|| Chapter 5 ||

23 5 0
                                        

"Orangtua memang tidak pernah membedakan anaknya. Namun pasti akan memberikan kasih sayang lebih pada buah hati kepercayaannya. Dan disini, Abang yang mendapatkan hal itu. Aku kalah." —Aileen Queenby Aldinata

Aileen melambaikan tangannya setinggi mungkin saat motor Alven mulai menjauh dari pandangannya. Kekesalannya seolah sirna begitu saja ketika bermain sebentar di rumah pria itu.

Aileen masuk ke dalam pekarangan rumah sederhananya, melangkah menuju pintu utama dengan senyum yang masih belum luntur.

“Darimana, Dek? Hari pertama sekolah pulangnya udah telat aja.”

Ah, inilah saat yang paling Aileen benci. Ayahnya sedang tidak ada di rumah.

“Kamu masih berteman sama anak pengusaha sukses itu?” kejar Andini –Ibu Aileen– karena sempat melihat kepergian Alven.

“Alven?” Aileen memastikan.

“Siapa lagi?”

Aileen diam, tak berniat menjawab.

“Sudah berapa kali Mama bilang, jangan bergaul sama kalangan atas!” suara Andini naik beberapa oktaf, membentak putri semata wayangnya.

Kali ini, Aileen ingin membalas. “Kenapa sih, Ma? Keluarga Alven aja gak masalah Aileen deket sama mereka.”

“Insha sama Fidelya juga anak orang kaya. Gak sekalian aja Mama larang Aileen untuk berteman sama mereka?”

“Mama ada masalah apa sama Alven?”

Rahang Andini mulai mengeras, satu juta kali pun ia menjelaskan, anak ini tak akan mengerti. “Kalau itu mau kamu, Mama akan melarang kamu berteman dengan Insha dan Fidelya juga.” jeda sebentar, Andini meralat ucapannya. “Ah, tidak. Semua orang yang berada di kalangan atas tidak boleh berteman dengan kamu.”

“MA!”

“Dek.”

Seseorang memanggilnya dari ujung tangga. Pria yang Aileen kagumi di setiap sisi itu tengah menatapnya tajam.

“Masuk ke kamar,” suruh Aleo, menundukkan kepalanya karena dua wanita kesayangannya itu berada di lantai bawah.

Aileen melirik sekilas sang Ibu, kemudian menuruti ucapan Aleo dengan bibir yang masih mencebik.

“Jangan bentak-bentak Mama kayak gitu. Tahu kan kalau itu gak baik?” ujar Aleo saat Aileen tepat berada di sampingnya.

“Ternyata bener ya, kata guru Adek.”

Aleo terus menatap bola mata adiknya. Tatapan yang biasanya ceria dan kekanakan itu kini berubah sendu.

“Orangtua emang gak pernah membedakan anaknya. Tapi pasti akan memberikan kasih sayang lebih sama anak kepercayaannya.”

Aleo yang masih belum bisa menangkap arti dari ucapan Aileen itu hanya terdiam. Menunggu kalimat selanjutnya yang akan meluncur dari bibir tipis gadis itu.

“Dan disini, Abang yang mendapatkan hal itu. Adek kalah.” gadis itu memang tersenyum, tapi tatapannya— tersirat sedikit kesedihan.

BUKAN Friendzone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang