunda makan lagi. Mau mati?”

Aileen terkekeh kecil dengan gurauan sekaligus perhatian Alven itu. “Iyaaa. Alven juga langsung pulang, istirahat. Kayaknya capek banget, habis ada pertandingan?” Aileen yang sangat mengetahui kecintaan Alven terhadap dunia olahraga itu menebak, yang sialnya benar seratus persen.

“Iya, tadi ada pertandingan antar kelas.”

“Alven hati hati di jalan.”

“Iya, kamu juga.”

Ish, orang tinggal berapa langkah lagi juga, kok!” Aileen mencebik kesal. Ia merasa jika Alven itu overprotective.

“Kamu kan ceroboh,” balas Alven dengan kekehan yang sangat menenangkan hati sang gadis.

Menyadari kekesalan Aileen, ia segera menepuk sayang puncak kepala anak itu. “Udah sana, nanti di cariin.”

Aileen menurut. Ia berjalan dengan langkah yang berdentum-dentum menuju gerbang rumahnya.

BUKAN Friendzone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang